Monday, May 21, 2007

"New Rulers of The World" membuka mata saya


Baru aja hari sabtu kemaren gue nonton film dokumenter yang membuat hati gue menjadi sesak. Miris tepatnya.
Ini adalah film dokumenter kedua yang gue tonton yang menceritakan suatu masalah, yang contoh kasusnya adalah negara gue sendiri, Indonesia.
Dokumenter pertama yang gue tonton adalah film tentang fotografe perang, James Nachtway-War Photographer.James memotret kehidupan kaum miskin di Jakarta dan suasaan pemilu 1999.
Dokumenter kedua, yang gue tonton kemaren, adalah hasil download temen gue yang baik hati hario dari youtoube. Judulnya "New Rulers of The World". Dokumenter hasil jurnalis Inggris, yang bercerita tentang dampak globalisasi, khususnya ekonomi neo liberlisme yang dijalankan oleh WTO dan IMF.
Untuk yang mau sadar, dan mau melihat realita yang ada tentang keadaan negara kita yang sebenarnya, film ini sangat gue rekomendasikan. Kebetulan lagi jalan-jalan di dunia maya, gue menemukan website tentang gerakan melawan penjajahan era baru, neo liberalisme. buka aja, www.apokalips.org. Di situs ini ada resensi filmnya.
gue copy resensi tentang film ini ("New Rulers of The World") di bawah :



"New Rulers of The World"

Genre : Film Dokumenter
Penulis : John Pilger
Sutradara : Alan Lowery
Produksi : Carlton International Media Ltd.
Narator : John Pilger
Format : VCD
Runtime : 53 menit

Apabila negara dunia pertama adalah negara yang memiliki modal dan menguasai teknologi tetapi miskin sumber daya alam, sedangkan negara dunia ketiga adalah negara yang memiliki sumber daya alam tetapi tidak memiliki modal dan teknologi, maka akan terjadi pengintegrasian dari perekonomian nasional menjadi sebuah sistem ekonomi global yang dilakukan oleh negara dunia pertama. Aliran modal, teknologi, tenaga kerja hingga komoditas akan bebas bergerak melampaui batas negara. Pergerakan itu disebut sebagai sebuah proses dari globalisasi.

Film dokumenter karya John Pilger ini memaparkan bagaimana dampak globalisasi terhadap negara dunia ketiga yang bagi para penganutnya diyakini akan menciptakan kesejahteraan yang merata dan mengurangi pengangguran. Tetapi apa yang terjadi di banyak negara dan khususnya Indonesia tidak seperti itu. Globalisasi malah mempercepat proses pemiskinan dan menciptakan banyak penindasan. Film ini memperlihatkan bagaimana kondisi buruh yang bekerja di pabrik-pabrik perusahaan multinasional seperti Nike dan GAP dengan upah yang rendah, jam kerja yang tidak teratur, dan kondisi tempat kerja yang mengenaskan, dipaksa untuk terus bekerja dan seakan tidak punya pilihan lain selain terus melakukan apa yang diperintahkan oleh bos-bos pabrik. Dalam film ini diperlihatkan juga bagaimana kondisi tempat tinggal para buruh yang bisa dikatakan kumuh, dan bagaimana mereka menyiasati upah mereka agar mencukupi kebutuhan keluarganya dengan cara mengurangi porsi makan dan tingkat gizi.

Film ini sedikit berbeda dengan film-film sejenis yang pernah saya tonton. John Pilger dengan berani menyusup membawa kamera tersembunyi ke dalam beberapa pabrik yang memproduksi merk-merk terkenal seperti Nike, Reebok, Adidas dan GAP dengan cara menyamar sebagai pembeli. Terdapat lebih dari 1000 pekerja dalam ruangan tanpa AC itu, menjadi tampak sesak dan sangat tidak kondusif. Selain kondisi kerja, jam kerja pun akan menjadi mimpi buruk para buruh apabila mendadak ada pesanan untuk ekspor. Para buruh dipaksa untuk bekerja selama 16 jam dalam kondisi berdiri. Selain mewawancarai beberapa buruh pabrik untuk mengetahui memang telah terjadi proses kerja yang tidak wajar, ada juga pernyataan dari Dita Sari, seorang mantan tapol dan pemimpin buruh di FNBI yang membenarkan bahwa kondisi buruh Indonesia memang memprihatinkan, yang akan melakukan kerja apapun dengan upah yang rendah karena terlalu banyaknya pengangguran.

Pada bagian lain, John Pilger sengaja mendatangi Nicholas Stern, pimpinan ekonom dari Bank Dunia untuk melakukan wawancara mengenai bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang berasal dari pinjaman Bank dunia kepada Indonesia dan hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya proses globalisasi. Pada bagian ini bisa dilihat bahwa apa yang diramalkan para penganut globalisasi mengenai kesejahteraan itu salah. Pada kenyataannya, globalisasi malah memperjelas bagaimana proses pemiskinan terjadi melalui penghapusan subsidi beberapa sektor pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Selain itu, John Pilger juga melakukan wawancara kepada Stanley Fischer, wakil direktur IMF. Pilger mengajukan pertanyaan mengenai kemungkinan dihapuskannya hutang yang sangat diharapkan oleh 17 juta orang Indonesia itu dan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan. Sekali lagi, terungkap bahwa melalui rezim yang berkuasa, globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak yang akan semakin mempercepat proses pemiskinan.

Film ini di tutup oleh liputan aksi dari gerakan anti globalisasi di seattle untuk menghambat pertemuan World Trade Organization (WTO), dan aksi mayday di London yang bagi Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang sekaligus pimpinan partai buruh, disebut sebagai aksi turun ke jalan untuk “tujuan Palsu”. Gelombang menentang globalisasi yang tidak pernah diberitakan oleh media massa telah terjadi di banyak negara.

Akhir kata, film ini mengenaskan sekaligus mendidik.

ini link buat yg pengen download filmnya di youtube :

- Part 1 http://www.youtube. com/watch? v=8firb73r67g

- Part 2 http://www.youtube. com/watch? v=kYaDY-xTzZ0

- Part 3 http://www.youtube. com/watch? v=4se4jYI9KAc

- Part 4 http://www.youtube. com/watch? v=4se4jYI9KAc

- Part 5 http://www.youtube. com/watch? v=h0tIB9m_ BBg

- Part 6 http://www.youtube. com/watch? v=Yf2CSUoxyOk

- Part 7 http://www.youtube. com/watch? v=BUmyevPS2cY

Please watch this film guys!!for the sake of our future

Monday, May 07, 2007

Menjelang Berakhirnya Pasar Malam



Mengingatkan kita akan setahun kematian seorang sastrawan besar dunia, Pramoedya Ananta Toer (30 April 2006).

Setahun Wafatnya Pramoedya
Menjelang Berakhirnya Pasar Malam

oleh : Zenrs

http://pejalanjauh.blogspot.com/2006/05/saat-saat-terakhir-pramoedya-menjelang.html

[Ini tulisan lama. Pernah dipajang di sini setahun silam, seminggu setelah Pram wafat pada 30 April 2006. Sengaja ku pajang kembali untuk memeringati setahun wafatnya Pramoedya]

Semalaman, dari jam setengah 10 malam sampai Minggu pagi, saya berada di kediaman Pram di Utan Kayu. Bersama sejumlah teman, saya mengalami langsung, menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Pramoedya meregang nyawa, melawan maut, dan kemudian menyerah.

Mengingat kembali proses-proses itu, saya seperti sedang membaca kembali Bukan Pasar Malam.

Saya datang ke rumah Pramoedya sekitar pukul 22.30, Sabtu malam, bersama Ella Devianti, gadis cantik yang baru saja menelurkan novel pertamanya, Paradoks Maggy. Sesampainya di sana, saya langsung disuruh masuk ke halaman rumah Pram. Saya lihat masih banyak orang di sana. Ada beberapa reporter televisi sedang menenteng kamera. Yang saya lihat secara jelas hanya reporter SCTV.

Rumah Pram 2 meter di atas jalan, dan memasuki halamannya berarti kita mesti menaiki jalan masuk yang menanjak. Di sana saya belum melihat satu pun orang yang ku kenal. Saya duduk sesaat di tanjakan halaman rumah, persis di sebelah seorang lelaki paruh baya yang duduk tercenung.

Saya beranikan diri bertanya: “Bagaimana kabar si Bung?”

“Saya tak tahu persis. Katanya malah sudah meninggal,” jawabnya pendek. Ia langsung menunduk begitu usai menjawab.

Saya terhenyak. Saya tak percaya tentu saja. Sebab 15 menit sebelum sampai, Muhidin M Dahlan, karib dan rekan sekantor, mengabarkan Pram masih bertahan setelah melewati masa krisis sebanyak tiga kali. Saya juga tak percaya karena sebelum berangkat saya sempat membuka detik.com, dan di sana dikabarkan bahwa Pram masih bisa bertahan, dan bahkan minta sebatang rokok kesayangannya, Djarum Super.

Saya tengok kanan-kiri. Saya lihat beberapa orang yang ku kenal. Bersama Ella saya kemudian mendekati mereka yang duduk mengelilingi sebuah meja kaca, persis di samping kanan rumah. Saya bertanya pada Muhidin. Dan Chavchay Syaifullah, wartawan Media Indonesia yang baru saja melaunching bukunya tentang Chairil Anwar, menjawab: “Aman, bung. Terkendali!”

Saya lega. Saya hisap sebatang rokok. Dua batang rokok. Tiga batang rokok. Sembari terus saja bercakap-cakap. Membincangkan apa saja. Selama proses inilah belasan sms dari karib-karib saya masuk menanyakan kebenaran kabar wafatnya Pram. Sekitar pukul setengah 12, sms Faiz Ahsoul masuk, juga menanyakan kabar Pram.

Saya jawab: “Pram masih bertahan. Dia baru saja melewati krisisnya yang ketiga. Dan dia malahan meminta rokok.”

Selain kepada Faiz, sms itu juga saya kirim ke Arief Santoso, redaktur budaya Jawa Pos.

10 menit kemudian Faiz kembali membalas. “Syukurlah. Saya sedang di Kaliurang, menyaksikan Merapi yang mulai memanas. Mungkin Pram dan merapi sudah berjanji saling menunggu.”

Saya diam. Tak ku jawab sms itu.

Kemudian Susilo Ananta Toer, adik termuda Pramoedya keluar menemui beberapa wartawan televisi. Susilo bilang bahwa Pram pernah berjanji untuk bertahan hingga 100 tahun. “Bertahan, Bung. Ini baru 81, belum seratus!"

Saya tersenyum. Siapa yang tahu dan siapa yang sebetulnya menentukan usia?
Yang saya tahu, Susilo pula yang sempat bersikukuh agar Pram tetap dirawat di RS Carolus. Susilo tidak ingin kejadian di mana ayah mereka akhirnya wafat setelah 3 hari dibawa pulang dari rumah sakit. Hal itu bisa dibaca dalam Bukan Pasar Malam.

****
Di hari Minggu yang masih begitu dini, kurang lebih sekitar jam 2 pagi, Astuti Ananta Toer, putri yang begitu dekat dengan Pram, tiba-tiba menghambur dari kamar tempat ayahnya dibaringkan. Ia berteriak-teriak: “Oma… Oma….”

Waktu itu tamu dan pelayat sudah banyak yang undur. Ointu gerbang berwarna hiau sudah ditutup. Kami, yang ada di sebelah kanan kediaman Pram di Utan Kayu, refleks bangkit dari masing-masing duduknya dan langsung menghambur masuk ke dalam kamar depan tempat Pram dibaringkan.

Saya dan yang lain hanya diam terpaku, di ruang tamu, dengan mata yang nanar menatap dari kejauhan, terdengar jelas hentakan nafas satu-satu yang susah payah dihela Pram. Maestro yang dikagumi ribuan anak muda itu tampak tergeletak lemah. Ia diselimuti dengan selimut berwarna coklat bercorak kembang putih-putih. Sepasang lengannya mengenakan sarung tangan berwarna hitam. Sejumlah selang menancap di pergelangan tangan dan hidungnya. Infus dan oksigen.

Saya berada persis di ujung sepasang kaki Pram. Saya lihat sepasang kakinya keluar dari selimut. Sepasang kaki yang lemah dan tampak letih. Dibungkus kaus kaki coklat tipis.

Kembali saya ingat Bukan Pasar Malam. Si tokoh, pada kedatangannya yang pertama mengunjungi ayahnya yang terbaring sakit, memerikan bagaimana sepasang kaki ayahnya; sebuah pemeriaan yang secara luarbiasa akhirnya terulang pada diri Pram sendiri.

“Kudekati ranjang ayahku, kuraba kakinya yang kering. Hatiku tersayat. Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku juga dan pernah mengembara ke mana-mana? Dan kaki itu terkapar di atas kasur ranjang rumahsakit. Bukan kemauannya. Ya, bukan kemauannya. Rupa-rupanya manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak begitu juga halnya dengan kakiku.” (Bukan Pasar Malam, hal. 48).

Ya…. Seperti juga Pram yang meraba kaki ayahnya, saya menyentuh kaki Pram yang masih menyisakan sejumput udara hangat. Saya melolosi sepasang kaus kaki coklat tipis yang membungkus sepasang kaki Pram yang letih dan berkarat oleh waktu dan sejumlah pengkhianatan.

Saya ingat Yukio Mishima, sastrawan Jepang yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara seppuku yang luarbiasa dramatis, sebuah gaya artisitik memerlakukan kematian tak ubahnya sebuah panggung teater. Mishima yang bunuh diri pada 1970 itu juga pernah menulis sebuah novelet, sama seperti Bukan Pasar Malam, judulnya Patriotisme. Di cerpen itu, Mishima mengisahkan secara detail bagaimana seorang perwira Jepang melakukan seppuku. Dan sungguh menakjubkan, Mishima juga mati dengan cara yang sama seperti ia pernah tuliskan sebelumnya dalam novelet Patriotisme itu.

Pikiran saya ke mana-mana. Saya berdiri persis di tiang tempat di man botol infus digantungkan. Saya perhatikan botol infus itu. Saya perhatikan, tetes-tetes infus begitu lambat menetes. Dan semua orang, saya kira, juga merasa detik begitu lama beranjak. Lama sekali. Saya pernah ingat seorang suster yang dulu semasa kecil pernah merawat saya sewaktu saya diterjang penyakit demam berdarah. Kata dia, kalau infus cepat habisnya berarti yang dirawat itu ada kemungkinan pulih, sementara jika infus begitu lama habisnya, itu pertanda buruk.

Saat itu saya sadar kalau Pram sedang meregang nyawa. Susah betul ia menarik nafas. Sesekali dagunya terangkat. Mungkin untuk memudahkan masuknya oksigen. Tangannya lemah terkulai. Mujib menggenggam tangan kiri, Oma (panggilan untuk istri Pram) bergantian menggenggam tangan kanan.

Lagi-lagi entah siapa yang memulai, tampaknya Mbak Titik (panggilan Astuti), beberapa orang yang hadir mulai menggumamkan do’a. Ada yang menggumam dalam hati, dan ada yang setengah berteriak. Seisi kamar seperti bergetar oleh do’a dan himpunan kalimat-kalimat suci.

Taufik Rahzen memecah suasana sakral dan menyayat itu dengan suara setengah berteriak: “Bung Pram… Bung Pram…..”

Rahzen mencoba menyadarkan, berupaya agar Pram tak kehilangan kesadaran.

Beberapa saat kemudian, Mbak Titik, dengan nada antara kasihan melihat Pram yang meregang nyawa dan campuran rasa frustasi takut kehilangan, tiba-tiba berkata dengan keras: “sudahlah… biarkan dia pergi. Kasihan. Kasihan dia….”

Seisi kamar terhenyak. “Jangan, Bung! Jangan menyerah, Bung!” batin saya dalam hati seperti hendak menolak rasa pesimis yang pelahan mulai merayap.

Tapi kali ini Pramoedya masih bertahan. Pelan tapi pasti, setelah 45 menit meregang-regang, ia kembali berhasil menguasai kesadarannya. Nafasnya mulai teratur.

“Opa… opa….” teriak Mbak Titik.

Pram menengok ke arah Mbak Titik.

Seantero kamar menarik nafas lega. Pram sadar kembali.

****
Tetapi itu tak lama. Sekitar pukul 03.15 pagi, Pram kembali diterjang krisis. Kali ini lebih menyesakkan untuk disaksikan.

Saya lihat bagaimana orang yang berdiri tegar sendirian bertahun-tahun lamanya, dipenjara di semua rezim yang pernah berkuasa di sini (di penjara kolonial Belanda, rezim fasis Jepang, zaman Soekarno juga Orde Harto), tampak megap-megap. Dagunya sesekali terangkat. Ia berulang kali mengubah-ubah posisi tangannya. Sekali waktu ia merentangkan sepasang tangannya, dengan wajah terangkat, seperti hendak menantang duel sang maut. Kali lain ia meletakkan dua tangannya di atas kepalanya. Tentu saja masih dengan deru nafas yang makin lemah dan patah-patah.

Deru do’a makin kencang menghambur dari seantero kamar. Semua-muanya. Tak terkecuali saya. Dalam hati tentu saja. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya meregang nyawa, menempuhi sekarat, bertarung dengan malaikat penjagal nyawa. Saya ingat sebuah do’a Rasulullah yang memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari sakitnya meregang nyawa, yang kata Rasul, sakitnya tujuh kali lebih menggidikkan dari sayatan pisau yang paling tajam.
Saya bergidik. Begini rupanya meregang nyawa. Hih…. Dan, jujur saja, baru sekali itulah saya lihat orang sekarat. Dan entah ini anugerah ataukah kutuk, pengalaman pertama menyaksikan orang sekarat itu justru ketika Pram, orang yang saya anggap sebagai guru, yang menjadi “aktornya”.

Berkali-kali, Yudistira dan Astuti memegang lengan kiri ayahnya. Sesekali mereka mendekatkan kuping ke mulut Pram, berjaga jika sewaktu-waktu Pram membisikkan pesannya yang terakhir. Yudis sesekali membacakan kata-kata suci ke telinga ayahnya.

Saya tak tahu apa yang ada dalam batin Pram ketika di detik-detik terakhir hidupnya ia dido’akan, dihujani oleh kata-kata yang diyakini suci. Adakah Pram menolak? Mungkinkah Pram menampik?

Pelan-pelan saya khawatir, jangan-jangan Pram merentangkan tangan atau menggeleng-gelengkan kepala sebetulnya sebagai bentuk penolakan Pram atas cara keluarga, karib dan pengagumnya memerlakukan dirinya. Saya khawatir, jangan-jangan Pram hanya ingin mati dengan caranya sendiri, bukan seperti cara orang-orang yang saat itu ada di sampingnya sewaktu sedang bertarung dengan wabah maut.

Tapi kita tidak pernah akan tahu apa yang ada di kepalaPram saat itu. Kita tak akan tahu apakan Pram menolak atau tidak. Dan kita juga tak akan tahu bagaimana sebetulnya Pram ingin menghadapi maut. Lagipula, saya dan barangkali semua orang yang hadir yang mendoakan Pram dengan kata-kata suci yang dalam seumur hidup Pram jarang sekali ia ucapkan, hanya bergerak mengikuti insting, naluri. Saya, dan barangkali juga yang lain, tak pernah terlintas pikiran hendak meng-Islam-kan Pram, sebab saya dan yang lain juga tak tahu apakah Pram muslim atau bukan.

Saya ingat Pram pernah berkata bahwa orang ateis yang menjadi ateis karena pilihan sadar biasanya adalah orang yang paling banyak memikiran Tuhan. “Orang ateis,” dalam kata-kata Pram sendiri, “adalah mereka yang telah melewati banyak ‘stasiun’ pemberhentian.”

Saya tak tahu Pram sudah melewati berapa stasiun. Yang saya tahu, Pram, seperti bisa kita baca dalam Bukan Pasar Malam, membisikkan kata-kata suci yang memuji kebesaran Tuhan ke telinga ayahnya yang baru saja meninggal dunia, 57 tahun lalu, di pengujung warsa 1949 yang muram.

Sejarah barangkali adalah sebentuk persilangan dan tumbukan antara satu pengulangan menuju pengulangan yang lain. Semacam circle. Tak peduli betapa para sejarawan memeluk teguh doktrin ein malig, sejarah hanya terjadi sekali.

Di jam-jam terakhirnya itu, saya, lewat sebuah koinsidensi yang menakjubkan, bisa berada langsung melihatnya, menjadi penyaksi dari satu tahap paling genting setiap manusia: mati!

Pada fase krisisnya yang terakhir, sebelum kemudian ia meninggal pada jam 9 pagi itu, saya menyaksikan bagaimana Pram terus dikendalikan oleh hidupnya, kenangannya, dan aktivitas-aktivitas hidupnya.

Di tengah-tengah badai lara yang makin menyiksa, dengan suara yang parau dan nafas megap-megap, Pram masih sempat menanyakan kabar apakah sampah sudah dibakar.

Pram memang punya hobi aneh: membakar sampah. Jika kita baca Nyanyi Seorang Bisu, kumpulan surat-surat Pram untuk anak-anaknya yang ditulis dari Buru, kita akan tahu bahwa membakar sampah adalah salah satu cara menyibukkan diri seorang Pram selama diburu. Membiarkan diri melamun kosong di pulau pengasingan yang mengerikan sama saja dengan menyerahkan jiwa kita pada kegilaan. Membakar sampah adalah cara Pram melawan waktu yang menggerus, sekaligus sebentuk rsistensi Pram atas pengkondisian rezim Harto yang memang menginginkan agar dia jatuh bukan oleh tangan-tangan kasar aparat, melainkan jatuh dalam kegilaan dirinya sendiri.

Dan Pram tak hanya ingin membakar sampah. Ia juga ingin jenazahnya dibakar, dikremasi. Bukan dikubur. Permintaan yang kelak tak dikabulkan keluarganya.

Yang membuat saya makin tergetar adalah betapa Pram dalam perlawanannya yang terakhir terhadap kematian, akhirnya luruh juga dalam ketakutan. Saya saksikan bagaimana Pram menitikkan air mata. Berkali-kali. Anaknya Yudistira Ananta Toer, dalam perbincangan beberapa jam sebelumnya, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat Pram menangis, baik menangis terharu maupun menangis karena sedih, tidak juga ketika Pram pertama kali kembali ke rumahnya di Utan Kayu setelah sepuluh tahun lebih diasingkan ke Pulau Buru.

Tetapi Pram akhirnya masih bisa bertahan juga, seperti memenangkan sebuah ronde dari serangkaian pertandingan melawan maut. Pukul 4 pagi Pram kembaali bisa tersadar.

****
Saya dan beberapa teman akhirnya pamit undur dari rumah Pram. Saya letih. Lelah. Semalaman tak tidur. Tapi yang jauh lebih membikin letih adalah pengalaman menyaksikan seorang Pram, yang sama-sama kami kagumi itu, meregang nyawa, menahan sakit, melawan kematian.

Ya, saya percaya Pram memang melawan sebisanya. Ia masih ingin hidup hingga 100 tahun. Ia masih ingin bertemu dan berdialog terus menerus dengan angkatan muda yang ia harapkan bisa mengembalikan laju Indonesia ke relnya yang benar. Ia juga masih ingin menyelesaikan Ensiklopedi Citra Kawasan Indonesia yang baru tergarap sebagian, kendati sebagian di sini artinya bahan-bahan itu telah menumpuk setinggi 3 meter lebih.

Saya juga yakin Pram akan bertahan. Tidak, Bung Pram pasti bisa bertahan. Pasti. Begitu saya mencoba meyakinkan diri sendiri.

Tetapi saya keliru. Ketika sedang berada di bus kota, sekitar pukul 9 pagi, sebuah sms dari Taufik Rahzen yang isinya pendek sekali, tapi justru membikin dada seperti runtuh: “Pram baru aja jalan….”

Semenit kemudian sms Muhidin masuk. Isinya membikin badan meriang: “Pram telah meninggal dunia. 09.02. Inilah erangannya yang terakhir: “Saya tak kuat. Bakar saya dalam mati saya.”

Saya menyesal tak ada di sampingnya ketika ia terbang pergi. Saya menyesal. Sangat.

Di atas bus kota yang reyot yang membawa saya ke arah Tanjung Duren di wilayah Jakarta Barat itulah saya terima kabar kematiannya. Saya kirim sms pendek ke semua teman yang bisa saya hubungi. “Pram wafat. Barusan.”

****
Pram dimakamkan di Karet, satu pemakaman dengan si binatang jalang Chairil Anwar. Ia memang diantarkan oleh ribuan pelayat dan anak muda yang mengaguminya. Ia dimakamkan secara islami, kepergiannya juga diiringi oleh Internationale dan Darah Juang.

Tetapi pada akhirnya ia pergi sendiri. Sendirian. Sesuatu yang sudah dipahami oleh Pram 57 tahun sebelumnya. Dalam paragraf penutup Bukan Pasar Malam, Pram menulis sesuatu yang akhirnya ia alami juga:

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Jakarta-Jogja, 5-6 Mei 2006



Posted by zenrs88@gmail.com

Wednesday, May 02, 2007

Detik-detik Rasulullah SAW menjelang sakratul maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi

* * *
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencinta kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.