Tuesday, February 09, 2010

Lonceng Kematian perjanjian AFTA-Cina

Malam tahun baru 2010 mungkin malam yang sangat meriah bagi sebagian rakyat Indonesia. Malam penuh suka cita. Tapi bagi sebagian yang lain, khususnya bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan produksi di Indonesia, hal ini menjadi mimpi buruk. Begitu trompet tahun baru dibunyikan, maka lonceng kematian bagi sebagian industri di Indonesia terutama industri kecil.

Mulai 1 Januari 2010 Indonesia secara resmi memasuki era perdagangan bebas dengan Negara Asean dan cina atau lazimnya disebut China-AFTA (China – ASEAN Free trade Area). Alasan yang selalu di dengungkan pemerintah adalah agar kualitas produk Indonesia semakin meningkat jika ikut dalam perdagangan bebas China – AFTA ini. Dengan liberalisasi perdagangan ini, produk-produk Indonesia bebas bersaing dengan produk cina dan Negara asean lainnya. Sehingga memungkinkan penambahan pasar ekspor bagi Indonesia. Sesungguhnya ini hanyalah kata-kata pemanis dari pemerintah saja.

Kenyataannya, ini mimpi buruk, bukan hanya pelaku usaha di Indonesia, tapi mungkin sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk yang paling rentan adalah kaum pekerja. Kenapa menjadi mimpi buruk bagi rakyat Indonesia? Bukankah produk kita tidak akan dikenakan lagi pajak jika kita menjual di negeri tetangga atau cina? Sehingga nilai jualnya lebih murah disana dan akhirnya akan meningkatkan ekspor kita? Ini adalah teori idealnya. Tapi fakta berbicara sebaliknya. Indonesialah yang akan diserbu produk asing terutama dari Cina. Sekitar 8000 kategori produk dari Cina akan menyerbu Indonesia tanpa penghalang apa pun.1 Sebelum di berlakukannya China – AFTA-pun produk Cina sudah menguasai pasar-pasar di Indonesia, terutama tekstil. Karena produk mereka yang massal, dengan kualitas sama tapi harga lebih murah. Apalagi dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas ini. Barang impor dari mereka tak akan di batasi dengan tariff (seperti pajak) lagi. Sehingga harganya lebih murah. Ibaratnya kemarin pagar masih ditutup sedikit, sekarang pagarnya sudah dibobol. Jelas produk-produk Indonesia tak laku lagi. Pengusaha-pengusaha lokal melalui asosiasinya sudah menjerit meminta pemerintah untuk melakukan sesuatu, termasuk melindungi usaha mereka2. Ambruknya usaha mereka akan diikuti dengan PHK besar-besaran. Ini sepertinya tinggal menunggu waktu.

Pemerintah kita sepertinya hidup dalam impiannya sendiri. Dengan mengikuti pasar bebas, kita siap menjadi negara yang lebih maju dengan eskpor yang lebih tinggi. Mereka lupa untuk terbangun dari mimpinya. Indonesia dengan mengikuti kesepakatan perdagangan bebas, sama saja dengan melemparkan rakyat dan industri dalam negerinya ke jurang. Keikutsertaaan Indonesia dalam perdangan bebas ibarat, kita mengikutsertakan Tim sekelas RT kita untuk ikut serta dalam kompetisi sepak bola liga inggris, tanpa persiapan yang matang. Alhasil kita hanya menjadi bulan-bulanan saja. Industri kita belum siap untuk bersaing dengan pasar Negara lain. Bukan soal kualitasnya, mungkin sebagian produk memiliki kualitas yang lebih dibanding negara lain. Tapi soal dukungan dari pemerintah itu sendiri. Infrastruktur pendukung yang masih bobrok seperti jalanan yang bagus, sistem birokrasi dan perizinan yang rumit, pungli yang masih merajalela. Hal – hal ini jelas akan menaikkan biaya produksi industri kita. Sehingga dari faktor harga, kita tak akan bisa bersaing. Contohnya adalah ongkos angkut kontainer dari Jakarta ke Batam hamper dua kali lipat dari ongkos angkut kontainer dengan ukuran yang sama, dari Singapura ke California. Atau jeruk impor bisa jauh lebih murah dibanding jeruk dari Brastagi karena membutuhkan biaya yang sangat mahal. 3 Harapan seiring berlakunya pasar bebas yang lain, adalah masuknya investasi asing yang akan diikuti, misalnya dengan pendirian pabrik-pabrik di Indonesia. Namun ini akan sulit karena merajalelanya pungli dan korupsi serta birokrasi yang berbelit belit. Mereka lebih baik mendirikan pabriknya dinegara dengan iklim invstasi yang nyaman seperti Vietnam lalu menjual barangnya ke Indonesia.

Lalu bagaimana dengan ekspor? Apakah kita mampu menembus pasar mereka? Jika di dalam negeri saja kita sudah tak mampu bersaing karena harga, apalagi diluar negeri. Belum lagi taktik negara lain yang menghalangi produk asing dengan kebijakan seperti penghalang nontarif (non tariff barrier). Contohnya dengan standar kualitas produk yang tinggi. Mereka menentukan sendiri standar yang mereka inginkan. Sulit untuk bisa menciptakan produk yang memenuhi standar negara lain, karena industri kita sulit untuk maju karena minimnya faktor pendukung dari pemerintah. Banyak hal–hal lain yang menunjukkan ketidaksiapan negara kita menuju pasar bebas. Dan pemerintah tampaknya menutup mata dan terus bersikukuh untuk terus memberlakukannya.

Diterapkannya konsep perdagangan bebas awalnya merupakan konsep penyelamatan ekonomi oleh IMF dan Bank Dunia yang menjadi bagian dari peminjaman bantuan kepada Negara-negara berkembang. IMF dan atau Bank Dunia memberikan pinjaman namun harus disertai aturan dan kontrol oleh IMF untuk mereformasi ekonomi Negara peminjam, yang disebut Structural Adjustment Program (SAP). Reformasi ekonomi antara lain mencakup, (1). pengetatan fiskal; (2) mengurangi alokasi dana pemerintah untuk sektor publik, seperti kesehatan, pendidikan; (3) liberalisasi nilai suku bunga; (4) deregulasi ; (5) privatisasi dan liberalisasi perdagangan, dan pembangungan infrastruktur, untuk dialihkan ke sektor yang lebih berorientasi profit. Oleh Ekonom John Williamson, reformasi ekonomi ini ia sebut Wahsington Consesnsus. Disebut Washington Consensus karena perumusannya melibatkan politisi Kongres, teknokrat dan birokrat, lembaga finansial dan agen ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. AKhirnya rumusan ini menjadi doktrin yang dipakai sebagai formulasi landasan kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan Organisasi perdagangan Dunia (WTO).4

Konsep perdangan dan pasar bebas sendiri sudah menjadi sasaran kritik habis-habisan oleh ekonom-eknonom dunia. Salah satunya adalah Joseph E. Stiglitz, pemenang nobel ekonomi, yang mengkritik dalam bukunya Making Globalization Works. Menurutnya, Negara berkembang menderita akibat perdagangan bebas dan tidak selalu mendapatkan manfaat peningkatan ekspor. Belum lagi soal pengangguran. Dampak perdagangan bebas yang menghasilkan pengangguran, pada negara maju, mungkin akan dapat diantisipasi dengan asuransi secara temporer atau jaminan sosial. Namun di negara berkembang hal itu sulit, para pekerja yang terkena PHK harus mencari sendiri jalan keluarnya karena asuransi dan jaminan sosial yang tak memadai, jika tak mau dibilang tidak ada. 5

Jika pemerintah kita mau belajar, Sesungguhnya implementasi perdagangan bebas antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko (North American Free Trade Area) dapat menjadi contoh buat kita. Awalnya, NAFTA diharapkan agar membantu Meksiko, yang memiliki banyak pengangguran dan pendapatan yang berbeda jauh dari AS dan Kanada, menuju kemakmuran. Namun setelah 10 tahun dilaksanakan, NAFTA tak dapat mewujudkannya. Kesenjangan pendapatan antara AS dan Meksiko justru bertambah 10%. Bahkan NAFTA memperparah kemiskinan di Meksiko, karena para petani Meksiko tak bisa mengekspor produknya ke AS, karena dihalangi oleh penghalang nontarif (non tarrif barrier). Sementara NAFTA mengurangi tarif, semua penghalang nontarif tetap diberlakukan. Sebelum NAFTA, Tarif menghasilkan penerimaan pajak sebesar 7% bagi meksiko. Namun setelah nafta berlaku, turun menjadi 4%. 6

Sebenarnya pemerintah kita sudah cukup pandai dan (seharusnya) tahu dengan keburukan perdagangan bebas yang sekarang diikuti Indonesia tanpa persiapan yang memadai. Mereka tahu bahwa industri dalam negerinya akan ambruk, sehingga kita hanya akan menjdi bangsa konsumen, bukan produsen. Kita akan selalu bergantung pada produk luar negeri dan tak punya kemandirian ekonomi. Mereka juga tahu ada jutaan pekerja kita yang terancam oleh perjanjian ini. Namun, mereka tetap bersikukuh, entah kebijakan apalagi yang akan mereka keluarkan, setelah perlahan tapi pasti mengurangi subsidi untuk kebuthan publik seperti pendidikan7, memprivatisasi dan menjual sebagian usaha milik negara, melakukan perdagan bebas yang akan menghancurkan usaha dalam negerinya sendiri, sehingga Indonesia tak lagi punya kemandirian ekonomi. Jika sudah begitu semakin mudahlah bangsan lain mendikte kita. Maka jangan heran jika negara tetangga seperti Malaysia pun kurang menghargai kita. Jangan salahkan pemerintah negara lain, tapi tunjuk pemerintah sendiri, karena pemerintahnya tak peduli pada rakyatnya sendiri. Jika memang mereka bekerja untuk rakyat (seperti slogan-slogannya) tentu bukan hal-hal ini yang terjadi. Kita tunggu saja.

1. Majalah Mingguan Tempo, 21 Desember 2009. Dampak Pasar bebas. Yang cemas, yang siap.
2. Majalah Mingguan Tempo, 21 Desember 2009. Dampak Pasar bebas. Yang cemas, yang siap.
3. The World is Flat. Thomas L. Friedman. Kata pengantar : Faisal H. Basri.
4. Post Washington Consensus dan Politk Privatisasi di Indonesia. Centre For International Relation Studies Universitas Indonesia.
5. Making Globalization Works. Joseph E. Stiglitz.
6. Making Globalization Works. Joseph E. Stiglitz.
7. Post Washington Consensus dan Politk Privatisasi di Indonesia. Centre For International Relation Studies Universitas Indonesia.

No comments: