Monday, April 02, 2012

MIUMI dan Harapan Buya Hamka

28 Februari lalu terisar kabar dideklarasikannnya Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) di Jakarta. Beberapa nama yang telah sering kita dengar malang melintang di dunia pemikiran Islam seperti Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan Bachtiar Nasir LC menghiasi MIUMI. Yang hadir dalam deklarasi itu pun bukan nama sembarang dalam kiprahnya di Indonesia,seperti Ustad Adian Husaini, Ketua KPK Abraham Samad, budayawan Taufik Ismail dan lainnya. MIUMI dikatakan berfokus menyelesaikan permasalahan keumatan dan kebangsaan berbasis keilmuan.

Menarik memang dua kata yang terdapat pada MIUMI. Yaitu Intelektual dan Muda. Dua kata ini pula yang dipesankan oleh ulama besar Indonesia ,Buya Hamka. Intelektual dan Muda yang menjadi penentu Islam di masa depan. Dalam rubrik Dari Hati ke Hati dimajalah Panji Masyarakat (1967-1981) beliau mengatakan tentang peran Intelektual,

“Sudah pasti bahwa Umat Islam amat mengharapkan tenaga dan buah pikiran dari cerdik pandai dan intelektualnya, agar sudilah kiranya turun dari atas ‘singasana majun alam, tempat beliau bersemayam, mengorak sila, melangkahkan kaki dating ke dalam pondok buruk kami, memimpin kami mengajar kami’.

Beliau kemudian bercerita, dahulu saat awal-awal berdirinya Muhammadiyah di Sumatera, organisasi ini kekurangan intelektualnya. Sehingga jika ada seorang bekas pensiun KNIL yang pandai berbahasa Belanda atau kerani-kerani (pegawai) dari perkebunan besar atau bekas kepala pegadaian Negeri masuk ke Muhammadiyah, disambut dengan bangga. Sebab mereka bisa bahasa Belanda. Kalau ada calon-calon pengurus Pimpinan Pusat terdapat memakai title, baik DR atau Mr (SH), pasti mendapat suara terbanyak, dan duduk dalam kepengurusan, mengalahkan kiyai besar tak bertitel, walaupun kiyai tersebut mempelajari gerak Muhammad Abduh dengan seksama. Padahal setelah duduk, kadang-kadang pengurus bertitel tersebut tidak dapat hadir karena sibuk. Dan kalau hadir, mereka tidak dapat mengikuti persoalan karena agama bukan bidang para pimpinan tersebut. Tapi apa mau dikata, kemegahan titel tersebut sangat diperlukan oleh kemegahan Muhammadiyah.

Buya Hamka kemudian melanjutkan, pada tahun 1924 beridirilah Jong Islamieten Bond (JIB) atas prakarsa Haji Agus Salim. JIB diisi oleh kalangan muda Islam yang mendapat didikan sekolah barat. Namun di JIB, para anggota intinya memeperdalam pengertian dan amalan agama, sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan Hidup. Anggota JIB jumlahnya tidak sampai ribuan, hanya ratusan, namun dari JIB inilah timbul pribadi-pribadi seperti Muhammad Natsir, Mohammad Roem, Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusasmito dan lain-lain. Merekalah kelak yang mengisi bangsa ini dengan kepribadian Islam dan memperjuangkan Islam di Indonesia. Tengoklah Muhammad Natsir, yang menjdi pemimpin Masyumi dan sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia, Syafrudin Prawiranegara yang menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, atau Kasman Singodimejo yang menjadi Jaksa Agung RI. Mereka semua akhirnya memperjuangkan Islam di Indonesia. Namun akibat dari perjuangannya jua, dengan rela hati menerima segela konsekuensi, kemelaratan pembuangan dan pengasingan. Menerima menjadi tumpah kebencian orang banyak yang diindoktrinasikan supaya benci kepada mereka. Pribadi-pribadi lulusan JIB ini kata Buya Hamka mampu untuk menggerakan umat.

“Mereka telah dapat menggerakkan perjuangan Islam, yang mempunyai tidak kurang daripada 14 juta pengikut, ditakuti oleh kawan dan lawan, dipandang musuh besar paling berbahaya oleh komunis,dan terpaksa dibubarkan secara diktator oleh Soekarno.”

“Pikirkanlah! Kalau 15 tahun yang lalu hanya sekitar 200 orang intelek berjiwa Islam telah dapat menggerakkan tidak kurang dari 14 juta bangsa Indonesia muslim, sekarang diseluruh Indonesia tidak kurang dari seribu sarjana, seribu intelek yang keluar tiap tahun.”, lanjut Buya Hamka.

Intelektual menurut Buya Hamka memang menjadi penggerak, pendidik dan dapat memberikan multiplying effect bagi umat Islam. Intelektual harus juga menjadi penghubung rakyat.

“Sebab itu hubunganmu tidak putus dengan umat. Kamu tidak lagi akan menjadi sarjana yang duduk diatas singasana gading, memandang umat dan kaumnya sebagai orang lain,dijadikan obyek penelitian, tidak merasakan diri sebagai subyek bersama mereka,” jelas Buya Hamka.

Perjuangan Islam menurut Buya Hamka terletak dipundak angkatan muda Islam. Perjuangan ini meminta tenaga muda yang bersemangat militan, didorong oleh rasa cinta kepada agama. Menurut Buya Hamka,

“Mereka harus tegak menantang dan membendung propaganda paham materialisme dan segala isme-isme (paham) baru yang diimpor dari barat untuk menyebarkan rasa keragu-ragun atau melemahkan iman dalam Islam.”

Apa yang dihadapi MIUMI memang tidak mudah. Yang sekarang terjadi justru banyak pemuda-pemuda yang mengaku muslim, tapi malah menghancurkan Islam dari dalam. Sesungguhnya ini bukan barang baru. Pada masa Buya Hamka menulis ini pun, hal ini sudah menjadi tantangan bagi umat Islam.

“Yang kerap kali dapat diperbudak oleh orang lain ialah pemuda-pemuda yang sok tahu. Pemuda yang ditimpa penyakit rendah diri, mentang-mentang sudah dibawa bergaul, dalam masyarakat yang agak “barat” sifatnya, dia belum merasa progressif kalau belum turut bersorak mengatakan bahwa Islam, harus pandai menyesuaikan kalau mau maju”, tegas Buya Hamka.

Bahkan beliau melanjutkan dengan mengecam mereka, “ Orang-orang yang turut menyebarkan paham dalam masyarakat, yang akan mengakibatkan kendornya rasa perjoangan, rasa jihad menegakkan cita Islam, bukan saja menjadi pelopor membawa ke jalan kafir, bahkan itulah pengkhianat-pengkhianat yang membawa nama Islam untuk menghancurkan kekuatan Islam.”

Kekuatan Islam menurut Buya Hamka terletak pada aqidah Islam. Akidah Islam yang menimbulkan akhlak Islam. Akidah pasti menegakkan akhlak. Semata-mata ilmu pengetahuan saja,tanpa tegak atas aqidah tidaklah menimbulkan akhlak. Buya Hamka begitu yakin bahwa aqidahlah yang membawa kemajuan,. Menurutnya,

“….suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasar kepada akidah dan akhlak Islam!”

Demikianlah besarnya harapan Buya Hamka kepada intelektual dan angkatan muda Islam. Semoga MIUMI dapat memenuhi pula pengharapan tersebut. Jalan tersebut memang tak mudah, seperti yang diingatkan Buya Hamka, “jalan rayanya memang tidak ditaburi kembang dan bunga serta minyak cologner (pewangi).”

Selamat berjuang MIUMI!!

pustaka : Hamka. Dari Hati ke Hati. 2002. Pustaka Panjimas Jakarta