Thursday, June 23, 2011

Islam tapi Rasis?


“Dasar lu cina! Pulang kampung aja lo! Dasar arab, pelit!”
Bukan sekali dua kali, saya mendengar kalimat kebencian seperti tadi. Kebencian, prasangka atau stereotip terhadap suatu bangsa, etnis atau ras, sepertinya sudah bukan barang baru di masyarakat Indonesia. Setidaknya yang saya alami hingga saat ini. Hal seperti ini sepertinya sudah biasa terdengar oleh saya (dan mungkin sebagian dari kita) sejak kecil. Dan sepertinya ini bukan hal yang aneh. Jarang saya dengar ketika saya ada kalimat kebencian, atau prasangka seperti tadi, ada yang menyanggah, atau membantahnya. Sepertinya ini sudah menjadi bagian dari cara pandang kita. Suku, etnis, bangsa atau ras tertentu lebih hina, atau rendah daripada kita. Dan ini terkadang saya dengar dari sebagian lingkungan saya yang mayoritas Islam. Bahkan saya pernah dengar, ada khotib Jumat yang berkata dengan nada kebencian serupa.

Entah mengapa hal ini saya anggap biasa, normal dan cenderung mengiyakan. Mungkin karena dari kecil, saya sudah terbiasa mendengarnya. Mereka yang dibenci, memang sudah dari lahirnya seperti itu. Lahir dengan sifat-sifat jahat, pelit, kikir, sombong dan lain-lain. Yang paling sering jadi sasaran di Indonesia (setahu saya) adalah etnis Tionghoa, atau Cina kata masyarakat umum. Sekarang malah disebut China (dilafalkan dengan pengucapan bahasa Inggris). Entah kenapa di ucapkan seperti itu. Padahal, bahasa Indonesia tidak mengenal kata ‘China’. Saya sendiri akan membiasakan menyebutnya tionghoa. Seperti yang biasa di sebut oleh sejarahwan, Ong Hok Ham.

Namun pola pandang ini berubah tatkala saya mengenal Malcolm X. Aktivis kulit hitam di Amerika Serikat.[1] Setelah membaca bukunya, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana pandangan rasis ini? Apakah benar atau salah? Bagaimana kalau saya jadi orang ‘cina’, atau ‘negro’, atau lainnya? Apa saya tetap berhak diperlakukan tidak adil? Dipandang dengan prasangka negatif? Apakah benar sikap rasis ini?

Rasis sendiri mulai di pakai dalam kata ilmiah sejak tahun 1930an.[2] Tatkala menggambarkan politik Nazi di Jerman. Namun, telah dituliskan sebagai istilah resmi dalam kamus di Spanyol pada tahun 1611. Kamus tersebut mengartikan istilah ‘raza’, sebagia istilah yang menghormati suatu ‘kasta atau kualitas, kuda-kuda asli’. Dan diartikan pula sebuah istilah yang merendahkan,yang mengacu pada silsilah bangsa yahudi dan moor (bangsa muslim dari Afrika, yang tinggal di Spanyol).[3] Pandangan terhadap ras ini cenderung berdampak dan diwarnai pada berbagai aspek. Yang paling fatal adalah penyerangan, atas dasar ras. Mulai dari penindasan terhadap bangsa Indian di Amerika, reconquista di Spanyol, Yahudi di Jerman, era kolonial, terhadap kulit hitam di Amerika, sampai pada pemusnahan etnis di Bosnia, Kosovo dan Checnya, serta yang berlangsung sampai saat ini dan di dukung banyak negara, yaitu pemusnahan terhadap bangsa Palestina. Rasisme atau rasialisme, berarti, 1. prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yg berat sebelah thd (suku) bangsa yg berbeda-beda; 2 paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yg paling unggul.[4]

Semakin menyedihkan tatkala kita melihat sebagian Muslim di Indonesia masih memiliki cara pandang rasialis ini. Padahal sebagai Muslim, harusnya kita memiliki cara pandang (worldview) yang digariskan Islam. Lalu bagaimana Islam memandangnya? Nyatanya Islam sudah memerangi rasisme sejak hampir 1400 tahun yang lalu. Seorang muslim disuruh memahami, bahwa manusia itu memang beragam suku dan bangsa,

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujarat : 13)

Setelah manusia menginsyafi adanya keragaman dalam dunia ini dan saling mengenal, maka mereka disuruh berpikir,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.(QS. Ar Rum : 22)

Inilah tanda-tanda dari Tuhan. Bukan sekedar diketahui, tapi kembali mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhannya. Jika sampai saat ini kita masih berpikir rasis, maka sadarkah kita dengan cara pandang itu, maka yang paling awal timbul adalah prasangka? Maka Allah melarang kita bersikap seperti itu,
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah : 8)

Jika memang itu yang sudah digariskan dalam Islam, maka sebagai Muslim, mengapa kita harus bersikap rasis? Untuk kita (di Indonesia) yang terbiasa dengan sikap rasis ini, maka sebaiknya kita tahu bahwa rasisme adalah bagian dari politik pemerintah Kolonial belanda, yang membagi masyarakat di Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu golongan eropa, timur asing (yang termasuk didalamnya etnis tionghoa, baik peranakan dan bukan peranakan) serta golongan bumi putera (pribumi). Politik lainnya dari kolonial Belanda adalah politik Wijkenstelsel, yaitu politik yang mengharuskan setiap suku bangsa tinggal di kampung-kampung tersendiri, agar tidak ada hubungan, kecuali perdagangan antar etnis atau suku bangsa dalam suatu kota. [5] Bahkan hingga pendidikan pun penjajah itu memilah-milahnya, dengan memberikan sekolah yang berbeda-beda, yaitu HIS (hollandsch-Inlandsche School) untuk bumiputera/pribumi, HCS (hollandsch-Chineese School) untuk etnis tionghoa dan peranakannya, serta ELS (Europeesch Lagere School) untuk anak-anak Belanda.[6]
Maka dampaknya masih terasa hingga saat ini. Ketika sebagian orang memilih tinggal bersama etnisnya, dan sulit membaur. Tak bisa disalahkan begitu saja, mengingat ini sudah berjalan sejak era penjajahan. Dan tak mudah memerangi prasangka ras yang satu ini di Indonesia. Namun mungkin dengan mengaitkan Islam dengan etnis tionghoa, maka akan ditemui, bahwa, Islam telah memulai kontak resmi dengan pemerintah China (dinasti Tang) pada masa khalifah Usman Bin Affan.[7] Jikalah memang Islam mengajarkan kebencian pada etnis tionghoa, maka mengapa pula sahabat Rasulullah, khalifah Usman Bin Affan, memulai hubungan diplomatik dengan dinasti Tang?

Saat ini rasisme dapat kita anggap sebagai musuh bersama. Namun ironisnya, justru sebuah negara bernama Israel menjadi sebuah negara yang mendukung rasisme. Ini adalah sebuah masalah fundamental sejak awal berdirinya Israel. Israel tak ubahnya, bahkan lebih kejam dan jahat, jika dibandingkan dengan Afrika Selatan semasa poltik apherteid mereka. Denis Goldberg, seorang yahudi, yang mencoba melawan system apherteid di Afrika Selatan dipenjarakan pada tahun 1985. Ia dapat dibebaskan dengan campur tangan Israel, namun ia menolak dipindahkan ke Israel. Alasannya, “Saya melihat banyak kesamaan antara penindasan terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan dengan penindasan terhadap orang Palestina.”[8]

Simak pula komentar peraih nobel, Uskup Desmond Tutu, ketika berkunjung ke Yerussalem pada tahun 1989. Ia berkata, “Saya seorang berkult hitam Afrika Selatan, dan seandainya saya boleh menyamakan, gambaran peristiwa yang sedang terjadi di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dapat menggambarkan apa yang terjadi di Afrika Selatan.”[9] Majelis Umum PBB secara resmi pada 10 November 1975 mengeluarkan resolusi yang mendefinisikan zionisme sebagai bentuk rasisme dan diskriminasi rasial. [10] Maka kita sebagai muslim menolak rasisme dan menolak eksistensi negara rasis dan kolonialis bernama Israel.

Sudah jelas apa yang di perintahkan oleh Allah kepada hambanya mengenai rasisme. Maka, jika telah mengetahuinya, wajiblah kita menghilangkan perilaku dan cara pandang rasis. Memulai dari diri sendiri, walau tak mudah, adalah tindakan yang paling mungkin untuk dilakukan. Sebelum mengakhiri tulisan ini, mari kita mengingat, khutbah ‘perpisahan’ Nabi Muhammad SAW, di bukit arafah pada 9 Dzulhijah (6 Maret 632 M)[11], di depan ribuan jamaahnya, umatnya,
Wahai manusia, dengarlah baik-baik. Aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih dapat bersama kalian. Simaklah apa yang akan kukatakan dan sampaikanlah kepada mereka yang tidak dapat hadir saat ini…Setiap manusia adalah anak Adam dan Hawa. Orang Arab tidak lebih istimewa dari orang Arab. Demikian pula orang kulit putih tidak lebih istimewa dibanding orang kulit hitam. Dan orang kulit hitam tidak lebih istimewa dibanding orang kulit merah; kecuali karena takwa dan amal salihnya. Ketahuilah bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan izin dan ridhanya. Jangan kalian saling menzalimi. Ingatlah satu hari nanti kalian akan bertemu Allah dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kalian. [ 12]

Khutbah ini disampaikan oleh Rasulullah, sebuah pengakuan akan hak azasi manusia, pengakuan menolak rasisme. Yang disampaikan hampir 1400 tahun sebelum Deklarasi HAM PBB tahun 1948.[13] Maka Islam sudah menggariskan bagaimana memandang hidup ini dengan beragam persoalannya, termasuk masalah rasisme. Mengapa masih mencari yang lain sebagai pegangan dan pandangan hidup? Sampaikanlah pesan Rasulullah ini. Sudahkah kita mengamalkan dan menyampaikannya? Wallhualam.

[1]. Malcolm X. Sebuah otobiografi. 2002. Yogyakarta. Ikon Teralitera.
[2] Fredrickson, George M. Rasisme : Sejarah Singkat. 2005. Yogyakarta. Bentang.
[3] ] Fredrickson, George M. Rasisme : Sejarah Singkat. 2005. Yogyakarta. Bentang.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan. pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
[5] Ong Hok Ham. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa. 2005. Jakarta. Komunitas Bambu.
[6] Ong Hok Ham. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa. 2005. Jakarta. Komunitas Bambu.
[8] Burge, Gary M. Palestina Milik Siapa? 2010. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
[9] Burge, Gary M. Palestina Milik Siapa? 2010. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
[10] Garaudy, Roger. Mitos dan Politik Israel. 2000. Jakarta. Gema Insani.
[11] Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Islam dan Rasisme. 2008. Jakarta Gema Insani.
[12] Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Islam dan Rasisme. 2008. Jakarta Gema Insani.

Thursday, June 16, 2011

Cinta Bangsa dan Tanah Air?

Baru saja beberapa pekan belakangan tersiar berita tentang beberapa sekolah Islam yang menolak upacara bendera [1] dan radio Islam yang menolak menyiarkan lagu kebangsaan[2]. Komentar-komentar bermunculan. Dari perbuatan makar, hingga pengkhianat. Kejadian seperti ini mudah membakar emosi orang-orang yang tak sependapat dengan sekolah atau radio tersebut. Apalagi belakangan memang santer masalah NII, penolakan terhadap pancasila dan sebagainya. Maka tak heran menolak upacara bendera dan menolak menyiarkan lagu kebangsaan dianggap sebagai penolakan terhadap NKRI, tidak nasionalis, yang berujung pada tudingan pengkhianat. Tapi apakah pantas, orang yang menolak upacara bendera disebut pengkhianat? Apakah pantas menolak menyiarkan lagu kebangsaan dituding tidak mencintai Indonesia? Lalu apa tolak ukur rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air? Lebih khusus lagi, apa tolak ukur bagi seorang Muslim mencintai tanah airnya? Apakah harus dengan upacra bendera? Dengan menyanyikan lagu kebangsaan?

Ada baiknya kita lihat pendapat seorang Haji Agus Salim. Salah seorang tokoh besar bangsa ini. Sekaligus seorang tokoh Islam di Indonesia. Kecintaannya pada bangsa ini tentu tidak diragukan lagi. Ialah generasi awal tokoh gerakan modern kemerdekaan Indonesia. Sesungguhnya ia pernah membahas persoalan cinta bangsa dan tanah air puluhan tahun yang lampau. Tepatnya Juli 1928. Ketika ia memulai polemik dengan Soekarno lewat media massa. Polemik tentang cinta tanah air dan bangsa, bahkan ketika sumpah pemuda pun belum di ikrarkan oleh pemuda kita.

Berawal dari perkataan Soekarno pada massa PNI. Soekarno menggambarkan betapa Indonesia, yang ia anggap sebagai ibu, begitu indah, teramat kaya dan ia cintai. Maka, kata Soekarno, tak lebih dari wajibmu apabila kamu menghambakan, membudakkan dirimu kepada Ibumu Indonesia, menjadi putra yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.

Haji Agus Salim lalu menulis dalam Fajar Asia, dan menurutnya adalah wajar mencintai tanah air dan bangsanya yang elok dan teramat kaya. Tapi,sebagai muslim, harus dengan asas yang benar, dan tujuan utama yang akan dinilai oleh Allah. Ia mencontohkan betapa banyak, bangsa yang dicintai dan diagungkan kemudian, menjajah bangsa lain. Ia kemudian melanjutkan, “inilah bahayanya, apabila kita ‘menghamba’ dan ‘membudak’ kepada ‘Ibu-dewi yang menjadi tanah air kita karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya, karena ‘airnya yang kita minum’ atau nasinya yang kita makan.”

Karena menurut Haji Agus Salim, janganlah kita mencintai karena sifat duniawi. Ia mengingatkan, “ atas dasar pehubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka, tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.” Ia kemudian melanjutkan, “ maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga cinta tanah air, mesti kita menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak (kebenaran), keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahuwa Ta’ala. ” Artinya kita sebagai muslim, mencintai tanah air ini, tidak melebihi cinta dan cita kita pada Allah. Dan Allah telah menentukan kadarnya. Bagaimana kadarnya?

Haji Agus Salim mencontohkan kadar cinta Nabi Ibrahim pada tanah airnya. Sebagai mana ia kutip surat Ibrahim ayat ke 37.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Ia menerangkan bahwa, bahwa men-tanah air-kan semata karena untuk menyembah Allah. “Hanyalah akan tempat untuk menyembah Allah semata-mata”, tulisnya.

Saya yakin, sebagaimana Haji Agus Salim juga yakin pada Soekarno, bahwa kita sama-sama mencintai tanah air dan bangsa ini. Tapi ada perbedaan yang mendasar.

“Sama Haluan : Cinta bangsa dan tanah air. Sama tujuan : Kemuliaan Bangsa dan Tanah air. Tapi berlainan asas dan niat, “ tandas Haji Agus salim. “Asas Kita agama, yaitu Islam. Niat kita Lillahi Ta’aala, ” Lanjutnya.

Maka sebagai seorang muslim, kita mencintai tanah air ini karena Allah. Semata agar menyembah Allah.Tidak menyembah bangsa dan tanah air ini. Apa yang Allah telah gariskan dan tentukan, itulah yang kita jalankan di tanah air kita ini. Toh semata-mata agar tanah air ini mendapat kemuliaan. Kemuliaan dengan ridho Allah.

Itulah kadar cinta bangsa dan tanah air ini untuk seorang muslim. Maka apabila ada teman-teman kita, yang menolak untuk melakukan upacara bendera, menyiarkan lagu kebangsaan, janganlah dituding sebagai pengkhianat atau berbuat makar. Bagi seorang muslim, ia mencintai tanah air dan bangsanya bukan diukur dari upacara bendera, atau menyiarkan lagu kebangsaan. Bukan dari kebendaan atau simbolik semata. Tapi bagaimana di tanah air tersebut, ia menyembah Allah semata. Bagaimana usahanya ditanah air tersebut menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai yang di tuntunkan oleh Allah.

Tidakkah lebih baik kita tudingkan kata pengkhianat bagi para wakil rakyat yang mengkhianati rakyatnya sendiri? Bagi para pejabat yang menjual aset dan harta bangsanya sendiri pada pihak asing? Bagi para pimpinan yang menipu bangsanya sendiri? Mereka bisa berupacara dan menyanyi dengan baik, tapi tidak menegakkan kebenaran dan keadilan? Wallahualam.

[1] http://news.okezone.com/read/2011/06/13/340/467589/sd-di-solo-juga-tolak-hormat-bendera

[2] http://www.detiknews.com/read/2011/06/09/105609/1656496/10/sebuah-radio-tolak-putar-indonesia-raya-karena-tak-sesuai-syariat

[3] Kumpulan tulisan Haji Agus Salim, tema cinta bangsa dan tanah air dalam 100 Tahun Haji Agus Salim. 1996. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.