Wednesday, July 13, 2011

Amerikanisasi dalam Iklan Cetak Marlboro

Tulisan ini sebenernya tugas kuliah. tapi iseng aja ah, posting di blog. siapa tau ada manfaatnya :D
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dunia berubah begitu cepat. Kemajuan teknologi dalam 30 tahun terakhir mengubah semuanya. Saat ini sekat-sekat antar negara hampir tidak terlihat. Dunia ini seperti menjadi datar.Penduduk di bumi belahan selatan dapat mengetahui apa yang terjadi saat itu juga di bumi belahan utara. Jarak tidak lagi membatasi akses informasi bagi manusia saat ini. Televisi dan internet menjadi lokomotif perubahan gelombang informasi bagi manusia. Semua menyerap informasi yang sama hampir tanpa batasan. Proses inilah yang seringkali disebut sebagai globalisasi.1
Beragam informasi muncul dalam kehidupan kita, dari berbagai belahan bumi yang berbeda. Termasuk informasi yang membawa pesan ekonomi dalam bentuk iklan. Anda tak akan lagi sulit menemukan iklan produk dari belahan bumi yang berbeda. Energizer dengan ikon kelincinya, walaupun anda tak tahu bagaimana kelinci tersebut mengikat dirinya dengan Energizer. Mac dengan logo apelnya, meskipun kita tak paham apa hubungan produk teknologi dengan sebuah apel. Juga iklan rokok Marlboro dengan para koboinya. 
Saya jadi ingin tahu, kenapa iklan yang mengusung budaya yang jauh berbeda bisa tampil di tengah masyarkat. Contohnya iklan Marlboro. Karena Marlboro, dimanapun iklannya, selalu menggunakan Koboi sebagai ikonnya, walaupun dalam negara yang dituju, koboi bukanlah sesuatu yang familiar, seperti di Indonesia. Sepertinya, globalisasi terutama ekonomi dan budaya sebagai sebab pendorong Marlboro selalu menggunakan ikon koboi ini. Globalisasi ini yang menyebabkan Amerikanisasi pada sebuah budaya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa melihat lebih dalam tentang hal tersebut.

Globalisasi
Globalisasi begitu sering didengung-dengungkan. Namun kita harus memahami makna pasti dari globalisasi tersebut. Maka ada baiknya kita mengetahui makna dari globalisasi itu sebelum membahas lebih jauh. Menurut Cambridge Dictionaries Online2, globalisasi adalah,
The increase of trade around the world, especially by large companies producing and trading goods in many different countries (peningkatan perdagangan di seluruh dunia, terutama oleh perusahaan yang memproduksi dan memperdagangkan barang-barang di banyak Negara).
When available goods and services, or social and cultural influences, gradually become similar in all parts of the world (ketika barang dan jasa yang ada, atau pengaruh sosial dan budaya, secara bertahap menjadi sama di semua wilayah di dunia).
Jadi ketika membahas globalisasi maka kita akan menemukan yang berkaitan dengan ekonomi (perdagangan baik produk maupun jasa), sosial dan budaya. Namun menurut Manfred Steger3 , globalisasi ekonomi tidak terlepas dari globalisasi politik. Karena ada motif politik dibalik tindakan globalisasi ekonomi. Proses globalisasi politik dan ekonomi ini menjadi kritik pengamat, seperti Kenichi Ohmae4, yang menganggap, ketika munculnya dunia tanpa batas yang dilahirkan oleh kapitalisme, negara tidak lagi menjadi relevan. Karena menghilangkan peran negara dalam perdagangan.5 Dalam bukunya, Making Globalization works, peraih nobel ekonomi, Joseph Stiglitz, juga mengkritik hal yang serupa6.

Globalisasi budaya  juga patut dipertimbangkan. Karena pembahasan judul buku ini juga menyangkut sisi budaya. Pertanyaan yang timbul mengenai dampak globalisasi budaya adalah, apakah globalisasi budaya akan menyebabkan keragaman atau malah homogenitas budaya? Roland Robertson mengatakan bahwa, yang akan dihasilkan justru keragaman budaya.7 Karena ketika arus budaya global mendera sebuah wilayah, maka yang akan dihasilkan justru “glokalisasi”. Artinya semacam interaksi unik antara budaya lokal dan global, yang menjadi sebuah peminjaman budaya global oleh budaya lokal. Hal ini juga diamini oleh Thomas L. Friedman. 8 Menurutnya, budaya lokal tidak akan tergerus, justru yang dihasilkan adalah budaya lokal yang menglobal. Karena menurutnya, proses uploading akan mendorong semua budaya untuk muncul. Tentu saja ada juga kritik tentang globalisasi budaya, seperti yang ungkapkan sosiolog Amerika, George Ritzer, yang mengkritik amerikanisasi budaya.9 Sebagai tambahan, Appadurai, seperti dikutip Steger10, menuturkan bahwa ada lima dimensi konseptual yang dibentuk arus globalisasi budaya. Pertama, Etnoscapes (perpindahan populasi yang melahirkan turis, imigran, pengungsi dan pelarian). Kedua, Tecnhoscapes (perkembangan teknologi). Ketiga, Financescapes (aliran capital global). Keempat, Mediascapes (Kemampuan elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi). Kelima, Ideoscapes (ideologi Negara-negara dan gerakan sosial).  


Sejarah Singkat Marlboro 

Sejatinya Marlboro pertama kali muncul di Inggris tahun 1847. Awalnya rokok Marlboro disasar untuk pasar wanita. Namun tidak sukses. Tahun 1920, Marlboro menyasar pasar wanita di Amerika Serikat. Dan hasilnya ternyata baik. Tahun 1950, mereka kembali mengeluarkan produk inovasinya. Kampanyenya tentang buruknya dampak merokok non filter. Pada saat itu, mayoritas rokok adalah non filter, dan Marlboro sebagai produsen rokok filter ingin mengambil hati melalui kampanye kesehatan mereka. Tahun 50’an, Marlboro mulai mengalihkan pasar mereka dari rokok wanita menjadi rokok para pria. Maka berikutnya dimulailah kampanye mereka. Kemunculan pertama, iklan pria ber-tatto. Berikutnya muncul iklan-iklan mereka dengan citra pria yang sehat dan beragam aktivitas luar ruangan. Saat awal kampanye, tokoh pria pelaut dan koboi menjadi citra mereka. Berikutnya semakin kuat dengan dicitrakan sebagai pria macho. Pada tahun 1954, ikon koboi  “Marlboro Man”, yang kita kenal sampai sekarang, muncul. Tahun 1963, Marlboro Man ditetapkan sebagai satu-satunya ikon mereka. Marlboro adalah koboi dan koboi adalah Marlboro. Citra itu begitu melekat hingga saat ini.11


Iklan Cetak Marlboro 

Iklan Marlboro biasanya di dominasi oleh sebuah foto besar, entah itu seorang Koboi yang sedang merokok, atau sedang melempar tali lasso, atau sedang menunggang kuda. Namun, ide utamanya tetap kehidupan koboi. Sebuah tagline melengkapi kalimat tersebut. Yang menarik adalah visualisasi iklan Marlboro tersebut. Jika dahulu diperlihatkan Koboi yang sedang merokok, maka seiring ketatnya aturan adegan merokok dihilangkan. Begitu juga gambar kemasan rokok. Kalimat “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin, ” terletak di bagian bawah iklan.

Ketika melihat iklan-iklan ini maka kesan yang penulis tangkap adalah iklan ini ingin mengesankan  jantan, dan gagah. Kesan sehat juga ditangkap, karena melakukan aktivitas olahraga luar ruangan. Iklan ini tampak sederhana namun memeberikan kesan yang kuat. Kesan dari citra Marlboro. Citra yang kuat tentang jantan dan gagah. 


Globalisasi dan Iklan Marlboro

Tak banyak dari masyarakat kita yang begitu familiar dengan dunia koboi. Penulis pun masih menyangsikan, apakah koboi berkesan gagah dan jantan bagi masyarkat Indonesia? Lalu kenapa Marlboro tetap menampilkan citra koboi pada produknya? Bukankah budaya tersebut tidak familiar dengan masyarkat Indonesia? Globalisasi budaya bisa menjawabnya. 

Menurut Tomlinson, seperti dikutip Steger11, ketika citra dan gagasan dialihkan dari satu tempat, ke tempat lainnya, maka akan berdampak besar pada cara orang menjalani kehidupan sehari-harinya. Kultur tidak lagi berkaitan dengan lokalitas yang tetap seperti kota atau negara. Tetapi mendapat makna baru yang mencerminkan tema yang dominan dalam konteks global. Menurut pendapat sejumlah pemikir, hal ini mendorong munculnya kultur global yang homogen. Kultur yang ditopang oleh nilai-nilai Anglo-Amerika, atau bisa dikatakan “amerikanisasi.” Seperti yang diilustrasikan oleh George Ritzer12, cara kerjanya mirip restoran McDonalds. Mendominasi di segala lapisan masyarkat Amerika dan seluruh dunia. Ia menyebutnya Mcdonaldisasi. Dominasi kata yang tepat menggambarkan hegemoni kebudayaan. Edward Said, mengutip Gramsci, menuturkan bahwa, bentuk-bentuk kebudayaan tertentu lebih dominan daripada kebudayaan lainnya, sebagaimana gagasan tertentu berpengaruh daripada gagasan lainnya13. Begitu hegemoniknya, sehingga gagasan itu membuat membuat orang tak bisa mengelak dari hal yang disampaikan gagasan yang kukuh itu. Bukankah ketika pihak yang berkuasa (dalam ekonomi dan politik) berarti turut juga mendominasi budaya pihak yang didominasi? Artinya, ketika Marlboro, ingin menyampaikan citra yang sebenarnya tak sama dengan kultur kita, ia dapat dengan mudah menyampaikannya. Karena hegemoni dan globalisasi budaya tersebut. Tak masalah jika citra itu menampilkan koboi sekalipun.  DImensi konseptual seperti yang dicetuskan Appedurai, yaitu dimensi mediascapes turut membantu tersebarnya citra yang didukung budaya hegemonik ini. Budaya hegemonik yang akhirnya menciptakan Amerikanisasi melalui iklan Marlboro.


Maka ketika kita berbicara dalam konteks iklan Marlboro, tidak mengherankan mereka menampilkan citra yang berbeda dengan budaya kita (baca : koboi adalah gagah dan jantan). Globalisasi terutama budaya turut mendorong hal tersebut. Apalagi ketika arus informasi mendera seluruh muka bumi ini. Bumi menjadi datar. Semua mendapatkan informasi dalam waktu yang sama. Perkembangan teknologi yang mendorong ekspansi budaya memang tak bisa dielakkan. Arus ini bisa membentuk sikap resistensi. Sikap yang memprovokasi resistentsi politik juga kultural, seperti yang dituturkan oleh Benjamin R. Breber14. Di satu sisi, serbuan arus budaya ini juga dapat melahirkan glokalisasi, seperti yang sudah dituturkan di atas. Namun bukanlah sikap yang bijak jika kita membiarkan diri terbawa arus globalisasi budaya. Sikap kritis dan bijaksana menjadi penyaring yang baik bagi masyarakat untuk menyikapi arus ini. 

Memang ironis, ketika merokok di negara seperti Amerika diatur secara ketat, Marlboro justru berekspansi ke Indonesia15. Ekspansi ini tidak hanya membawa motif ekonomi. Tapi secara tidak langsung juga membawa kultur yang berbeda. Kultur yang dikemas sedemikan rupa untuk motif ekonomi.  Menurut penulis, tidaklah tepat, ketika sebuah budaya yang asing (baca : Koboi) dibawa dan dikampanyekan dengan cara yang sama (menggambarkan sebuah citra jantan dan gagah) untuk sebuah produk rokok bernama Marlboro ini. Namun banyak faktor seperti ekonomi, politik dan teknologi yang akhirnya membuat ini terjadi. Dan yang terjadi justru Amerikanisasi pada sebuah budaya. 


Daftar Pustaka
1. Friedman, Thomas L. 2006. The World Is Flat, Sejarah ringkas abad ke 21. Jakarta : Dian Rakyat
2. www. dictionary.cambridge.org
3. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
4. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
5. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
6. Stiglitz, Joseph E. 2007. Making Globalization Works. Jakarta : Mizan
7. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
8. Friedman, Thomas L. 2006. The World Is Flat, Sejarah ringkas abad ke 21. Jakarta : Dian Rakyat
9. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
10. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
11. HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Marlboro_(cigarette)"http://en.wikipedia.org/wiki/Marlboro_(cigarette)
12. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
13. Said, Edward W. 2010. Orientalisme, Menggugat hegemoni Barat dan mendudukkan timur sebagai subjek. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
14. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
15. www. en.wikipedia.org/wiki/List_of_smoking_bans_in_the_United_States