Wednesday, December 22, 2010

Dwi tunggal dalam kenangan

Saat memasuki bandara, terlihatlah 2 patung sosok proklmator Republik Indonesia, Soekarno & Hatta. Begitu lekat kedua nama tersebut, seakan-akan seperti tak bisa dipisahkan ketika menyebut salah satunya. Begitu lekatnya dalam benak pemuda seperti saya, yang tidak pernah hidup sezaman dengan mereka, hingga dalam benak banyak pemuda saat ini mereka seperti dua jiwa yang menyatu, yang selalu kompak, saling sepaham. Dwi tunggal, begitu julukannya. Tapi siapa sangka ternyata mereka adalah dua pribadi yang berbeda, pikiran yang berlawanan, dan seringkali tidak sepaham, bahkan berseteru. Banyak romantika mengisi kata dwi tunggal tersebut, baik sebelum menjadi dwi tunggal ataupun setelah tanggalnya dwi tunggal. Sedikit Kisah –kisah yang mengisi dwi tunggal itu mungkin yang akan memberi kita pandangan yang baru tentang mereka.

Tak jelas kapan sebutan dwi tunggal muncul, yang kita tahu hanya kapan ia berakhir. Dalam hukum tata negara pun tak ada istilah dwi tunggal ini. Yang kita ketahui mungkin cara bekerja dwi tunggal ini. Dalam memutuskan persoalan-persoalan besar bangsa kala itu, mereka berdua bermusyawarah terlebih dahulu, masing-masing saling mengeluarkan pendapatnya, setelah terdapat kata sepakat, pendapat tersebut kemudian dikeluarkan sebagai pendapat bersama. Dan begitu pendapat tersebut sudah dikeluarkan, akan dibela oleh keduanya. Itulah dwi tunggal.

Namun persoalannya tidak mudah mengeluarkan kata sepakat bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Pribadi keduanya saja bertolak belakang, Bung Karno, yang terkenal, flamboyan, humoris dan berapi-api, terutama jika berpidato di depan massa yang banyak, ia beragitasi dan mengeluarkan semboyan yang membakar dan menggelegar. Sungguh 180o berbeda dengan Bung Hatta yang terkenal tidak banyak bicara, berpendirian teguh dan rendah hati. Bung Hatta berpidato dengan datar, namun tegas, dan terstruktur. Kita tak akan menemukan ia berpidato dengan emosi. Namun Keduanya dikenal pernah punya pidato yang mahsyur. Bung Karno dengan pledoi Indonesia Menggugat-nya di pengadilan Bandung ketika diadili pemerintah kolonial Belanda. Bung Hatta tak kalah hebat dengan pledoi Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) di pengadilan Den Haag yang terkenal dengan ucapan, “Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada dijajah bangsa lain”.

Sejak awal pun bukannya mesra hubungan Bung Karno dan Bung Hatta itu, sejak masih di Belanda, Bung Hatta memperhatikan sepak terjang Bung karno, kritik pun sering ia sampaikan pada PNI–nya Soekarno. Salah satunya ketika ia mengkritik Bung Karno yang memang senang berpidato di depan massa,

“ Jika Soekarno berpidato, tidaklah cukup bagi pendengarnya untuk sekedar bertepuk tangan dengan ramainya. Tidaklah cukup jika orang sekedar menjadi Soekarnois. “ Bung Hatta dalam berpolitik memang lebih mengutamakan pendidikan para kader ketimbang memobilisasi massa seperti Bung Karno.

Hubungan mereka membaik dan menyatu ketika keduanya sama-sama dibebaskan pemerintah jepang dari pembuangan dan mereka mulai bekerja sama dengan pemerintah penjajah Jepang waktu itu. Sama-sama menyiapkan kemerdekaan RI kemudian keduanya mejadi proklamator Republik Indonesia. Bersatunya pribadi Soekarno dan Hatta menjadi proklamator, menyisakan tanda tanya bagi para pemuda saat itu, apa mungkin dua pribadi yang begitu berbeda dapat bersatu? Mengutip kesaksian dari Burhanudin Harahap, bekas perdana menteri termuda RI, yang saat itu masih menjadi mahasiswa. Bung Karno dan Bung Hatta mengundang para pelajar (Mahasiswa) untuk bertemu mereka. Saat Burhanudin sedang memberikan kata sambutan, Bung Karno spontan angkat bicara, merangkul Bung Hatta didepan para hadirin, dan berkata, “Ini bukti kami bersatu.” Tentu saja tindakan tokoh proklamasi ini menenangkan para pemuda.

Bicara tentang proklamasi, ada satu janji menarik Bung Hatta, bahwa ia akan menikah jika Indonesia sudah merdeka. Dan janji itu benar-benar ditepatinya. Saat itu ia berusia 45 tahun, dan Bung Karno-lah yang ia minta untuk melamarkan seorang gadis. Bung Karno, ditemani sahabat karibnya, dr. Soeharto saat itu datang larut malam ke rumah sang gadis.
Diterima oleh Ny. Rachim, Ibu sang gadis, Bung Karno menyampaikan maksudnya.

“Begini”, kata Bung karno, “Saya ingin melamar.”
"Melamar siapa?”sahut Ny. Rachim.
“Melamar Rahmi” jawabnya. “Untuk siapa?” sahut Ny. Rachim.
“Untuk teman saya, Hatta”, kata Bung Karno dengan tenang.

Ketika itu Ny. Rachim berinisitif untuk menanyakan terlebih dahulu pada anaknya, Rahmi, yang saat itu berusia 19 tahun.

Sewaktu Ny. Rachim masuk ke kamar anaknya, Rahmi langsung bertanya, “Siapa yang datang, Mam?”
“Bung Karno. Dia datang untuk melamar buat kamu.” Jawab Ny. Rachmi.
"Buat saya?, Mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?", cetus Rahmi yang akrab dipanggil Yuke.
“Ini bukan mahasiswa! Dia orang baik, Mohammad Hatta."

Ketika Yuke keluar kamar menemui Bung Karno, dia berkata, “Oom, saya merasa takut.”
“Takut apa?”, tanya bung karno. “Saya ini orang bodoh, dia terlalu pandai.“
Bung karno kemudian menjawab, “Tidak apa-apa, pokoknya dia orang baik, dia pemimpin yang baik dan dia sahabat saya yang baik. Kamu tidak akan kecewa, sebab Hatta adalah orang yang berbudi luhur, dan mempunyai prinsip yang tegas.” Akhirnya, Bung Hatta menikah tiga bulan setelah Indonesia Merdeka.

Kekompakan mereka semakin terasa pada sidang KNIP tahun 1947, saat membahas persetujuan Linggarjati. Saat itu untuk meratifikasi persetujuan Linggarjati butuh persetujuan parlemen, namun terjadi perdebatan sengit di parlemen yamg mengarah pada perpecahan. Hingga akhirnya Bung Hatta membela Soekarno, dan berpidato, yang dikenang sebagai pidato Bung Hatta yang paling emosional. Saat itu ia membela Bung Karno dan berkata, “ Terima persetujuan Linggarjati atau pilih presiden dan wakil presiden lain!” Keberanian ini membuat persetujuan Linggarjati akhirnya diterima oleh KNIP.

Hatta kembali meledak saat situasi di tanah air penuh kegentingan tahun 1947. Pemerintah berniat untuk melaksanakan Perjanjian Roem-Royen, namun pihak tentara, dipimpin Jenderal Soedirman, menolak perjanjian itu. Situasi mengalami jalan buntu, hingga akhirnya Pak Dirman tak bisa lagi ikut pemerintah dan ingin mengundurkan diri saja. Bung Karno sudah menjelaskan semuanya namun tak mempan. Hingga akhirnya Bung Hatta meledak tangisnya dan berkata,

“Kalau saudara-saudara berhenti, maka lebih dahulu Soekarno-Hatta berhenti, terserah APRI memimpin perjuangan, Soekarno-Hatta akan mengikuti sebagai rakyat.”

Akhirnya Pak Dirman tak jadi mengundurkan diri saat itu, dan mengikuti pemerintah. Namun puncak Dwi tunggal adalah saat Madiun Affair yang dikenal dengan pemberontakan PKI September 1948. Pasukan Brigade 29 melakukan aksi sepihak dan menyerang divisi siliwangi, setelah menguasai kota Madiun. Mereka mendeklarasikan front nasional . Pemerintah menganggap Musso sebagai dalangnya. Maka pada malam 19 September 1948, Bung karno berpidato di radio dan mengajukan dua pilihan, :

“Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”

Itulah puncak kekompakan Dwi tunggal, Indonesia disibukkan dengan intrik-intrik politik dalam negeri. Hingga akhirnya timbul ketidakcocokan lagi antara Bung Karno dan Bung Hatta. Salah satu yang diingat oleh Burhanudin Harahap adalah pertentangan di sidang kabinet antara Bung Karno dan Bung Hatta mengenai pencalonan KASAD baru, yang mengakibatkan jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo.

Sidang itu dibuka dengan suasana hening. Bung Karno dan Bung Hatta duduk bersama di sebuah kursi panjang, tapi berjauhan. Masing-masing duduk di ujung kiri dan kanan. Diantara mereka tergeletak peci Bung Karno. Burhanudin berpikir, mungkin Bung Karno kepanasan, hingga pecinya diletakkan di tengah-tengah mereka.

Bung Hatta angkat bicara pada sidang itu. Setelah itu sidang kembali hening. Untuk memecah keheningan itu, Burhanudin bertanya pada Bung Karno, apakah beliau mau bicara. Dengan wajah yang pucat dan emosi, ditatap oleh semua hadirin peserta sidang kabinet, Bung Karno memuntahkan kejengkelannya,

“Sudah saya bilang, saya tidak mau bicara. Saya sudah minta supaya Kepala Staf diundang, supaya saya bisa bicara dengan mereka, sebagai seorang bapak terhadap anak.“

“Apa?!” Tiba-tiba Bung Hatta menyela dengan nada yang tinggi. “Bicara sebagai bapak dengan anak? Tidak bisa! Anak minta maaf dulu, baru kita bisa bicara sebagai bapak dengan anak. Ik spreek net met een rebel! (Saya tidak berbicara dengan pemberontak)”, tambah Bung Hatta.

“Siapa rebel?!” selang Bung karno. Saat itulah Burhanudin tahu, bahwa Dwi tunggal sudah memperlihatkan tanda-tanda yang memperihatinkan. Memang tak benar, tak lama kemudian, Bung Hatta, pada 20 Juli 1956, menulis surat pada ketua parlemen,

“Setelah DPR yang dipilih oleh rakyat mulai bekerja, dan konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden.”

Tidak ada yang menyangka Bung Hatta akan mengundurkan diri, tapi orang tahu, dwi tunggal memang sudah tidak bisa berfungsi lagi, mereka memilih jalan yang berbeda.
Bukan tak pernah beberapa pihak mencoba mendamaikan, tapi Bung Hatta adalah orang yang berpendirian teguh. Bahkan Bung Karno sendiri pernah mencoba membujuk Hatta mengubah pendiriannya. Bung Karno meminta Yuke, istri Bung Hatta untuk membujuknya.

“….Yuke…coba tolong dong…bilang sama Hatta…jangan mengundurkan diri…!”
Yuke hanya bisa menjawab, “Maaf Oom, apa yang sudah menjadi keputusan Kak Hatta, saya tidak bisa ikut campur, karena itu sudah prinsipnya.” Bung Karno hanya diam, karena ia juga tahu betapa kerasnya Bung Hatta memegang prinsipnya.

Selanjutnya perbedaan pandangan politik Bung Hatta yang berseberangan dengan Bung Karno , membuatnya berkali-kali mengkritik Bung Karno. Dalam salah satu suratnya kepada Bung Karno, yang sempat dibaca A. Halim, Bung Hatta menulis,

"Jang saja ingini memperingatkan kepada Saudara ialah bahwa, apabila konsepsi Saudara itu akan disuruh terima oleh partai-partai dan masjarakat dengan djalan terror dan intimidasi, hasilnja akan djauh berlainan daripada, jang saudara maksud. Dari usaha mencari “perdamaian nasional” ia akan menimbulkan perpetjahan dan mungkin menimbulkan perang saudara…"

Puncaknya adalah kritikan Bung Hatta pada Bung Karno, melalu sebuah buku kecil, “Demokrasi Kita”, yang dianggapnya presiden sudah bertindak tidak sesuai dengan UUD, waktu presiden mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet.

Betapa pun, perseteruan mereka di bidang politik, mereka tak pernah mencaci secara pribadi. Guntur Soekarno Putra, ingat sebuah kejadian, saat hubungan Bung Karno dengan komunis sedang dekat, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI. Pada satu acara mereka mengadakan pembacaan teks proklamasi yang pada alenia pentupnya hanya disebut nama Soekarno, tanpa Hatta.

Saat Makan siang dengan ayahnya, Guntur bertanya,“Kok bapak kelihatannya sedang…”
“Sedang apa???” sela Bung Karno. “Sedang marah, hah?!”
“Memang aku sedang marah…! Bukan, bukan sama kau…,"
"Sama pemimpin PKI!!!”
“Orang boleh benci pada seseorang! Orang boleh dendam pada seseorang! Boleeeh entah apalagi!"
"Kamu tahu? Aku kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta!”
“Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!!”
“Tapi menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!!!”, teriak Bung Karno. Sambil berdiri ia lalu meninju meja makannya.

Mungkin diantara mereka sekalipun “saling gebung” dalam soal pendirian politik, terdapat pengertian yang mendalam, tak sudi mencaci pribadinya. Bahkan ketika Bung Karno mengalami masa kejatuhannya, Bung Hatta, menurut Mochtar Lubis, hanya berucap, “Soekarno salah perhitungan dengan orang komunis.” Itulah kata-kata Hatta yang paling keras terhadap Bung Karno, sejauh yang ia tahu.

Hubungan mereka berdua justru sangat dekat sebenarnya. Saat Guntur mau menikah, dan Bung Karno ditahan oleh pemerintah Soeharto, ia meminta izin pada Kodam V Jaya agar bisa hadir sebagai wali pernikahan anaknya. Tapi permohonan izin itu ditolak. Waktu Guntur menyampaikan kabar penolakan ini, Bung Karno sedang terbaring lunglai di kursi lusuh, di Wisma Yaso.

“Oh, kau Tok? Bagaimana dengan izin?", tanya Bung Karno.
Guntur hanya menggeleng, sambil menitikkan air mata. Bung Karno mengangguk, lalu mengepalkan tinju ke dadanya, mengisyaratkan agar Guntur tetap tabah.
“Sini kau mendekat…”, bisik Bung Karno. "Minta Pak Hatta…jadi walimu.”
“Mana Pak Hatta mau? Aku nggak berani memintanya, Bapak yakin Pak Hatta mau…?” Tanya Guntur.
Bung Karno mengangguk yakin. “Suruh ibumu menyampaikan permintaan Bapak ini padanya.”

Guntur terbengong. Saat disampaikan pesan ini kepada Bu Fatmawati, Ia langsung menelpon Bung Hatta. Dan Bu Fatmawati mendapat jawaban spontan…”Baiklah, saya bersedia!!”

Dan hubungan unik dua pribadi ini mencapai ujungnya ketika Bung Karno sudah memasuki masa kritisnya. Bung Hatta mengajukan permohonan pada Presiden Soeharto untuk membesuk Bung Karno. Izin di dapatkan. Sore harinya beliau berangkat. Begitu masuk ruangan, Bung Hatta langsung ke tempat tidur Bung Karno, sambil berkata,

“Aa..No..apa kabar?” Bung Karno diam beberapa saat sambil memandangi Bung Hatta. Kemudian berkata, “Hoe Gaat het met jou?”

Tak lama kemudian, beberapa kali air mata beliau menetes ke bantal, sambil memandang Bung Hatta yang terus memijiti lengannya. Beliau malah minta dipasangkan kacamata agar dapat memandang Bung Hatta dengan lebih jelas. Tak ada kata-kata setelah itu. Pertemuan itu berlangsung 30 menit. 30 menit untuk selamanya. Karena beberapa hari kemudian Bung Karno wafat meninggalkan bangsanya. Dwi tunggal memang unik, dan hanya mereka berdua yang dapat memahaminya.

Tuesday, February 09, 2010

Pluralisme, sebuah uraian singkat

Belakangan ini terdengar semakin keras gaung dari kata pluralisme. Sepertinya pluralisme menjadi “pedoman” baru dalam berwarga negara yang baik. Tidak mendukung pluralisme, berarti tidak menghargai keragaman. Salah satu gaung pluralisme yang kuat adalah pluralisme agama. Sebagian pendapat menerima dan mendukung ide pluralisme agama dan sebagian lagi menolaknya. Sebenarnya makna pluralisme agamapun masih beragam. Banyak orang dibingungkan dengan makna pluralisme agama. Tidak jelas mana yang pasti. Menurut KBBI, pluralisme adalah, “keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya);. kebudayaan berbagai kebudayaan yg berbeda-beda dl suatu masyarakat.” Sedangkan menurut ensiklopedi atau kamus, “Religious pluralism (rel. comparative religion) is a loosely defined expression concerning acceptance of different religions, and is used in a number of related ways:

- As the name of the worldview according to which one's religion is not the sole and exclusive source of truth, and thus that at least some truths and true values exist in other religions.
- As acceptance of the concept that two or more religions with mutually exclusive truth claims are equally valid. This posture often emphasizes religion's common aspects.
- Sometimes as a synonym for ecumenism, i.e., the promotion of some level of unity, co-operation, and improved understanding between different religions or different denominations within a single religion.
- And as a synonym for religious tolerance, which is a condition of harmonious co-existence between adherents of different religions or religious denominations.

Jelas makna pluralisme agama adalah kata-kata yang beragam dan bersayap. Kita dapat simpulkan pluralisme dalam beragam artinya, ialah : A. Mengakui keragaman agama dan budaya dalam masyarakat. B. menganggap semua agama sama benarnya. C. Menolak klaim kebenaran setiap agama. Pada poin A, mungkin semua umat beragama bisa menerimanya. Tapi pada poin B, dan C jelas bermasalah. Bagaimana mungkin Menganggap semua agama sama benarnya? Kita memilih memeluk sebuah agama jelas karena menganggap agama yang kita pilih benar, konsekuensinya agama lain jelas salah (minimal secara teologis dan konsep ketuhanan). Poin C pun tak masuk akal. Jika kita tak bisa mengklaim agama kita paling benar, lalu agama kita (mungkin) bisa salah. Berarti agama kita agama yang tidak sempurna? Apakah Tuhan menurunkan bimbingan pada umatnya dengan tidak sempurna?

Baiknya kita tak hanya melihat makna pluralisme itu, tapi juga bagaimana teori pluralisme agama menurut para pengusungnya? Salah satunya adalah John Hick, yang mengusung God-centredness, yaitu sebuah konsep yang menyatakan bahwa setiap agama menyembah Tuhan yang sama. Dia melihat dari posisi netral agama. Dalam memandang agama – termasuk konsep Tuhan masing-masing agama – Hick berdiri pada posisi netral agama. Ia tidak berdiri pasa posisi Islam, Kristen, Hindu, Yahudi, Budha dan sebagainya. Ia berdiri pada posisi di luar semua agama. Inti teorinya tetaplah sama, agama boleh berbeda, tapi Tuhannya tetap satu. Ini jelas sebuah pembodohan. Bagaimana mungkin agama Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dll memiliki Tuhan yang sama. Setiap agama memiliki konsep ketuhanaan yang berbeda-beda, begitu pula definisi Tuhannya. Islam dalam konsep ketuhanannya adalah Tauhid. Kristen dengan Trinitasnya, lain pula Budha dan Hindu. Dalam Islam jelas, tiada Tuhan selain Allah. Jelas Hicks tidak menganggap ajaran agama lain. Telologi Dalam Kristen misalnya, keselamatan adalah kebenaran Tuhan di dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib diterima melalui iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Dalam Islam, keselamatan adalah sinergi antara Iman dan amal manusia (QS.AL Baqarah : 25).

Tokoh pluralisme lainnya adalah Diana L Eck untuk melebur batas agama-agama (ekslusivisme). Dalam bukunya An Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolute hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Sekali lagi, dalam beragama pun semuanya adalah relatif. Kata-kata ini seringkali digaungkan oleh pengusung pluralisme. Bagaimana mungkin Tuhan menurunkan wahyu-Nya yang bersifat relatif? Apakah Tuhan main-main dalam menurunkan wahyunya? Padahal Tuhan menurunkan wahyu untuk membimbing manusia. Pandangan relatif ini terjadi karena para pengusung ide pluralisme agama itu melihat wahyu Tuhan bukan sebagai wahyu yang suci, tapi produk atau bagian dari konstruksi sosial. Atau produk budaya.

MUI sudah mengeluarkan Fatwa haram paham Pluralisme agama ini. Lagipula Paham pluralisme agama bukan saja ditentang umat Islam tapi juga agama lain, seperti Katolik. Tahun 2000, Vatikan juga mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus yang menolak paham Pluralisme Agama. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa ‘kebenaran penuh’ (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.

Lalu jika paham pluralisme agama ini mempunyai banyak makna dan sebagian maknanya terdapat masalah bagi umat beragama, lalu kenapa dipakai dalam masyarakat kita. Bukankah ini akan menambah kerancuan? Niatnya mungkin baik, agar terjadi perdamaian (agama) dan pengertian dalam masyarakat. Tapi caranya jelas salah. Ini hanya menambah kerancuan bagi umat beragama. Umat beragama memiliki aturan dan konsep ketuhanan masing-masing. Dan masing-masing berhak mengklaim agamanya benar, hanya saja tidak boleh memaksakannya pada agama lain. Anehnya, kenapa kita tidak menggunakan kata toleransi umat beragama? Tidak menggunak Bhineka Tunggal Ika dalam bernegara? Sungguh aneh jika memaksakan istilah yang memilik banyak makna dan bermasalah.

Pluralisme dan Islam

Lalu bagaimana dengan Umat Islam? Apakah Islam harus menyesuaikan dengan Pluralisme? Apa kita harus menjadi Umat Islam pendukung Pluralisme? Islam adalah agama yang paripurna. Sudah sempurna. Seperti firman Allah SWT,dalam Al Maidah ayat 3, “ada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Tidak perlu lagi dibumbui dengan Pluralisme.

Dalam Islam dikenal konsep Tasamuh (toleransi). itu menjadi rambu-rambu bagi umat Islam dalam berhubungan dengan umat yang berbeda agama. Seperti dalam surat Al Baqarah ayat 256. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”; atau yang sangat jelas surah Al Kafirun, yang salah satu ayatnya berbunyi, “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

Atau surat Al Mumtahanah, ayat 8, yang berbunyi, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Lagipula Risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sudah tumbuh ditengah-tengah umat yang beragam ras dan agama (memeluk Kristen, Yahudi, dan Majusi). dan memang tidak memerlukan lagi doktrin Pluralisme agama.

Sebaiknya menjadi umat Islam kita tak hanya harus cerdas tapi juga kritis dalam menerima ide-ide yang bertaburan di masyarakat. Apa yang sering di dengung-dengungkan oleh media belum tentu baik dan benar.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah kenapa masih saja konsep pluralisme agama didengungkan dan cenderung seperti di paksakan pada umat beragama di Indonesia, terutama umat Islam? Seakan-akan, jika tidak menganut paham pluralisme berarti tidak toleran pada umat lain…

Lonceng Kematian perjanjian AFTA-Cina

Malam tahun baru 2010 mungkin malam yang sangat meriah bagi sebagian rakyat Indonesia. Malam penuh suka cita. Tapi bagi sebagian yang lain, khususnya bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan produksi di Indonesia, hal ini menjadi mimpi buruk. Begitu trompet tahun baru dibunyikan, maka lonceng kematian bagi sebagian industri di Indonesia terutama industri kecil.

Mulai 1 Januari 2010 Indonesia secara resmi memasuki era perdagangan bebas dengan Negara Asean dan cina atau lazimnya disebut China-AFTA (China – ASEAN Free trade Area). Alasan yang selalu di dengungkan pemerintah adalah agar kualitas produk Indonesia semakin meningkat jika ikut dalam perdagangan bebas China – AFTA ini. Dengan liberalisasi perdagangan ini, produk-produk Indonesia bebas bersaing dengan produk cina dan Negara asean lainnya. Sehingga memungkinkan penambahan pasar ekspor bagi Indonesia. Sesungguhnya ini hanyalah kata-kata pemanis dari pemerintah saja.

Kenyataannya, ini mimpi buruk, bukan hanya pelaku usaha di Indonesia, tapi mungkin sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk yang paling rentan adalah kaum pekerja. Kenapa menjadi mimpi buruk bagi rakyat Indonesia? Bukankah produk kita tidak akan dikenakan lagi pajak jika kita menjual di negeri tetangga atau cina? Sehingga nilai jualnya lebih murah disana dan akhirnya akan meningkatkan ekspor kita? Ini adalah teori idealnya. Tapi fakta berbicara sebaliknya. Indonesialah yang akan diserbu produk asing terutama dari Cina. Sekitar 8000 kategori produk dari Cina akan menyerbu Indonesia tanpa penghalang apa pun.1 Sebelum di berlakukannya China – AFTA-pun produk Cina sudah menguasai pasar-pasar di Indonesia, terutama tekstil. Karena produk mereka yang massal, dengan kualitas sama tapi harga lebih murah. Apalagi dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas ini. Barang impor dari mereka tak akan di batasi dengan tariff (seperti pajak) lagi. Sehingga harganya lebih murah. Ibaratnya kemarin pagar masih ditutup sedikit, sekarang pagarnya sudah dibobol. Jelas produk-produk Indonesia tak laku lagi. Pengusaha-pengusaha lokal melalui asosiasinya sudah menjerit meminta pemerintah untuk melakukan sesuatu, termasuk melindungi usaha mereka2. Ambruknya usaha mereka akan diikuti dengan PHK besar-besaran. Ini sepertinya tinggal menunggu waktu.

Pemerintah kita sepertinya hidup dalam impiannya sendiri. Dengan mengikuti pasar bebas, kita siap menjadi negara yang lebih maju dengan eskpor yang lebih tinggi. Mereka lupa untuk terbangun dari mimpinya. Indonesia dengan mengikuti kesepakatan perdagangan bebas, sama saja dengan melemparkan rakyat dan industri dalam negerinya ke jurang. Keikutsertaaan Indonesia dalam perdangan bebas ibarat, kita mengikutsertakan Tim sekelas RT kita untuk ikut serta dalam kompetisi sepak bola liga inggris, tanpa persiapan yang matang. Alhasil kita hanya menjadi bulan-bulanan saja. Industri kita belum siap untuk bersaing dengan pasar Negara lain. Bukan soal kualitasnya, mungkin sebagian produk memiliki kualitas yang lebih dibanding negara lain. Tapi soal dukungan dari pemerintah itu sendiri. Infrastruktur pendukung yang masih bobrok seperti jalanan yang bagus, sistem birokrasi dan perizinan yang rumit, pungli yang masih merajalela. Hal – hal ini jelas akan menaikkan biaya produksi industri kita. Sehingga dari faktor harga, kita tak akan bisa bersaing. Contohnya adalah ongkos angkut kontainer dari Jakarta ke Batam hamper dua kali lipat dari ongkos angkut kontainer dengan ukuran yang sama, dari Singapura ke California. Atau jeruk impor bisa jauh lebih murah dibanding jeruk dari Brastagi karena membutuhkan biaya yang sangat mahal. 3 Harapan seiring berlakunya pasar bebas yang lain, adalah masuknya investasi asing yang akan diikuti, misalnya dengan pendirian pabrik-pabrik di Indonesia. Namun ini akan sulit karena merajalelanya pungli dan korupsi serta birokrasi yang berbelit belit. Mereka lebih baik mendirikan pabriknya dinegara dengan iklim invstasi yang nyaman seperti Vietnam lalu menjual barangnya ke Indonesia.

Lalu bagaimana dengan ekspor? Apakah kita mampu menembus pasar mereka? Jika di dalam negeri saja kita sudah tak mampu bersaing karena harga, apalagi diluar negeri. Belum lagi taktik negara lain yang menghalangi produk asing dengan kebijakan seperti penghalang nontarif (non tariff barrier). Contohnya dengan standar kualitas produk yang tinggi. Mereka menentukan sendiri standar yang mereka inginkan. Sulit untuk bisa menciptakan produk yang memenuhi standar negara lain, karena industri kita sulit untuk maju karena minimnya faktor pendukung dari pemerintah. Banyak hal–hal lain yang menunjukkan ketidaksiapan negara kita menuju pasar bebas. Dan pemerintah tampaknya menutup mata dan terus bersikukuh untuk terus memberlakukannya.

Diterapkannya konsep perdagangan bebas awalnya merupakan konsep penyelamatan ekonomi oleh IMF dan Bank Dunia yang menjadi bagian dari peminjaman bantuan kepada Negara-negara berkembang. IMF dan atau Bank Dunia memberikan pinjaman namun harus disertai aturan dan kontrol oleh IMF untuk mereformasi ekonomi Negara peminjam, yang disebut Structural Adjustment Program (SAP). Reformasi ekonomi antara lain mencakup, (1). pengetatan fiskal; (2) mengurangi alokasi dana pemerintah untuk sektor publik, seperti kesehatan, pendidikan; (3) liberalisasi nilai suku bunga; (4) deregulasi ; (5) privatisasi dan liberalisasi perdagangan, dan pembangungan infrastruktur, untuk dialihkan ke sektor yang lebih berorientasi profit. Oleh Ekonom John Williamson, reformasi ekonomi ini ia sebut Wahsington Consesnsus. Disebut Washington Consensus karena perumusannya melibatkan politisi Kongres, teknokrat dan birokrat, lembaga finansial dan agen ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. AKhirnya rumusan ini menjadi doktrin yang dipakai sebagai formulasi landasan kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan Organisasi perdagangan Dunia (WTO).4

Konsep perdangan dan pasar bebas sendiri sudah menjadi sasaran kritik habis-habisan oleh ekonom-eknonom dunia. Salah satunya adalah Joseph E. Stiglitz, pemenang nobel ekonomi, yang mengkritik dalam bukunya Making Globalization Works. Menurutnya, Negara berkembang menderita akibat perdagangan bebas dan tidak selalu mendapatkan manfaat peningkatan ekspor. Belum lagi soal pengangguran. Dampak perdagangan bebas yang menghasilkan pengangguran, pada negara maju, mungkin akan dapat diantisipasi dengan asuransi secara temporer atau jaminan sosial. Namun di negara berkembang hal itu sulit, para pekerja yang terkena PHK harus mencari sendiri jalan keluarnya karena asuransi dan jaminan sosial yang tak memadai, jika tak mau dibilang tidak ada. 5

Jika pemerintah kita mau belajar, Sesungguhnya implementasi perdagangan bebas antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko (North American Free Trade Area) dapat menjadi contoh buat kita. Awalnya, NAFTA diharapkan agar membantu Meksiko, yang memiliki banyak pengangguran dan pendapatan yang berbeda jauh dari AS dan Kanada, menuju kemakmuran. Namun setelah 10 tahun dilaksanakan, NAFTA tak dapat mewujudkannya. Kesenjangan pendapatan antara AS dan Meksiko justru bertambah 10%. Bahkan NAFTA memperparah kemiskinan di Meksiko, karena para petani Meksiko tak bisa mengekspor produknya ke AS, karena dihalangi oleh penghalang nontarif (non tarrif barrier). Sementara NAFTA mengurangi tarif, semua penghalang nontarif tetap diberlakukan. Sebelum NAFTA, Tarif menghasilkan penerimaan pajak sebesar 7% bagi meksiko. Namun setelah nafta berlaku, turun menjadi 4%. 6

Sebenarnya pemerintah kita sudah cukup pandai dan (seharusnya) tahu dengan keburukan perdagangan bebas yang sekarang diikuti Indonesia tanpa persiapan yang memadai. Mereka tahu bahwa industri dalam negerinya akan ambruk, sehingga kita hanya akan menjdi bangsa konsumen, bukan produsen. Kita akan selalu bergantung pada produk luar negeri dan tak punya kemandirian ekonomi. Mereka juga tahu ada jutaan pekerja kita yang terancam oleh perjanjian ini. Namun, mereka tetap bersikukuh, entah kebijakan apalagi yang akan mereka keluarkan, setelah perlahan tapi pasti mengurangi subsidi untuk kebuthan publik seperti pendidikan7, memprivatisasi dan menjual sebagian usaha milik negara, melakukan perdagan bebas yang akan menghancurkan usaha dalam negerinya sendiri, sehingga Indonesia tak lagi punya kemandirian ekonomi. Jika sudah begitu semakin mudahlah bangsan lain mendikte kita. Maka jangan heran jika negara tetangga seperti Malaysia pun kurang menghargai kita. Jangan salahkan pemerintah negara lain, tapi tunjuk pemerintah sendiri, karena pemerintahnya tak peduli pada rakyatnya sendiri. Jika memang mereka bekerja untuk rakyat (seperti slogan-slogannya) tentu bukan hal-hal ini yang terjadi. Kita tunggu saja.

1. Majalah Mingguan Tempo, 21 Desember 2009. Dampak Pasar bebas. Yang cemas, yang siap.
2. Majalah Mingguan Tempo, 21 Desember 2009. Dampak Pasar bebas. Yang cemas, yang siap.
3. The World is Flat. Thomas L. Friedman. Kata pengantar : Faisal H. Basri.
4. Post Washington Consensus dan Politk Privatisasi di Indonesia. Centre For International Relation Studies Universitas Indonesia.
5. Making Globalization Works. Joseph E. Stiglitz.
6. Making Globalization Works. Joseph E. Stiglitz.
7. Post Washington Consensus dan Politk Privatisasi di Indonesia. Centre For International Relation Studies Universitas Indonesia.