Tuesday, August 21, 2007

Harry A Poeze : 36 Tahun Berburu Jejak Tan Malaka


Ia mendedikasikan 36 tahun lebih sejak tahun 1971 untuk menguak perjuangan dan kematian Tan Malaka. Itulah pengabdian seorang Harry A Poeze (60), Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV di Leiden. Karya penelitian Poeze tentang babak akhir hidup Tan Malaka akhirnya tuntas Maret 2007 melalui penerbitan buku Tan Malaka: Verguisd en Vergeten (Tan Malaka: Dihujat dan Dilupakan).

Bermula dari rasa ingin tahu saat dia masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah di Amsterdam Universiteit, Belanda, Poeze terpikat pada sejarah peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20 yang penuh eksotisme Hindia Belanda. Itulah masa yang jadi inspirasi penulis besar, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Rob Nieuwenhuis.

Hindia Belanda kala itu berada dalam pengaruh kuat "Politik Etis" dan mempersiapkan putra-putra penggagas bangsa bernama Indonesia. Dia pun terpikat pada sebuah nama: Tan Malaka.

Nama besar Tan Malaka berulang kali muncul dalam karya-karya ilmuwan Amerika Serikat (AS), Ruth McVey, tentang kelahiran komunis di Indonesia. Rasa penasaran Poeze membawa dia pada awal penelitian mendatangi bekas sekolah dan rumah Tan Malaka di Haarlem, tak jauh dari Amsterdam.

"Tahun 1971 saya bertemu dengan 12 teman sekolah Tan Malaka yang masih hidup. Mereka sama-sama menempuh pendidikan guru (Kweek School) di Haarlem. Begitu dalam kesan yang ditinggalkan Tan Malaka. Bahkan, dokumentasi surat-surat dua guru dia di Sekolah Fort De Kock di Bukit Tinggi, yang memberi rekomendasi dan dukungan, masih terekam baik di Haarlem," cerita Poeze.

Tan Malaka memang amat pandai karena dialah satu-satunya siswa kulit berwarna di Kweek School yang ditempuhnya tahun 1913-1919. Masa Perang Dunia pertama ia lalui di Belanda. Bahkan, setelah dia lulus, direktur Kweek School ketika itu khusus meminta warga Belanda di Sumatera Utara memperlakukan Tan Malaka sebagai orang Eropa.

"Che Guevara Asia"

Penelusuran awal itu menjadi dasar skripsi Poeze. Materi itu juga menjadi bahan penulisan buku Dari Penjara ke Penjara. Poeze lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 hingga S-3. Tan Malaka, yang menurut Poeze adalah "Che Guevara Asia", menjadi obyek penelitiannya.

Penelusuran lebih lanjut dilakukannya di Eropa, Asia, Australia, dan AS. Arsip di Moskwa, Uni Soviet, pelbagai kota di Australia seperti Sydney dan Canberra, serta Washington DC, AS, jadi sumber penelitian.

Arsip Tan Malaka sebagai salah satu tokoh penting tercatat baik di AS dan Australia karena dua negara tersebut menjadi mediator perundingan Belanda-Indonesia pada pascakemerdekaan.

Setelah menyelesaikan disertasi tahun 1976, Poeze mengunjungi Indonesia dan membangun kontak di Jakarta. Namun, misteri Tan Malaka pasca-Proklamasi 1945 masih tertutup kabut gelap.

Kesempatan emas muncul tahun 1980 ketika Poeze bertemu dengan Hasan Sastraatmadja, mantan Sekretaris Tan Malaka, yang dengan antusias membuka pintu bagi penelitian Poeze. Hasan yang bermukim di Jakarta itu lalu memperkenalkan Poeze dengan sejumlah lawan maupun kawan Tan Malaka.

Pelbagai tokoh, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX hingga Wakil Presiden Adam Malik ditemui Poeze. Adam Malik secara terbuka mendukung ide kerakyatan Tan Malaka, meski dia berdiri di kubu Golongan Karya.

Perjumpaan dia dengan para tokoh 1945 berlanjut, antara lain dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, Muhamad Natsir (tokoh Masjumi), SK Trimurti, tokoh pemberontakan Madiun tahun 1948 Sumarsono, serta ratusan tokoh lainnya.

Namun, kesibukan dan tuntutan kerja menghadang upaya penulisan buku pada tahun 1981, saat Poeze ditunjuk menjadi Direktur Penerbitan KITLV Press. Meskipun demikian, dia selalu menyempatkan diri kembali ke Indonesia untuk mengumpulkan data.

Ke Gunung Wilis

Kesempatan menuntaskan misteri Tan Malaka datang tahun 1997 saat Poeze mendapat sabbathical leave selama setahun, yang digunakan untuk menulis buku. Bab I, Tan Malaka Verguisd en Vergeten ternyata memerlukan waktu sepuluh tahun untuk diselesaikan, setebal 2.200 halaman.

Poeze menemui pula tokoh-tokoh pada hari-hari terakhir Tan Malaka. Dia berkeliling ke beberapa pedesaan di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur, tempat Tan Malaka bergerilya melawan Belanda.

Napak tilas ditempuhnya di Desa Belimbing yang menjadi markas dan pusat propaganda Tan Malaka bersama 50 anak buahnya. Desa Patje, tempat Tan Malaka ditahan pasukan Divisi Brawijaya pun dia sambangi.

Tempat terakhir, Desa Selo Panggung, yang menjadi puncak riset Poeze adalah tempat Tan Malaka ditembak mati pasukan Batalyon Sikatan pimpinan Letnan Dua Soekotjo. Tan Malaka tewas pada 21 Februari 1949.

"Bahkan, tubuhnya tak diperlakukan layak. Untung Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah berjanji mengirim tim forensik ke Desa Selo Panggung untuk mencari sisa jenazah Tan Malaka. Beliau bernasib tragis sebagai pahlawan nasional yang namanya timbul-tenggelam dalam sejarah, karena keberadaan dia tergantung pada kepentingan penguasa," tutur Poeze.

Fakta sejarah itu dipersembahkan Poeze untuk masyarakat Indonesia lewat buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebanyak enam jilid. Buku tersebut akan diluncurkan akhir tahun ini. Bagi Poeze, Tan Malaka adalah sosok pemimpin kerakyatan yang ideal bagi generasi sekarang.

Harta yang ditinggalkannya hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis—benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan pemikiran yang disajikan lewat guratan pena.

*Digunting dari Harian Kompas Senin, 13 Agustus 2007 - di comot dari indonesia buku

Friday, July 27, 2007

Kematian Tan Malaka Terungkap

Berita yang baru saja gue baca, Jumat, 27 Juli 2007, pukul 15.13 di kompas.com. Berita menyedihkan skaligus melegakan. Akhirnya, kematian Tan Malaka Terungkap.

Tan Malaka di bunuh oleh bangsa sendiri (lagi-lagi militer..) Oleh Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan, Bagian divisi Brawijaya pada tanggal 21 Februari 1949, di Desa Selo Panggung, Kaki Gunung Wilis, Jatim. Eksekusi terjadi selepas agresi militer Belanda ke 2. Ekskusi berdasarkan Perintah Pangdam Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade Soerahmat. Petinggi Militer menganggap seuran Tan Malaka bahwa Penahanan Soekarno dan Hatta menciptakan kekosongan kepemimpinan serta menganggap enggannya militer untuk bergeriliya, dinilai petinggi militer berbahaya. Perlu diketahui Sukotjo ini pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya (sekali lagi kehebatan orde baru, yang mengangkat pembunuh sebagai pejabat negara...).

Tan Malaka pernah dipersiapkan Soekarno pada tahun 1945 untuk memimpin Indonesia jika sang proklamator dalam keadaan berbahaya sehingga tidak mampu bertugas.

Terima kasih kepada Harry A Poeze yang telah meneliti Tentang Tan Malaka dari tahun 1980-an..(lagi2 bukan bangsa indonesia sendiri yang menghargai pahlawannya..)

Monday, June 25, 2007

Imperealism - Che (1965)

Pidato luar biasa Che di sidang PBB 1965.


Monday, May 21, 2007

"New Rulers of The World" membuka mata saya


Baru aja hari sabtu kemaren gue nonton film dokumenter yang membuat hati gue menjadi sesak. Miris tepatnya.
Ini adalah film dokumenter kedua yang gue tonton yang menceritakan suatu masalah, yang contoh kasusnya adalah negara gue sendiri, Indonesia.
Dokumenter pertama yang gue tonton adalah film tentang fotografe perang, James Nachtway-War Photographer.James memotret kehidupan kaum miskin di Jakarta dan suasaan pemilu 1999.
Dokumenter kedua, yang gue tonton kemaren, adalah hasil download temen gue yang baik hati hario dari youtoube. Judulnya "New Rulers of The World". Dokumenter hasil jurnalis Inggris, yang bercerita tentang dampak globalisasi, khususnya ekonomi neo liberlisme yang dijalankan oleh WTO dan IMF.
Untuk yang mau sadar, dan mau melihat realita yang ada tentang keadaan negara kita yang sebenarnya, film ini sangat gue rekomendasikan. Kebetulan lagi jalan-jalan di dunia maya, gue menemukan website tentang gerakan melawan penjajahan era baru, neo liberalisme. buka aja, www.apokalips.org. Di situs ini ada resensi filmnya.
gue copy resensi tentang film ini ("New Rulers of The World") di bawah :



"New Rulers of The World"

Genre : Film Dokumenter
Penulis : John Pilger
Sutradara : Alan Lowery
Produksi : Carlton International Media Ltd.
Narator : John Pilger
Format : VCD
Runtime : 53 menit

Apabila negara dunia pertama adalah negara yang memiliki modal dan menguasai teknologi tetapi miskin sumber daya alam, sedangkan negara dunia ketiga adalah negara yang memiliki sumber daya alam tetapi tidak memiliki modal dan teknologi, maka akan terjadi pengintegrasian dari perekonomian nasional menjadi sebuah sistem ekonomi global yang dilakukan oleh negara dunia pertama. Aliran modal, teknologi, tenaga kerja hingga komoditas akan bebas bergerak melampaui batas negara. Pergerakan itu disebut sebagai sebuah proses dari globalisasi.

Film dokumenter karya John Pilger ini memaparkan bagaimana dampak globalisasi terhadap negara dunia ketiga yang bagi para penganutnya diyakini akan menciptakan kesejahteraan yang merata dan mengurangi pengangguran. Tetapi apa yang terjadi di banyak negara dan khususnya Indonesia tidak seperti itu. Globalisasi malah mempercepat proses pemiskinan dan menciptakan banyak penindasan. Film ini memperlihatkan bagaimana kondisi buruh yang bekerja di pabrik-pabrik perusahaan multinasional seperti Nike dan GAP dengan upah yang rendah, jam kerja yang tidak teratur, dan kondisi tempat kerja yang mengenaskan, dipaksa untuk terus bekerja dan seakan tidak punya pilihan lain selain terus melakukan apa yang diperintahkan oleh bos-bos pabrik. Dalam film ini diperlihatkan juga bagaimana kondisi tempat tinggal para buruh yang bisa dikatakan kumuh, dan bagaimana mereka menyiasati upah mereka agar mencukupi kebutuhan keluarganya dengan cara mengurangi porsi makan dan tingkat gizi.

Film ini sedikit berbeda dengan film-film sejenis yang pernah saya tonton. John Pilger dengan berani menyusup membawa kamera tersembunyi ke dalam beberapa pabrik yang memproduksi merk-merk terkenal seperti Nike, Reebok, Adidas dan GAP dengan cara menyamar sebagai pembeli. Terdapat lebih dari 1000 pekerja dalam ruangan tanpa AC itu, menjadi tampak sesak dan sangat tidak kondusif. Selain kondisi kerja, jam kerja pun akan menjadi mimpi buruk para buruh apabila mendadak ada pesanan untuk ekspor. Para buruh dipaksa untuk bekerja selama 16 jam dalam kondisi berdiri. Selain mewawancarai beberapa buruh pabrik untuk mengetahui memang telah terjadi proses kerja yang tidak wajar, ada juga pernyataan dari Dita Sari, seorang mantan tapol dan pemimpin buruh di FNBI yang membenarkan bahwa kondisi buruh Indonesia memang memprihatinkan, yang akan melakukan kerja apapun dengan upah yang rendah karena terlalu banyaknya pengangguran.

Pada bagian lain, John Pilger sengaja mendatangi Nicholas Stern, pimpinan ekonom dari Bank Dunia untuk melakukan wawancara mengenai bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang berasal dari pinjaman Bank dunia kepada Indonesia dan hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya proses globalisasi. Pada bagian ini bisa dilihat bahwa apa yang diramalkan para penganut globalisasi mengenai kesejahteraan itu salah. Pada kenyataannya, globalisasi malah memperjelas bagaimana proses pemiskinan terjadi melalui penghapusan subsidi beberapa sektor pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Selain itu, John Pilger juga melakukan wawancara kepada Stanley Fischer, wakil direktur IMF. Pilger mengajukan pertanyaan mengenai kemungkinan dihapuskannya hutang yang sangat diharapkan oleh 17 juta orang Indonesia itu dan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan. Sekali lagi, terungkap bahwa melalui rezim yang berkuasa, globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak yang akan semakin mempercepat proses pemiskinan.

Film ini di tutup oleh liputan aksi dari gerakan anti globalisasi di seattle untuk menghambat pertemuan World Trade Organization (WTO), dan aksi mayday di London yang bagi Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang sekaligus pimpinan partai buruh, disebut sebagai aksi turun ke jalan untuk “tujuan Palsu”. Gelombang menentang globalisasi yang tidak pernah diberitakan oleh media massa telah terjadi di banyak negara.

Akhir kata, film ini mengenaskan sekaligus mendidik.

ini link buat yg pengen download filmnya di youtube :

- Part 1 http://www.youtube. com/watch? v=8firb73r67g

- Part 2 http://www.youtube. com/watch? v=kYaDY-xTzZ0

- Part 3 http://www.youtube. com/watch? v=4se4jYI9KAc

- Part 4 http://www.youtube. com/watch? v=4se4jYI9KAc

- Part 5 http://www.youtube. com/watch? v=h0tIB9m_ BBg

- Part 6 http://www.youtube. com/watch? v=Yf2CSUoxyOk

- Part 7 http://www.youtube. com/watch? v=BUmyevPS2cY

Please watch this film guys!!for the sake of our future

Monday, May 07, 2007

Menjelang Berakhirnya Pasar Malam



Mengingatkan kita akan setahun kematian seorang sastrawan besar dunia, Pramoedya Ananta Toer (30 April 2006).

Setahun Wafatnya Pramoedya
Menjelang Berakhirnya Pasar Malam

oleh : Zenrs

http://pejalanjauh.blogspot.com/2006/05/saat-saat-terakhir-pramoedya-menjelang.html

[Ini tulisan lama. Pernah dipajang di sini setahun silam, seminggu setelah Pram wafat pada 30 April 2006. Sengaja ku pajang kembali untuk memeringati setahun wafatnya Pramoedya]

Semalaman, dari jam setengah 10 malam sampai Minggu pagi, saya berada di kediaman Pram di Utan Kayu. Bersama sejumlah teman, saya mengalami langsung, menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Pramoedya meregang nyawa, melawan maut, dan kemudian menyerah.

Mengingat kembali proses-proses itu, saya seperti sedang membaca kembali Bukan Pasar Malam.

Saya datang ke rumah Pramoedya sekitar pukul 22.30, Sabtu malam, bersama Ella Devianti, gadis cantik yang baru saja menelurkan novel pertamanya, Paradoks Maggy. Sesampainya di sana, saya langsung disuruh masuk ke halaman rumah Pram. Saya lihat masih banyak orang di sana. Ada beberapa reporter televisi sedang menenteng kamera. Yang saya lihat secara jelas hanya reporter SCTV.

Rumah Pram 2 meter di atas jalan, dan memasuki halamannya berarti kita mesti menaiki jalan masuk yang menanjak. Di sana saya belum melihat satu pun orang yang ku kenal. Saya duduk sesaat di tanjakan halaman rumah, persis di sebelah seorang lelaki paruh baya yang duduk tercenung.

Saya beranikan diri bertanya: “Bagaimana kabar si Bung?”

“Saya tak tahu persis. Katanya malah sudah meninggal,” jawabnya pendek. Ia langsung menunduk begitu usai menjawab.

Saya terhenyak. Saya tak percaya tentu saja. Sebab 15 menit sebelum sampai, Muhidin M Dahlan, karib dan rekan sekantor, mengabarkan Pram masih bertahan setelah melewati masa krisis sebanyak tiga kali. Saya juga tak percaya karena sebelum berangkat saya sempat membuka detik.com, dan di sana dikabarkan bahwa Pram masih bisa bertahan, dan bahkan minta sebatang rokok kesayangannya, Djarum Super.

Saya tengok kanan-kiri. Saya lihat beberapa orang yang ku kenal. Bersama Ella saya kemudian mendekati mereka yang duduk mengelilingi sebuah meja kaca, persis di samping kanan rumah. Saya bertanya pada Muhidin. Dan Chavchay Syaifullah, wartawan Media Indonesia yang baru saja melaunching bukunya tentang Chairil Anwar, menjawab: “Aman, bung. Terkendali!”

Saya lega. Saya hisap sebatang rokok. Dua batang rokok. Tiga batang rokok. Sembari terus saja bercakap-cakap. Membincangkan apa saja. Selama proses inilah belasan sms dari karib-karib saya masuk menanyakan kebenaran kabar wafatnya Pram. Sekitar pukul setengah 12, sms Faiz Ahsoul masuk, juga menanyakan kabar Pram.

Saya jawab: “Pram masih bertahan. Dia baru saja melewati krisisnya yang ketiga. Dan dia malahan meminta rokok.”

Selain kepada Faiz, sms itu juga saya kirim ke Arief Santoso, redaktur budaya Jawa Pos.

10 menit kemudian Faiz kembali membalas. “Syukurlah. Saya sedang di Kaliurang, menyaksikan Merapi yang mulai memanas. Mungkin Pram dan merapi sudah berjanji saling menunggu.”

Saya diam. Tak ku jawab sms itu.

Kemudian Susilo Ananta Toer, adik termuda Pramoedya keluar menemui beberapa wartawan televisi. Susilo bilang bahwa Pram pernah berjanji untuk bertahan hingga 100 tahun. “Bertahan, Bung. Ini baru 81, belum seratus!"

Saya tersenyum. Siapa yang tahu dan siapa yang sebetulnya menentukan usia?
Yang saya tahu, Susilo pula yang sempat bersikukuh agar Pram tetap dirawat di RS Carolus. Susilo tidak ingin kejadian di mana ayah mereka akhirnya wafat setelah 3 hari dibawa pulang dari rumah sakit. Hal itu bisa dibaca dalam Bukan Pasar Malam.

****
Di hari Minggu yang masih begitu dini, kurang lebih sekitar jam 2 pagi, Astuti Ananta Toer, putri yang begitu dekat dengan Pram, tiba-tiba menghambur dari kamar tempat ayahnya dibaringkan. Ia berteriak-teriak: “Oma… Oma….”

Waktu itu tamu dan pelayat sudah banyak yang undur. Ointu gerbang berwarna hiau sudah ditutup. Kami, yang ada di sebelah kanan kediaman Pram di Utan Kayu, refleks bangkit dari masing-masing duduknya dan langsung menghambur masuk ke dalam kamar depan tempat Pram dibaringkan.

Saya dan yang lain hanya diam terpaku, di ruang tamu, dengan mata yang nanar menatap dari kejauhan, terdengar jelas hentakan nafas satu-satu yang susah payah dihela Pram. Maestro yang dikagumi ribuan anak muda itu tampak tergeletak lemah. Ia diselimuti dengan selimut berwarna coklat bercorak kembang putih-putih. Sepasang lengannya mengenakan sarung tangan berwarna hitam. Sejumlah selang menancap di pergelangan tangan dan hidungnya. Infus dan oksigen.

Saya berada persis di ujung sepasang kaki Pram. Saya lihat sepasang kakinya keluar dari selimut. Sepasang kaki yang lemah dan tampak letih. Dibungkus kaus kaki coklat tipis.

Kembali saya ingat Bukan Pasar Malam. Si tokoh, pada kedatangannya yang pertama mengunjungi ayahnya yang terbaring sakit, memerikan bagaimana sepasang kaki ayahnya; sebuah pemeriaan yang secara luarbiasa akhirnya terulang pada diri Pram sendiri.

“Kudekati ranjang ayahku, kuraba kakinya yang kering. Hatiku tersayat. Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku juga dan pernah mengembara ke mana-mana? Dan kaki itu terkapar di atas kasur ranjang rumahsakit. Bukan kemauannya. Ya, bukan kemauannya. Rupa-rupanya manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak begitu juga halnya dengan kakiku.” (Bukan Pasar Malam, hal. 48).

Ya…. Seperti juga Pram yang meraba kaki ayahnya, saya menyentuh kaki Pram yang masih menyisakan sejumput udara hangat. Saya melolosi sepasang kaus kaki coklat tipis yang membungkus sepasang kaki Pram yang letih dan berkarat oleh waktu dan sejumlah pengkhianatan.

Saya ingat Yukio Mishima, sastrawan Jepang yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara seppuku yang luarbiasa dramatis, sebuah gaya artisitik memerlakukan kematian tak ubahnya sebuah panggung teater. Mishima yang bunuh diri pada 1970 itu juga pernah menulis sebuah novelet, sama seperti Bukan Pasar Malam, judulnya Patriotisme. Di cerpen itu, Mishima mengisahkan secara detail bagaimana seorang perwira Jepang melakukan seppuku. Dan sungguh menakjubkan, Mishima juga mati dengan cara yang sama seperti ia pernah tuliskan sebelumnya dalam novelet Patriotisme itu.

Pikiran saya ke mana-mana. Saya berdiri persis di tiang tempat di man botol infus digantungkan. Saya perhatikan botol infus itu. Saya perhatikan, tetes-tetes infus begitu lambat menetes. Dan semua orang, saya kira, juga merasa detik begitu lama beranjak. Lama sekali. Saya pernah ingat seorang suster yang dulu semasa kecil pernah merawat saya sewaktu saya diterjang penyakit demam berdarah. Kata dia, kalau infus cepat habisnya berarti yang dirawat itu ada kemungkinan pulih, sementara jika infus begitu lama habisnya, itu pertanda buruk.

Saat itu saya sadar kalau Pram sedang meregang nyawa. Susah betul ia menarik nafas. Sesekali dagunya terangkat. Mungkin untuk memudahkan masuknya oksigen. Tangannya lemah terkulai. Mujib menggenggam tangan kiri, Oma (panggilan untuk istri Pram) bergantian menggenggam tangan kanan.

Lagi-lagi entah siapa yang memulai, tampaknya Mbak Titik (panggilan Astuti), beberapa orang yang hadir mulai menggumamkan do’a. Ada yang menggumam dalam hati, dan ada yang setengah berteriak. Seisi kamar seperti bergetar oleh do’a dan himpunan kalimat-kalimat suci.

Taufik Rahzen memecah suasana sakral dan menyayat itu dengan suara setengah berteriak: “Bung Pram… Bung Pram…..”

Rahzen mencoba menyadarkan, berupaya agar Pram tak kehilangan kesadaran.

Beberapa saat kemudian, Mbak Titik, dengan nada antara kasihan melihat Pram yang meregang nyawa dan campuran rasa frustasi takut kehilangan, tiba-tiba berkata dengan keras: “sudahlah… biarkan dia pergi. Kasihan. Kasihan dia….”

Seisi kamar terhenyak. “Jangan, Bung! Jangan menyerah, Bung!” batin saya dalam hati seperti hendak menolak rasa pesimis yang pelahan mulai merayap.

Tapi kali ini Pramoedya masih bertahan. Pelan tapi pasti, setelah 45 menit meregang-regang, ia kembali berhasil menguasai kesadarannya. Nafasnya mulai teratur.

“Opa… opa….” teriak Mbak Titik.

Pram menengok ke arah Mbak Titik.

Seantero kamar menarik nafas lega. Pram sadar kembali.

****
Tetapi itu tak lama. Sekitar pukul 03.15 pagi, Pram kembali diterjang krisis. Kali ini lebih menyesakkan untuk disaksikan.

Saya lihat bagaimana orang yang berdiri tegar sendirian bertahun-tahun lamanya, dipenjara di semua rezim yang pernah berkuasa di sini (di penjara kolonial Belanda, rezim fasis Jepang, zaman Soekarno juga Orde Harto), tampak megap-megap. Dagunya sesekali terangkat. Ia berulang kali mengubah-ubah posisi tangannya. Sekali waktu ia merentangkan sepasang tangannya, dengan wajah terangkat, seperti hendak menantang duel sang maut. Kali lain ia meletakkan dua tangannya di atas kepalanya. Tentu saja masih dengan deru nafas yang makin lemah dan patah-patah.

Deru do’a makin kencang menghambur dari seantero kamar. Semua-muanya. Tak terkecuali saya. Dalam hati tentu saja. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya meregang nyawa, menempuhi sekarat, bertarung dengan malaikat penjagal nyawa. Saya ingat sebuah do’a Rasulullah yang memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari sakitnya meregang nyawa, yang kata Rasul, sakitnya tujuh kali lebih menggidikkan dari sayatan pisau yang paling tajam.
Saya bergidik. Begini rupanya meregang nyawa. Hih…. Dan, jujur saja, baru sekali itulah saya lihat orang sekarat. Dan entah ini anugerah ataukah kutuk, pengalaman pertama menyaksikan orang sekarat itu justru ketika Pram, orang yang saya anggap sebagai guru, yang menjadi “aktornya”.

Berkali-kali, Yudistira dan Astuti memegang lengan kiri ayahnya. Sesekali mereka mendekatkan kuping ke mulut Pram, berjaga jika sewaktu-waktu Pram membisikkan pesannya yang terakhir. Yudis sesekali membacakan kata-kata suci ke telinga ayahnya.

Saya tak tahu apa yang ada dalam batin Pram ketika di detik-detik terakhir hidupnya ia dido’akan, dihujani oleh kata-kata yang diyakini suci. Adakah Pram menolak? Mungkinkah Pram menampik?

Pelan-pelan saya khawatir, jangan-jangan Pram merentangkan tangan atau menggeleng-gelengkan kepala sebetulnya sebagai bentuk penolakan Pram atas cara keluarga, karib dan pengagumnya memerlakukan dirinya. Saya khawatir, jangan-jangan Pram hanya ingin mati dengan caranya sendiri, bukan seperti cara orang-orang yang saat itu ada di sampingnya sewaktu sedang bertarung dengan wabah maut.

Tapi kita tidak pernah akan tahu apa yang ada di kepalaPram saat itu. Kita tak akan tahu apakan Pram menolak atau tidak. Dan kita juga tak akan tahu bagaimana sebetulnya Pram ingin menghadapi maut. Lagipula, saya dan barangkali semua orang yang hadir yang mendoakan Pram dengan kata-kata suci yang dalam seumur hidup Pram jarang sekali ia ucapkan, hanya bergerak mengikuti insting, naluri. Saya, dan barangkali juga yang lain, tak pernah terlintas pikiran hendak meng-Islam-kan Pram, sebab saya dan yang lain juga tak tahu apakah Pram muslim atau bukan.

Saya ingat Pram pernah berkata bahwa orang ateis yang menjadi ateis karena pilihan sadar biasanya adalah orang yang paling banyak memikiran Tuhan. “Orang ateis,” dalam kata-kata Pram sendiri, “adalah mereka yang telah melewati banyak ‘stasiun’ pemberhentian.”

Saya tak tahu Pram sudah melewati berapa stasiun. Yang saya tahu, Pram, seperti bisa kita baca dalam Bukan Pasar Malam, membisikkan kata-kata suci yang memuji kebesaran Tuhan ke telinga ayahnya yang baru saja meninggal dunia, 57 tahun lalu, di pengujung warsa 1949 yang muram.

Sejarah barangkali adalah sebentuk persilangan dan tumbukan antara satu pengulangan menuju pengulangan yang lain. Semacam circle. Tak peduli betapa para sejarawan memeluk teguh doktrin ein malig, sejarah hanya terjadi sekali.

Di jam-jam terakhirnya itu, saya, lewat sebuah koinsidensi yang menakjubkan, bisa berada langsung melihatnya, menjadi penyaksi dari satu tahap paling genting setiap manusia: mati!

Pada fase krisisnya yang terakhir, sebelum kemudian ia meninggal pada jam 9 pagi itu, saya menyaksikan bagaimana Pram terus dikendalikan oleh hidupnya, kenangannya, dan aktivitas-aktivitas hidupnya.

Di tengah-tengah badai lara yang makin menyiksa, dengan suara yang parau dan nafas megap-megap, Pram masih sempat menanyakan kabar apakah sampah sudah dibakar.

Pram memang punya hobi aneh: membakar sampah. Jika kita baca Nyanyi Seorang Bisu, kumpulan surat-surat Pram untuk anak-anaknya yang ditulis dari Buru, kita akan tahu bahwa membakar sampah adalah salah satu cara menyibukkan diri seorang Pram selama diburu. Membiarkan diri melamun kosong di pulau pengasingan yang mengerikan sama saja dengan menyerahkan jiwa kita pada kegilaan. Membakar sampah adalah cara Pram melawan waktu yang menggerus, sekaligus sebentuk rsistensi Pram atas pengkondisian rezim Harto yang memang menginginkan agar dia jatuh bukan oleh tangan-tangan kasar aparat, melainkan jatuh dalam kegilaan dirinya sendiri.

Dan Pram tak hanya ingin membakar sampah. Ia juga ingin jenazahnya dibakar, dikremasi. Bukan dikubur. Permintaan yang kelak tak dikabulkan keluarganya.

Yang membuat saya makin tergetar adalah betapa Pram dalam perlawanannya yang terakhir terhadap kematian, akhirnya luruh juga dalam ketakutan. Saya saksikan bagaimana Pram menitikkan air mata. Berkali-kali. Anaknya Yudistira Ananta Toer, dalam perbincangan beberapa jam sebelumnya, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat Pram menangis, baik menangis terharu maupun menangis karena sedih, tidak juga ketika Pram pertama kali kembali ke rumahnya di Utan Kayu setelah sepuluh tahun lebih diasingkan ke Pulau Buru.

Tetapi Pram akhirnya masih bisa bertahan juga, seperti memenangkan sebuah ronde dari serangkaian pertandingan melawan maut. Pukul 4 pagi Pram kembaali bisa tersadar.

****
Saya dan beberapa teman akhirnya pamit undur dari rumah Pram. Saya letih. Lelah. Semalaman tak tidur. Tapi yang jauh lebih membikin letih adalah pengalaman menyaksikan seorang Pram, yang sama-sama kami kagumi itu, meregang nyawa, menahan sakit, melawan kematian.

Ya, saya percaya Pram memang melawan sebisanya. Ia masih ingin hidup hingga 100 tahun. Ia masih ingin bertemu dan berdialog terus menerus dengan angkatan muda yang ia harapkan bisa mengembalikan laju Indonesia ke relnya yang benar. Ia juga masih ingin menyelesaikan Ensiklopedi Citra Kawasan Indonesia yang baru tergarap sebagian, kendati sebagian di sini artinya bahan-bahan itu telah menumpuk setinggi 3 meter lebih.

Saya juga yakin Pram akan bertahan. Tidak, Bung Pram pasti bisa bertahan. Pasti. Begitu saya mencoba meyakinkan diri sendiri.

Tetapi saya keliru. Ketika sedang berada di bus kota, sekitar pukul 9 pagi, sebuah sms dari Taufik Rahzen yang isinya pendek sekali, tapi justru membikin dada seperti runtuh: “Pram baru aja jalan….”

Semenit kemudian sms Muhidin masuk. Isinya membikin badan meriang: “Pram telah meninggal dunia. 09.02. Inilah erangannya yang terakhir: “Saya tak kuat. Bakar saya dalam mati saya.”

Saya menyesal tak ada di sampingnya ketika ia terbang pergi. Saya menyesal. Sangat.

Di atas bus kota yang reyot yang membawa saya ke arah Tanjung Duren di wilayah Jakarta Barat itulah saya terima kabar kematiannya. Saya kirim sms pendek ke semua teman yang bisa saya hubungi. “Pram wafat. Barusan.”

****
Pram dimakamkan di Karet, satu pemakaman dengan si binatang jalang Chairil Anwar. Ia memang diantarkan oleh ribuan pelayat dan anak muda yang mengaguminya. Ia dimakamkan secara islami, kepergiannya juga diiringi oleh Internationale dan Darah Juang.

Tetapi pada akhirnya ia pergi sendiri. Sendirian. Sesuatu yang sudah dipahami oleh Pram 57 tahun sebelumnya. Dalam paragraf penutup Bukan Pasar Malam, Pram menulis sesuatu yang akhirnya ia alami juga:

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Jakarta-Jogja, 5-6 Mei 2006



Posted by zenrs88@gmail.com

Wednesday, May 02, 2007

Detik-detik Rasulullah SAW menjelang sakratul maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi

* * *
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencinta kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.

Thursday, April 26, 2007

Innocent Voices




Innocent Voices

Jumat kemaren gue ga masuk kerja. Sakit. Ternyata bengong dirumah itu ga ada enaknya. Mati gaya. Gue obrak-abrik stok dvd di rumah. Aha! Ada film. Gue nonton lah film “Innocent Voices”.
Ceritanya yang bagus bikin gue pengen bagi-bagi dikit. Referensi buat siapa aja yang mau film yang “Gak Hollywood banget”. Gue udah rada-rada enek' liat film Hollywood. Terutama film aksinya.
Kisahnya film ini adalah kisah nyata. Film ini bercerita tentang situsai perang sipil di El Salvador (negara di Amerika latin lah..). Geriliyawan FMLN melawan tentara pemerintah El Salvador. Gak jelas apa yang di perjuangkan geriliyawan ini (atau guenya yang kurang nyimak yah??). Intinya ada sebuah desa yang terjepit diantara daerah kekuasaan geriliyawan dan pasukan tentara pemerintah. Desa tersebut selalu menjadi medan pertempuran antara pasukan pemerintah dan geriliyawan. Ceritanya tentang kisah seorang anak 11 tahun bernama Chava beserta keluarga dan teman-temannya. Bapaknya kabur meninggalkan mereka. Kata Ibunya, “You're the man in this family now”. Jadilah si anak itu, Chava, bantu-bantu ibunya, ngerwat adiknya dua orang. Nasib jelek buat anak-anak di desa itu, setiap yang sudah berumur 12 tahun, anak-anak laki-laki didesa itu di ambil oleh tentara pemerintah untuk di didik jadi tentara. Si Chava jadi takut. Sering di liat tentara itu masuk ke sekolahnya dan ngangkut temen sekolahnya untuk jadi tentara. Si Chava tidak mau ikut jadi tentara. Dia jadi takut untuk memasuki umur 12 tahun. Takut senasib dengan teman-temannya yang lain, dianghkut jadi tentara dan jauh dari keluarga. Di tambah-perlakuan tentara pemerintah yang sering menteror warga desa tersebut. Chava jadi semakin benci dengan perlakuan tentara pemerintah. Apalagi paman Chava ternyata adalah seorang geriliyawan FMLN. Kisahnya berkutat soal kehidupan sehari-hari Chava dan pengalaman yang tidak mengenakkan hidup di medan perang.
Inti dari film ini adalah, siapapun tidak ingin mengalami nasib jelek berada di antara tengah-tengah peperangan. Orang hanya ingin hidup tenang. Apalagi anak-anak seumur Chava yang hanya ingin bermain-main dengan teman-temannya, malah di paksa pemerintah untuk terlibat melawan geriliyawan.
Adegan favorit gue di film ini adalah saat Ibunya Chava tidak ada dirumah, rumah mereka menjadi medan perang antara geriliyawan dan tentara. Rumah Chava menjadi sasaran baku tembak. Di saat ketakutan seperti itu Chava harus melindungi adiknya dan menenangkan adiknya yang nangis ketakutan. Sambil berlindung dibawah hujan peluru di bawah kasur, Chava menghibur adiknya yang ketakutan dengan mencoret mukanya dengan lipstik ibunya dan berlagak seperti monyet hingga adiknya berhenti menangis dan tertawa-tawa di bawah hujanan peluru.

Ah, nonton aja sendirilah, dijamin puas....

Thursday, April 12, 2007

Mari latih mental kita seperti Praja biar perkasa!!

Minggu-minggu ini tivi dirumah gw dihiasi aksi-aksi yang lebih seru dari pada Smack Down di Lativi. Gimana nggak? Smack down itu bo'ongan. Cuma akting. Lah ini? Beneran cuy! Smack down badannya gede-gede, jelas dipukul ga sakit. Yang ini? Beeeh...gw liat ada juga yang kerempeng. Yang paling seru, Smack Down, serame-ramenya, kalo TAG Team cuma berempat ato lima orang, yang di tivi ini?? puluhan man!di gilir lagi, tinggal baris.....di hajar deh...Jelas ini lebih menakjubkan. Smack Down udah lewat. Aksi Praja IPDN lebih menarik.

Semua orang yg gw denger pada komentar negatif. Mereka bilang pendidikan kaya gitu nggak bener. Itu bukan melatih mental kata pengamat di TV, tapi penyiksaan. Gw mah iya-iya aja. Tapi tunggu dulu dong, kenapa kita nggak lihat dari sisi si Praja-praja perkasa itu? Pasti ada alasan yang jelas dari mereka untuk melakukan tindakan pukul-pukulan, tendang dan lainnya itu.

Intinya sih semua tindakan kekerasan itu, kata mereka, untuk melatih mental para calon pamong kita itu. Kalo kita liat di tivi paling nggak ada beberapa tindakan fisik yg paling mencolok. Yang pertama aksi guling-gulingan, trus ada pukulan di dada. Yang paling mendebarkan, sikutan diperut saat praja malang itu lagi kayang. Yang ini poll banget!!!
Gw coba ngayal-ngeyel, kira2 apa hubungannya tindakan tadi dengan melatih mental praja ya??selidik punya selidik, pikir punya pikir,......Ooh, mungkin aksi guling-gulingan di tanah itu merupakan simbol bahwa hidup itu susah, penuh perjuangan, kita harus jungkir balik biar bisa selamat dalam hidup....jadi dengan guling-gulingan mental praja itu jadi terlatih ketika menghadapi hidup yang bisa bikin kita jungkir balik. Trus gimana dengan pukulan para senior buat junior di dada? Apa hikmahnya?mungkin aja itu simbol bahwa kejadian-kejadian di selama nanti praja itu jadi pamong itu penuh dengan kejadian yg menyesakkan dada. Jadi dadanya harus kuat di pukulin, biar ga gampang sesak. Biar sabar kalo ada kejadian yg menyesakkan dada...Yang paling sadis tentunya sikutan di perut pas kayang...yang ini pasti maknanya adalah nyari duit itu susah, kadang bisa makan kadang enggak. kadang kita musti nahan lapar, menahan sakit di perut karena kelaparan, jadilah para praja calon kelaparan itu harus mau perutnya disikut sambil kayang, sebagai ajang pelatihan mental, kalau-kalau nanti setelah lulus merasakan susahnya menahan lapar karena ga punya duit buat makan....

Jadi setelah gw pikir-pikir, mungkin itu hikmahnya pelatihan mental mereka. Itu bukan tindakan kekerasan, tapi pelatihan mental. Pasti para senior tukang pukul itu 100% setuju ma gw....

Jadi, mari kita laith mental kita seperti para praja-praja perkasa di IPDN itu..Setuju???
Ya...setuju...dalam mimpi!!!!!

Hyuuuukkk....

Wednesday, March 28, 2007

Korporatokrasi

Hari Selasa gw baca kompas. dan baca rubrik Politika (tulisannya wartawan Kompas, Budiarto Shambazy). Buat gw tulisannya Budiarto ini salah satu yg paling bagus di Kompas. Btw kali ini dia nulis ttg Korporatokrasi. Buat yg pernah baca bukunya John Perkins (Confessions of an Economic Hitman) hal ini udah jelas banget. Gw saranin deh buat baca buku ini. Bakal membuka pikiran kita yg tertutup selama ini. Sisi lain dari bisnis konglomerasi dunia. Nuff said. Just read this article below!!
--------------------------------------------------------------------------

Korporatokrasi
Budiarto Shambazy


Anda ingat John Perkins, penulis buku Confessions of
An Economic Hit Man (2004)? Buku baru berjudul A Game
As Old As Empire: The Secret World of Economic Hit Men
and the Web of Global Corruption (2007) yang disunting
Steven Hiatt mengungkap lebih jelas petualangan
"ekonom pembunuh bayaran".

EHM bekerja untuk korporatokrasi (corporatocracy),
jaringan kerja sama antara MNC (multinational
corporations) dengan lembaga internasional (World
Bank/IMF), elite negara maju, dan penguasa negara
Dunia Ketiga.

Ikon korporatokrasi yang nyata Wapres Amerika Serikat
Dick Cheney. Ia mantan CEO Halliburton—kontraktor
terbesar di dunia—dan sampai kini menjadi penasihat
bisnis MNC itu.

Cheney penganjur serbuan ke Irak yang dipalsukan lewat
senjata pemusnah massal. Kini Halliburton bersama MNC
lainnya menikmati keuntungan dari ladang minyak Irak.

Menurut Empire, penyingkiran pemimpin dibenarkan
korporatokrasi, termasuk pembunuhan Perdana Menteri
Iran Mohammad Mosaddeq (1951- 1953) yang
menasionalisasi industri pertambangan. Menurut
Perkins, EHM juga mengatur terjadinya kecelakaan yang
menewaskan Presiden Ekuador Jaime Roldos dan Presiden
Panama Omar Torrijos.

Korporatokrasi dimulai saat World Bank/IMF menyalurkan
pinjaman untuk pembangunan megaproyek di negara miskin
atas rekomendasi fiktif buatan EHM. Kredit cair jika
dengan syarat tender-tender pembangunan dihadiahkan
kepada MNC/mitra lokal atas restu korporatokrasi.

Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri
ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi
sampai tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/ mitra
lokal naik setiap tahun selama proyek dikerjakan.

Derita negara itu belum selesai. Ia bukan cuma gagal
menyejahterakan rakyat, tetapi juga tak mampu membayar
utang sehingga akhirnya ditekan korporatokrasi untuk
menjual kekayaan alamnya—misalnya ladang minyak.

Empire mencontohkan PLTU Paiton I dan II yang nilai
proyeknya 3,7 miliar dollar AS. Megaproyek ini tak
bermanfaat sebab harga listrik yang dihasilkan 60
persen lebih mahal dibandingkan di Filipina atau 20
kali lebih mahal dibandingkan di AS.

Dana pembangunan Paiton ngutang dari ECA (export
credit agencies) dari negara-negara maju. Korupsi
dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu
disetor kepada kroni dan keluarga penguasa Orde Baru.

Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan
secara paksa sampai monopoli suplai batu bara,
dihadiahkan tanpa tender kepada berbagai MNC/mitra
lokal. Setelah Pak Harto lengser ing keprabon, baru
ketahuan nilai proyek itu terinflasi 72 persen.

Pemerintah coba menegosiasi ulang Paiton dengan
argumen megaproyek itu hasil KKN. Alhasil, kita selama
30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dollar AS
per kWh—padahal kemampuan kita cuma dua sen.

Supaya manut, eksekutif ECA itu mengancam akan meminta
G-7 menyatakan Indonesia tukang ngemplang yang tak
layak mendapat kredit lagi dari World Bank/IMF.
Lagi-lagi kita manut.

Empire mengungkapkan bagaimana industri minyak kita
diperdayai korporatokrasi melalui perjanjian PSA
(profit-sharing agreement). Perjanjian ini bertujuan
menghindari nasionalisasi seperti yang dilakukan PM
Mosaddeq atau Presiden Bolivia Evo Morales belum lama
ini.

PSA seolah-olah menempatkan kita sebagai pemilih sah
ladang minyak, sementara MNC sebagai "kontraktor"
saja. Namun, pada praktiknya MNC mengontrol
pengembangan ladang yang mendatangkan profit berlipat
ganda—mirip seperti praktik kolonialisme.

Perjanjian ini ibarat pernikahan ideal antara kontrak
bagi hasil yang secara politis seolah penting bagi
kita sebagai majikan dengan sistem kontrak berbasis
konsesi/lisensi yang mendatangkan profit maksimal.
Pemerintah seakan memegang kendali, padahal MNC-lah
yang mempunyai kedaulatan nasional.

"Klausul stabilisasi" dalam perjanjian PSA mengatakan
UU kita tak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dalam
rangka memetik profit. UU tak bisa jadi rujukan jika
sengketa terjadi— yang berlaku hukum internasional
yang tak mengenal istilah kepentingan atau UU
nasional.

"Cerita sukses PSA" yang dijual EHM bernama Dan Witt
yang bekerja untuk ECA di AS, ITIC (International Tax
and Investment Center). Witt atas nama British
Petroleum, Chevron Texaco, Total, dan Eni SpA
"menggarap" Irak.

IMF menyalurkan kredit untuk Irak sambil menetapkan
syarat, termasuk mengurangi subsidi yang membuat harga
BBM meroket. Syarat lain, parlemen harus mengesahkan
UU Perminyakan akhir 2006 dan IMF wajib disertakan
dalam proses perumusannya.

Witt yang bermodalkan best practices (senjata gombal
World Bank dan IMF) menjadi negosiator antara para
pejabat Irak yang korup, IMF, dan MNC. Semua untung
kecuali rakyat Irak.

Tidaklah sulit mencerna kita menjadi korban
korporatokrasi. Pertanyaannya, apakah kita masih
peduli?

Lihatlah para pemimpin kita hanya mematut-matut diri.
Anggota DPR tak percaya diri dan tak mau kalah
dibandingkan Tukul Arwana, menuntut dibelikan laptop
yang mahal sekali. Para pengusaha kita menjual "Visi
2030" yang isinya membuat saya seperti sedang bermimpi
di siang hari.

Daripada sakit hati, mari kita ber-ha-ha-ha dan
ber-hi-hi-hi. Kepada mereka, kita acungkan telunjuk
sambil berseru, "Ah, kalian sungguh lucu sekali!"

Friday, March 23, 2007

Pertemuan dengan Tan Malaka

Pertemuan dengan Tan Malaka

Bergabunglah pada kekuatan-kekuatan pembebasan yang nyata, yang ada di tengah-tengah kalian, seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka.
(De Tribune, 7-Maret-1922)

Siang itu seorang laki-laki yang berwajah tegas dengan sorot mata tajam, berjalan menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya dan dijabatnya tanganku dengan keras. 'Namaku Tan Malaka' begitu ucapnya sambil duduk di sebelahku. Aku tertegun dan belum sempat ngomong ketika ia kemudian bilang 'Katanya kamu ingin bertanya banyak padaku?

Aku mencoba mengingat-ingat wajah seorang yang duduk di sampingku ini. Bajunya putih bersih dengan garis wajah yang diselimuti kabut. Tan Malaka, pria yang telah berhasil membuat bangsa ini memiliki keharuman. Tan Malaka, pria yang telah menuliskan banyak karya raksasa. Tan Malaka, seorang aktivis pergerakan yang menggoreskan perlawanan dengan kata-kata lugas.

'Ya aku ingin banyak bertanya dengan anda yang sering disebut-sebut sebagai seorang pejuang' tanpa ragu aku mengajaknya untuk bicara

'jangan kau sebut aku pejuang kalau apa yang aku dan teman-teman lakukan kalian sia-siakan' dengan muka lugas ia ucapkan kata-kata itu

Aku terhenyak dan sembari agak menjauh kulihat paras mukanya dari samping. Tulang pipi yang kurus itu masih menampakkan kerutan yang teguh. Aku seperti menyaksikan seorang yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh badai

'kalian telah menjerumuskan rakyat ini dalam penderitaan. Kulihat kalian mewarisi sifat-sifat para penjajah. Malah kalian bukan hanya meniru dengan persis, tapi melebihi apa yang penjajah lakukan dulu'

Aku masih saja diam mendengar suaranya yang berat dan kering. Ikal rambutnya yang agak bergelombang dengan sorot mata yang keras itu membuatku yakin, kalau Tan Malaka adalah aktivis yang tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri

'kusaksikan kalian yang masih muda tidak punya keberanian untuk menentang kesewenang-wenangan. Yang kalian kerjakan tidak seimbang dengan penderitaan rakyat yang sudah melampaui batas. Kupikir tulisanku sudah cukup bisa mendorong kalian untuk melakukan tindakan, tapi ternyata aku keliru'

Tan Malaka kulihat menundukkan muka. Matanya melihat tanah hitam di bawahnya dan kemudian menengokku. Matanya memandang diriku seolah-olah aku makhluk unik.

'apa yang kaukerjakan selama ini anak muda? Begitu tanyanya

'aku seorang mahasiswa yang juga aktif dalam dunia gerakan, aku sama sepertimu' begitu jawabku agak yakin. Tan Malaka menatapku tampak agak ragu dan berkata

'ketika aku seusiamu kujelajahi dunia pengetahuan bukan dengan pesona tapi bertanya. Saat aku seusiamu kubikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Aku ajari anak-anak tiga pelajaran penting, ketrampilan agar mereka menjadi manusia merdeka, filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan dan berorganisasi agar mereka menjadi bagian dari pergerakan. Sayang orang-orang kolonial itu menangkapku jauh lebih cepat dari yang kuduga. Apa yang kaukerjakan sekarang anak muda?

Agak terkejut aku dengan pertanyaanya yang tajam dan cepat. Kujawab dengan ragu-ragu 'yang kukerjakan diskusi, sesekali aku ikut merancang demonstrasi dan pernah aku tertangkap polisi gara-gara membakar foto penguasa. Aku juga ikut mengorganisir rakyat miskin dengan mendampingi mereka dan memaksa agar parlemen bicara dengan mereka. Kini aku aktif di salah satu LSM'

Ia tersenyum dan kulihat kabut di wajahnya berangsur-angsur memudar. Kali ini ia mendekat dan menepuk pundakku 'dulu aku punya kawan yang wajahnya mirip denganmu. Namanya Semaun, ia seorang yang pintar dan berani. Kami percaya untuk mengangkat harga diri bangsa yang terjajah tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan dan perlawanan. Kami berdua bikin sekolah dan aku diajaknya masuk Sarekat Islam. Apa LSM itu seperti Sarekat Islam?

Aku tertegun dan bingung memberi jawaban. Sesungguhnya aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakan oleh LSM. Aku kadang disuruh nulis proposal lalu dibelakangnya ada anggaran dana yang jumlahnya besar sekali. Habis itu aku disuruh mengerjakan training, pelatihan bahkan pendidikan dengan honor dan biaya yang bisa untuk membeli HP. Tapi aku malu menjawab pertanyaan Tan Malaka. Malah aku kemudian ganti bertanya, 'apa yang dikerjakan Sarekat Islam?

Tiba-tiba Tan Malaka memandangku dengan heran. 'aku yakin kamu tak pernah diberitahu apa itu Sarekat Islam. Inilah kekuatan politik pertama yang berteriak lantang melawan para penguasa kolonial. Kami terdiri dari anak-anak muda sepertimu. Kami ajak rakyat untuk melawan setiap kesewenang-wenangan. Diberi nama Sarekat Islam, karena agama ini menolak untuk menjadikan orang menjadi budak. Hal yang kemudian dikerjakan pula oleh PKI. Kami dulu menjadi anggota Sarekat Islam sekaligus menjadi anggota PKI. Aku yakin cerita sejarah tentang itu tak pernah sampai ke telingamu. Zaman sudah banyak berubah dan kulihat nasib bangsa ini jauh lebih buram. Aku banyak mendengar, kalau kalian sudah jadi penguasa yang menjajah rakyatnya sendiri. Rakyat itu kalian jadikan budak. Sekali lagi kalau kupandang muka para penguasa sekarang ini, aku jadi ingat muka para aparat kolonial dulu'

Aku hanya bisa tertunduk. Kuingat beberapa temanku yang menjadi politisi curang. Mereka aktivis partai tapi tidak punya gagasan besar untuk memerdekakan rakyat. Kuingat temanku yang menjadi kaum profesional yang juga terlibat dalam persekongkolan dengan para kapitalis.

'Kalian memiliki penguasa diktator yang kejam pada rakyat kecil. Menggusur tempat tinggal mereka, membuat pendidikan dengan harga yang mahal dan membebani rakyat kecil dengan ongkos kesehatan yang tinggi. Beberapa kali kulihat kalian ikut mensukseskan program yang didanai oleh bantuan asing dengan sikap yang loyal. Jika kausebut dirimu seorang aktivis perubahan sosial apa yang akan kaukerjakan anak muda? Kaudiamkan seorang pejabat yang kekayaanya melebihi pendapatan jutaan penduduk miskin. Kaubiarkan seorang pejabat tinggi bergaji 110 juta per bulan jauh melambung melebihi UMR buruh. Apa yang selama ini kaulakukan anak muda?

Lagi-lagi aku terdiam lama sekali. Kuingat-ingat apa yang pernah kukerjakan selama ini. Ikut dalam solidaritas teman-teman memantau anggaran. Ikut melakukan pengorganisiran terhadap para pedagang kaki lima. Ikut serta dalam barisan oposisi menentang militerisme yang hendak berkuasa. Dan kadang-kadang ikut nimbrung dalam program demokrasi.

Tan Malaka memandangku dengan rasa iba. Seolah-olah ia tahu kecamuk pikiran yang kurasakan. Ia berdiri dan menatapku, lalu perlahan-lahan ia mengucapkan serangkaian kalimat:

'Anak muda apa yang kaukerjakan selama ini memang masih jauh dari kebutuhan rakyat. Kau dikepung oleh kekuatan kapitalis yang tumbuh dan berpengaruh luas. Kulihat kau sendiri susah untuk mempertemukan teman-temanmu yang punya komitmen serupa. Kulihat jumlah kalian yang sangat kecil dengan ikatan disiplin yang longgar. Anak muda organisasimu harus belajar banyak dari sejarah Sarekat Islam atau PKI. Dua kekuatan politik yang dulu mampu mengetahui kebutuhan rakyat. Rasa-rasanya kalian harus baca ulang apa yang kutulis dalam Aksi Massa, Madilog dan Gerpolek. Pahami pikiran kami bukan dengan pisau akademik semata melainkan juga dengan pisau gerakan. Pahami semangat dan spirit yang melandasi kami semua. Camkan bahwa struktur kapitalis hanya bisa dilawan dengan kekuatan pengetahuan dan kekuatan pergerakan. Pengetahuan yang mengabdi pada kepentingan rakyat bukan yang menjadi alat bagi penguatan sistem produksi kapitalis. Maka senjata gagasan harus kalian kerjakan lebih dulu. Disitu kulihat kalian malas. Tak pernah kubaca tulisan kalian yang menggugah dan memberi inspirasi rakyat untuk melawan. Tak pernahkah dalam benak kalian untuk mendirikan pendidikan yang baik dan murah untuk melayani rakyat miskin? Anak muda kau adalah tumpuan rakyat miskin, jika kau ingin mengenal, memahami serta membela mereka, maka yang kaukerjakan hanya satu: hidup dan hayati kehidupan bersama mereka.

Ia menepuk pundakku dan melangkah pergi. Dari punggungnya kulihat ia berjalan bergegas. Aku berdiri ingin mengejarnya. Tapi langkah itu terlalu cepat dan ia menghilang di balik gubuk-gubuk yang baru digusur. Akh, Tan Malaka semasa hidupnya ia bersama orang miskin dan kini kutemukan dirinya di tengah perkampungan miskin. Kampung orang miskin yang jumlahnya sangat padat dan penduduknya menjadi golongan yang dulu diperjuangkan kemerdekaanya oleh Tan Malaka. Tan Malaka, bagiku kau adalah inspirasi yang tak pernah lekang oleh waktu. Menjadi martir untuk sebuah perubahan yang kini memakan korban anak bangsa sendiri. Andai kau masih di depanku tentu aku hendak mengatakan

“ya, kami memang tidak mampu melakukan seperti yang kaukerjakan. Kami berada dalam lingkungan pendidikan yang busuk. Pendidikan yang tidak bisa membuat kami dekat dengan penderitaan rakyat. Kami hanya memiliki sedikit intelektual besar yang mampu menuliskan penderitaan rakyat. Intelektual kami hanya sibuk dengan urusan perutnya sendiri. Kami juga tidak memiliki pemimpin gerakan yang berpandangan terbuka, bergerak progresif dan bisa memahami kebutuhan rakyat. Yang kami punya hanya pemimpin karbitan, pemimpin yang muncul sekejab dan tidak memiliki pikiran-pikiran besar yang menjangkau ke arah masa depan. Indonesia yang dulu kauperjuangkan kini sudah banyak berubah. Negeri ini telah membiakkan kebusukan: korupsi, perdagangan anak, pembunuhan, kriminalitas, dan kemiskinan. Tapi kami anak muda, yang ingin berbuat seperti yang kaulakukan. Kami ingin melawan, melawan, dan terus melawan. Terhadap penguasa yang diktator, aktivis yang menjadi broker politik, intelektual yang melacurkan ilmunya, dan preman yang menggunakan kekerasan pada rakyatnya sendiri. Itu yang ingin dan sedang kami kerjakan, Tan Malaka.

Diambil dari resistbook.or.id

Wednesday, February 28, 2007

Tan Malaka

Tan Malaka, salah satu pahalwan terlupakan Indonesia