Monday, September 26, 2011

It's 1945 in Palestine

Namanya Sudarpo Sastrosatomo. Usia baru duapuluh tahunan. Tapi hari itu ia mengemban tugas sangat penting. Mewartakan pada dunia nasib bangsanya. Walau usianya masih muda, namun ia bukan sembarang orang. Pergaulannya dengan insan pers telah dimulainya sejak dini. Sebelum bermukim di New York ia sudah sering bergaul dengan koresponden asing di Jawa seperti Stan Swinton, Arnold Brackman, dan Graham Jenkins.

Ditengah hujan propaganda pemerintah Belanda saat itu, sebagai Atase Pers Repubik Indonesia di New York, ia menjadi ujung tombak Republik yang masih muda untuk mengabarkan kondisi bangsanya, dan mencari dukungan pengakuan kemerdekaan Indonesia diantara bangsa-bangsa sedunia.

Hari itu, bulan Maret 1949 ia membagikan makalah kepada pejabat publik Amerika Serikat, wartawan dan perwakilan negara-negara lain di PBB. Ia tahu, walaupun namanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi lembaga bangsa-bangsa sedunia itu dipengaruhi oleh segelintir negara, diantaranya Amerika Serikat. Maka, dengan cerdas pada makalah yang dibagikan, ia mencoba mencari persamaan revolusi dan semangat kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika Serikat. Ia tahu Amerika Serikat mengenal George Washington dan Thomas Jefferson sebagai founding fathers yang dicintai rakyat Amerika Serikat. Ia pun menyadari Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang ditanda tangani tahun 1776 di Philedelphia menjadi dokumen yang dipuja dan disakralkan rakyat Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki alasan yang kuat untuk merdeka. Begitu pula dengan Indonesia Maka ia pun membagikan makalah berjudul "It's 1776 in Indonesia". [1]

Kini, enampuluh tahun kemudian, saat Indonesia telah merdeka, sebuah negara mencari pengakuan di PBB. Palestina,-diantara bangsa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia 66 tahun yang lalu-berjuang untuk menjadi anggota PBB agar bisa diakui sebagai negara dan lepas dari penjajahan kejam Israel. Namun-telur yang belum menetas- itu pun sudah di hancurkan oleh ancaman hak veto Amerika Serikat. AS sebaga sekutu setia Israel tidak mungkin membiarkan begitu saja keinginan Palestina untuk merdeka. Barrack Obama-yang begitu dipuja oleh sebagian orang Indonesia- dalam pidatonya mengancam tidak akan menyetujui langkah itu.[2] Sungguh menyedihkan sekali jika masih ada orang Indonesia yang mengagumi Barrack Obama!

PBB, walaupun mengaku sebagai lembaga demokratis, setiap langkahnya harus di setujui oleh 'minoritas' lima anggota dewan keamanan PBB. Oleh karena itu tidaklah pantas PBB disebut lembaga demokratis. Bukan hal aneh AS akan menjegal setiap langkah sah Palestina. Pengaruh Israel yang begitu kuat terhadap pemerintahan dan ekonomi AS menjadi dikte bagi kebijakan AS.[3] Jangan heran, Indonesia pun dulu, ketika mencari pengakuan dari AS tidak serta merta diakui. AS walaupun mengaku netral, ternyata dalam prakteknya lebih condong kepada Belanda. Bahkan AS masih memberikan bantuan militer tersembunyi kepada Belanda ketika melakukan agresi kepada bangsa Indonesia. Pertimbangan ekonomi dan persahabatan menjadi alasan keberpihakan tersebut. [4] Adalah naif, jika tidak mau dibilang bodoh, berharap AS akan membela dengan alasan demokrasi apalagi kemanusiaan. Bukankah itu hanya retorika semata?

Kita bangsa Indonesia membela Palestina, dengan atau tanpa restu AS. Indonesia dan Palestina menolak segala macam penjajahan, kekejaman, genosida, rasisme, penindasan dan penghinaan yang dilakukan oleh Israel. Palestina memiliki semua alasan yang sama dengan Indonesia yang ingin merdeka. Kita menolak setiap bentuk penjajahan diatas muka bumi, karena kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Maka Palestina harus merdeka, because It's 1945 in Palestine.


[1] Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg. Indonesia merdeka karena Amerika. 2007. Jakarta. Serambi
[2] http://internasional.kompas.com/read/2011/09/23/05090146/Jalan.Palestina.Buntu
[3] Petras, James. The Power of Israel In USA. Jakarta. Zahra
[4] Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg. Indonesia merdeka karena Amerika. 2007. Jakarta. Serambi

Thursday, September 22, 2011

Adil Sejak Dalam Pikiran

Untuk kesekian kalinya umat Islam di Indonesia mengalami Hari Raya Iedul Fitri dengan perbedaan hari. Bukan barang pertama, malah sudah berkali-kali. Sebagian sudah merasa lazim dengan hal ini dan tidak mempersoalkannya lagi. Tapi bagi sebagian merasa hal ini sangat janggal. Di jejaring sosial yang saya amati, beberapa mengungkapkan kekesalannya. Umumnya pemerintah menjadi sasaran. Beberapa bertanya, “Malaysia sudah, Brunei sudah, Arab Saudi juga sudah, kenapa kita pinter-pinteran sendiri berbeda dengan yang lain?” Jika yang berkomentar punya argument (dalil) yang kuat, tidak apa-apa. Tapi jika tidak, lucu juga melihat komentar seperti ini. Baru kemarin, oleh sebagian orang, Malaysia dihujat sebagai maling, Arab Saudi dibilang sadis, kedaulatan negara adalah yang utama. Kalau memang mau berdaulat, kenapa harus mengekor pada negara lain? Komentar lain menyalahkan pemerintah dan ormas Islam yang saling berbeda. Padahal yang berkomentar juga belum tentu mengerti apa yang membuat mereka berbeda.

Majelis Ulama Indonesia dan beberapa tokoh Islam mengingatkan kita agar tetap saling menghormati. Namun bukan itu saja hikmah dari kejadian ini. Kejadian ini mengingatkan kita untuk lebih mengenal dan mempelajari Islam. Kita mencela orang-orang yang terlibat dalam penentuan Iedul Fitri sebagai orang yang tidak pernah akur, namun, kita sendiri tidak (mau) tahu, atau sedikit pun mempelajarinya. Pertanyaan sesungguhnya, apakah kita tahu benar masalah ini hingga kita bisa menyalahkan mereka? Apakah kita pernah mencari tahu mendalam mengenai masalah ini? Padahal Allah telah mengingatkan,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isra : 36)

Sesungguhnya masalah salah-menyalahkan, cela- mencela dalam hal ini iedul fitri ini hanyalah salah satu contoh betapa sering sebagian dari kita (umat Islam) menyalahkan pihak lain tanpa pengetahuan. Ada kejadian ormas Islam mendemo festival film bertema LBGT (Lesbian Gay dan transeksual), sebagian berkomentar, “dasar kolot, ini negara demokrasi, biarin aja dong festival itu!” Padahal Allah telah mengecam perbuatan homoseksual sebagi perbuatan yang melampaui batas [1]. Ketika umat Islam mengecam kelompok Ahmadiyah, maka sebagian berkata, orang Islam tidak toleran. Padahal, Rasulullah sudah mengingatkan, tidak ada Nabi setelah beliau [2]. Maka ketika kita mentolerir kesesatan Ahmadiyah, kita sudah mengabaikan perkataan beliau. Ketika ada pendapat menuntut penegakan syariat Islam, kita malah mencemooh, “dasar nggak tahu diri, hukum jaman dulu mau dipakai dijaman sekarang.”? Mungkin yang mencemooh lupa dengan peringatan Allah tentang hal ini [3].

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita, sebelum berkomentar, sudah terlebih dahulu mencari pengetahuan tentangnya? Sudahkah kita sebagai muslim, setidaknya berusaha mencari tahu dahulu, apa yang sebenarnya Islam ajarkan. Mengutip istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer,”Adil sejak dalam pikiran” [4]. Sudahkah kita berbuat adil sejak dalam pikiran pada agama sendiri? Di tiap sholat berdoa,” Sesungguhnya hidupku matiku hanya untuk Allah”, tapi kenyatannya kita masih jarang untuk berusaha mencari tahu apa yang diingatkan oleh Allah, sebaliknya malah mencela. Kita seringkali tidak adil sejak dalam pikiran kepada agama kita sendiri.

Sudah saatnya kita berbuat adil dengan mempelajari (kembali) apa yang Islam ajarkan. Sayangnya kita masih malas untuk belajar. Sikap sebagian besar umat Islam ketika menyangkut pengetahuan tentang agamanya terbagi 2. Satu mengikuti apapun yang dikatakan Ustad, kiyai, tokoh, habib atau panutan lain. Yang kedua ketika ada persoalan yang berkaitan dengan Islam, kita hanya menggunakan akal atau logika semata. Sikap pertama, adalah sikap yang sangat umum dikalangan umat Islam. Apapun kata Ustad, kiyai, habib atau tokoh panutan lainnya kita telan bulat-bulat. Padahal yang wajib kita ikut dalam beragama Islam adalah Al Quran dan Sunnah (hadis). Sesuai dengan firman Allah,

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl : 89)

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa : 59)

Dan sebagaimana wasiat Rasulullah kepada kita,

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw.” (HR. Muslim)

Maka dalam Islam ada dua sumber utama Al Quran dan Sunnah Rasulullah (Hadis). Bukan kata ustad, kiyai, habib atau cendikiawan muslim lulusan University of Chicago, atau McGill yang kita ikuti begitu saja. Karena mereka juga manusia, tidak terlepas dari kesalahan dan hawa nafsunya. Ketika mereka berpendapat, kita lihat lagi, apakah sesuai dengan Quran dan Sunnah Rasulullah?

Sikap kedua adalah menilai sesuatu hanya dengan akal semata. Kebanyakan dari kita berusaha bersikap kritis, dan terkadang cenderung ‘mendewakan’ akal. Padahal akal juga memiliki keterbatasan. Ingin disebut modern, progressif, maka akal-lah penentu segalanya. Padahal akal dan pengetahuan manusia itu sendiri tidak terlepas dari beberapa hal. Tidak terlepas dari latar belakang budaya, sosial, ekonomi serta hawa nafsu. Ketika berbicara masalah seks bebas, akal orang Eropa menilai, itu adalah sah selama dilakukan suka-sama suka. Ketika di Indonesia, hal itu menjadi lain lagi. Akal dan pengetahuan menjadi relatif. Pengetahuan bergerak sesuai kemajuan zaman. Tidak akan selalu tetap dan final. Dulu orang menganggap bumi itu datar. Berikutnya diketahui ternyata bulat.

Lantas dimanakah peran akal dalam Islam? Apakah Islam mengekang akal? Sebaliknya, Islam justru mengakui keberadaan akal. Banyak ayat dalam Al Quran menyuruh manusia untuk berpikir, memperhatikan, memahami dan berakal. Akal dipakai untuk memikirkan tentang bukti-bukti kekuasaan Allah,

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.An Nahl : 10 – 11)

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya),” ((QS.An Nahl : 12)

Akal ciptaan Allah, tidak mungkin Allah menyuruh kita mengekang akal kita. Allah justru menyuruh kita untuk memakai akal kita,

Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (ilmu). (QS. Ar Rahman : 33) [5]

Jelaslah Allah menciptakan akal untuk dipakai, namun bukan dengan kewenangan tak terbatas, tetapi memakai pada tempatnya,terutama untuk memikirkan bukti-bukti kekuasaan Allah. Akal dengan pancaindra sebagai alatnya memiliki keterbatasan, itulah yang harus kita sadari. Tidak mungkin akal kita bisa mengetahui segalanya. Akal kita tidak mungkin bisa mengetahui zat Allah, karena pancaindra tidak bisa mencapainya. Akal manusia bisa mengetahui bahwa bumi ini tercipta bukan oleh kebetulan, ada kekuatan besar yang menciptakannya, namun akal hanya bisa sampai disitu. Tidak bisa mengetahui siapa penciptanya. Maka Allah menurunkan wahyu untuk manusia sebagai penuntun.

Lantas bagaimana dengan ayat-ayat Allah atau sunnah Rasulullah yang tidak kita mengerti dengan akal? Harus kita ingat bukan ayat Allah yang salah, namun akal kita yang memang terbatas. Mungkin suatu saat nanti akal kita akan mengetahui hikmah dari ayat tersebut, tapi bagi kita sekarang yang belum cukup pengetahuannya, cukup dengan meyakininya saja. Karena Allah tidak mungkin salah. Seperti yang dilakukan oleh para generasi terdahulu. Ketika mereka mendengar ayat

“Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,” (Qs An Naziat : 32)

Dengan ilmu pengetahuan zaman dahulu, mustahil bisa diketahui maksud ayat ini secara jelas, mereka cukup dengan meyakininya saja. Tetapi 1400 tahun kemudian, secara ilmu geologi modern dapat diketahui bahwa gunung memang memiliki akar yang menghujam kebawah mencapai 10-15 kali tinggi gunung tersebut. [6 ]. Sesuailah akal (pengetahuannya) dengan ayat Allah.

Maka dengan berpedoman pada Al Quran dan Hadislah kita belajar memahami agama ini. Dengan kedua hal tadi pula kita berpedoman dalam hidup ini. Allah jelas-jelas telah mengatakan bahwa Al Quran sebagai pedoman hidup, tapi kita cenderung mengabaikannya. Perumpamaan sederhana adalah, jika kita membeli barang elektronik, kita pasti mempercayai buku manual yang diciptakan pabriknya dan mengoperasikan sesuai buku manualnya. Maka saat Allah penciptanya, dan Al Quran dan Sunnah adalah buku manualnya, maka kenapa kita tidak mau menjalankan sesuai manual yang diturunkan Allah pada kita. Padahal Allah-lah yang mengetahui segala sesuatu, Ia tahu yang terbaik yang harus dijalankan hamba-Nya.

Mari kita mulai untuk belajar berbuat adil pada agama kita sendiri, sejak dalam pikiran, dengan mempelajarinya. Sehingga bisa menilai segala sesuatu sesuai dengan Islam. Jangan lagi kita menjadi manusia yang hanya bisa mengikuti tanpa pengetahuan. Ketika kita mendengar opini mengenai pluralisme agama, kita langsung mengikuti tanpa bersikap kritis. Harusnya kita bertanya, apa itu pluralisme agama? Bagaimana Islam memandangnya? Apakah sama pluralisme dengan toleransi? Apakah Islam sudah memberikan panduan tentang toleransi beragama? Ketika kita mendengar Islam merendahkan wanita, dan aturan Islam tentang wanita harus direvisi, kita langsung menyetujuinya saja. Bahkan tidak mau mencari tahu bagaimana Islam memandang wanita dan kedudukan wanita dalam Islam? Begitu juga soal lainnya seperti ibadah, ekonomi, politik, hukum, sampai rumah tangga.

Kita seringkali tidak mau berprasangka baik pada agama sendiri, dan tidak mau mempelajarinya terlebih dahulu. Kita seringkali lebih percaya pendapat orang-orang yang disebut cendikiawan, tanpa mau menilai apakah pendapat mereka sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Kita seringkali bersikap kritis jika menyangkut Islam, tapi kita jarang mau bersikap kritis pada pendapat-pendapat yang berasal dari luar Islam. Maka mulailah kita bersikap adil pada Islam sejak dalam pikiran. Dan belajar adalah salah satu sikap untuk memulainya. Wallahu alam.

  1. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (Qs Al A’raf : 81)
  2. Aku Penutup para nabi. Tidak ada lagi sesudahku. (HR Ahmad dan Al Hakim)
  3. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs Al Ahzab : 36)
  4. Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer
  5. Fiqhud Da’wah. Muhammad Natsir. 2006. Jakarta. Media Dakwah.
  6. Keajaiban Al Quran. Harun Yahya. 2008. Bandung. Arkan Publishing.