Monday, April 02, 2012

MIUMI dan Harapan Buya Hamka

28 Februari lalu terisar kabar dideklarasikannnya Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) di Jakarta. Beberapa nama yang telah sering kita dengar malang melintang di dunia pemikiran Islam seperti Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan Bachtiar Nasir LC menghiasi MIUMI. Yang hadir dalam deklarasi itu pun bukan nama sembarang dalam kiprahnya di Indonesia,seperti Ustad Adian Husaini, Ketua KPK Abraham Samad, budayawan Taufik Ismail dan lainnya. MIUMI dikatakan berfokus menyelesaikan permasalahan keumatan dan kebangsaan berbasis keilmuan.

Menarik memang dua kata yang terdapat pada MIUMI. Yaitu Intelektual dan Muda. Dua kata ini pula yang dipesankan oleh ulama besar Indonesia ,Buya Hamka. Intelektual dan Muda yang menjadi penentu Islam di masa depan. Dalam rubrik Dari Hati ke Hati dimajalah Panji Masyarakat (1967-1981) beliau mengatakan tentang peran Intelektual,

“Sudah pasti bahwa Umat Islam amat mengharapkan tenaga dan buah pikiran dari cerdik pandai dan intelektualnya, agar sudilah kiranya turun dari atas ‘singasana majun alam, tempat beliau bersemayam, mengorak sila, melangkahkan kaki dating ke dalam pondok buruk kami, memimpin kami mengajar kami’.

Beliau kemudian bercerita, dahulu saat awal-awal berdirinya Muhammadiyah di Sumatera, organisasi ini kekurangan intelektualnya. Sehingga jika ada seorang bekas pensiun KNIL yang pandai berbahasa Belanda atau kerani-kerani (pegawai) dari perkebunan besar atau bekas kepala pegadaian Negeri masuk ke Muhammadiyah, disambut dengan bangga. Sebab mereka bisa bahasa Belanda. Kalau ada calon-calon pengurus Pimpinan Pusat terdapat memakai title, baik DR atau Mr (SH), pasti mendapat suara terbanyak, dan duduk dalam kepengurusan, mengalahkan kiyai besar tak bertitel, walaupun kiyai tersebut mempelajari gerak Muhammad Abduh dengan seksama. Padahal setelah duduk, kadang-kadang pengurus bertitel tersebut tidak dapat hadir karena sibuk. Dan kalau hadir, mereka tidak dapat mengikuti persoalan karena agama bukan bidang para pimpinan tersebut. Tapi apa mau dikata, kemegahan titel tersebut sangat diperlukan oleh kemegahan Muhammadiyah.

Buya Hamka kemudian melanjutkan, pada tahun 1924 beridirilah Jong Islamieten Bond (JIB) atas prakarsa Haji Agus Salim. JIB diisi oleh kalangan muda Islam yang mendapat didikan sekolah barat. Namun di JIB, para anggota intinya memeperdalam pengertian dan amalan agama, sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan Hidup. Anggota JIB jumlahnya tidak sampai ribuan, hanya ratusan, namun dari JIB inilah timbul pribadi-pribadi seperti Muhammad Natsir, Mohammad Roem, Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusasmito dan lain-lain. Merekalah kelak yang mengisi bangsa ini dengan kepribadian Islam dan memperjuangkan Islam di Indonesia. Tengoklah Muhammad Natsir, yang menjdi pemimpin Masyumi dan sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia, Syafrudin Prawiranegara yang menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, atau Kasman Singodimejo yang menjadi Jaksa Agung RI. Mereka semua akhirnya memperjuangkan Islam di Indonesia. Namun akibat dari perjuangannya jua, dengan rela hati menerima segela konsekuensi, kemelaratan pembuangan dan pengasingan. Menerima menjadi tumpah kebencian orang banyak yang diindoktrinasikan supaya benci kepada mereka. Pribadi-pribadi lulusan JIB ini kata Buya Hamka mampu untuk menggerakan umat.

“Mereka telah dapat menggerakkan perjuangan Islam, yang mempunyai tidak kurang daripada 14 juta pengikut, ditakuti oleh kawan dan lawan, dipandang musuh besar paling berbahaya oleh komunis,dan terpaksa dibubarkan secara diktator oleh Soekarno.”

“Pikirkanlah! Kalau 15 tahun yang lalu hanya sekitar 200 orang intelek berjiwa Islam telah dapat menggerakkan tidak kurang dari 14 juta bangsa Indonesia muslim, sekarang diseluruh Indonesia tidak kurang dari seribu sarjana, seribu intelek yang keluar tiap tahun.”, lanjut Buya Hamka.

Intelektual menurut Buya Hamka memang menjadi penggerak, pendidik dan dapat memberikan multiplying effect bagi umat Islam. Intelektual harus juga menjadi penghubung rakyat.

“Sebab itu hubunganmu tidak putus dengan umat. Kamu tidak lagi akan menjadi sarjana yang duduk diatas singasana gading, memandang umat dan kaumnya sebagai orang lain,dijadikan obyek penelitian, tidak merasakan diri sebagai subyek bersama mereka,” jelas Buya Hamka.

Perjuangan Islam menurut Buya Hamka terletak dipundak angkatan muda Islam. Perjuangan ini meminta tenaga muda yang bersemangat militan, didorong oleh rasa cinta kepada agama. Menurut Buya Hamka,

“Mereka harus tegak menantang dan membendung propaganda paham materialisme dan segala isme-isme (paham) baru yang diimpor dari barat untuk menyebarkan rasa keragu-ragun atau melemahkan iman dalam Islam.”

Apa yang dihadapi MIUMI memang tidak mudah. Yang sekarang terjadi justru banyak pemuda-pemuda yang mengaku muslim, tapi malah menghancurkan Islam dari dalam. Sesungguhnya ini bukan barang baru. Pada masa Buya Hamka menulis ini pun, hal ini sudah menjadi tantangan bagi umat Islam.

“Yang kerap kali dapat diperbudak oleh orang lain ialah pemuda-pemuda yang sok tahu. Pemuda yang ditimpa penyakit rendah diri, mentang-mentang sudah dibawa bergaul, dalam masyarakat yang agak “barat” sifatnya, dia belum merasa progressif kalau belum turut bersorak mengatakan bahwa Islam, harus pandai menyesuaikan kalau mau maju”, tegas Buya Hamka.

Bahkan beliau melanjutkan dengan mengecam mereka, “ Orang-orang yang turut menyebarkan paham dalam masyarakat, yang akan mengakibatkan kendornya rasa perjoangan, rasa jihad menegakkan cita Islam, bukan saja menjadi pelopor membawa ke jalan kafir, bahkan itulah pengkhianat-pengkhianat yang membawa nama Islam untuk menghancurkan kekuatan Islam.”

Kekuatan Islam menurut Buya Hamka terletak pada aqidah Islam. Akidah Islam yang menimbulkan akhlak Islam. Akidah pasti menegakkan akhlak. Semata-mata ilmu pengetahuan saja,tanpa tegak atas aqidah tidaklah menimbulkan akhlak. Buya Hamka begitu yakin bahwa aqidahlah yang membawa kemajuan,. Menurutnya,

“….suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasar kepada akidah dan akhlak Islam!”

Demikianlah besarnya harapan Buya Hamka kepada intelektual dan angkatan muda Islam. Semoga MIUMI dapat memenuhi pula pengharapan tersebut. Jalan tersebut memang tak mudah, seperti yang diingatkan Buya Hamka, “jalan rayanya memang tidak ditaburi kembang dan bunga serta minyak cologner (pewangi).”

Selamat berjuang MIUMI!!

pustaka : Hamka. Dari Hati ke Hati. 2002. Pustaka Panjimas Jakarta

Monday, September 26, 2011

It's 1945 in Palestine

Namanya Sudarpo Sastrosatomo. Usia baru duapuluh tahunan. Tapi hari itu ia mengemban tugas sangat penting. Mewartakan pada dunia nasib bangsanya. Walau usianya masih muda, namun ia bukan sembarang orang. Pergaulannya dengan insan pers telah dimulainya sejak dini. Sebelum bermukim di New York ia sudah sering bergaul dengan koresponden asing di Jawa seperti Stan Swinton, Arnold Brackman, dan Graham Jenkins.

Ditengah hujan propaganda pemerintah Belanda saat itu, sebagai Atase Pers Repubik Indonesia di New York, ia menjadi ujung tombak Republik yang masih muda untuk mengabarkan kondisi bangsanya, dan mencari dukungan pengakuan kemerdekaan Indonesia diantara bangsa-bangsa sedunia.

Hari itu, bulan Maret 1949 ia membagikan makalah kepada pejabat publik Amerika Serikat, wartawan dan perwakilan negara-negara lain di PBB. Ia tahu, walaupun namanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi lembaga bangsa-bangsa sedunia itu dipengaruhi oleh segelintir negara, diantaranya Amerika Serikat. Maka, dengan cerdas pada makalah yang dibagikan, ia mencoba mencari persamaan revolusi dan semangat kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika Serikat. Ia tahu Amerika Serikat mengenal George Washington dan Thomas Jefferson sebagai founding fathers yang dicintai rakyat Amerika Serikat. Ia pun menyadari Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang ditanda tangani tahun 1776 di Philedelphia menjadi dokumen yang dipuja dan disakralkan rakyat Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki alasan yang kuat untuk merdeka. Begitu pula dengan Indonesia Maka ia pun membagikan makalah berjudul "It's 1776 in Indonesia". [1]

Kini, enampuluh tahun kemudian, saat Indonesia telah merdeka, sebuah negara mencari pengakuan di PBB. Palestina,-diantara bangsa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia 66 tahun yang lalu-berjuang untuk menjadi anggota PBB agar bisa diakui sebagai negara dan lepas dari penjajahan kejam Israel. Namun-telur yang belum menetas- itu pun sudah di hancurkan oleh ancaman hak veto Amerika Serikat. AS sebaga sekutu setia Israel tidak mungkin membiarkan begitu saja keinginan Palestina untuk merdeka. Barrack Obama-yang begitu dipuja oleh sebagian orang Indonesia- dalam pidatonya mengancam tidak akan menyetujui langkah itu.[2] Sungguh menyedihkan sekali jika masih ada orang Indonesia yang mengagumi Barrack Obama!

PBB, walaupun mengaku sebagai lembaga demokratis, setiap langkahnya harus di setujui oleh 'minoritas' lima anggota dewan keamanan PBB. Oleh karena itu tidaklah pantas PBB disebut lembaga demokratis. Bukan hal aneh AS akan menjegal setiap langkah sah Palestina. Pengaruh Israel yang begitu kuat terhadap pemerintahan dan ekonomi AS menjadi dikte bagi kebijakan AS.[3] Jangan heran, Indonesia pun dulu, ketika mencari pengakuan dari AS tidak serta merta diakui. AS walaupun mengaku netral, ternyata dalam prakteknya lebih condong kepada Belanda. Bahkan AS masih memberikan bantuan militer tersembunyi kepada Belanda ketika melakukan agresi kepada bangsa Indonesia. Pertimbangan ekonomi dan persahabatan menjadi alasan keberpihakan tersebut. [4] Adalah naif, jika tidak mau dibilang bodoh, berharap AS akan membela dengan alasan demokrasi apalagi kemanusiaan. Bukankah itu hanya retorika semata?

Kita bangsa Indonesia membela Palestina, dengan atau tanpa restu AS. Indonesia dan Palestina menolak segala macam penjajahan, kekejaman, genosida, rasisme, penindasan dan penghinaan yang dilakukan oleh Israel. Palestina memiliki semua alasan yang sama dengan Indonesia yang ingin merdeka. Kita menolak setiap bentuk penjajahan diatas muka bumi, karena kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Maka Palestina harus merdeka, because It's 1945 in Palestine.


[1] Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg. Indonesia merdeka karena Amerika. 2007. Jakarta. Serambi
[2] http://internasional.kompas.com/read/2011/09/23/05090146/Jalan.Palestina.Buntu
[3] Petras, James. The Power of Israel In USA. Jakarta. Zahra
[4] Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg. Indonesia merdeka karena Amerika. 2007. Jakarta. Serambi

Thursday, September 22, 2011

Adil Sejak Dalam Pikiran

Untuk kesekian kalinya umat Islam di Indonesia mengalami Hari Raya Iedul Fitri dengan perbedaan hari. Bukan barang pertama, malah sudah berkali-kali. Sebagian sudah merasa lazim dengan hal ini dan tidak mempersoalkannya lagi. Tapi bagi sebagian merasa hal ini sangat janggal. Di jejaring sosial yang saya amati, beberapa mengungkapkan kekesalannya. Umumnya pemerintah menjadi sasaran. Beberapa bertanya, “Malaysia sudah, Brunei sudah, Arab Saudi juga sudah, kenapa kita pinter-pinteran sendiri berbeda dengan yang lain?” Jika yang berkomentar punya argument (dalil) yang kuat, tidak apa-apa. Tapi jika tidak, lucu juga melihat komentar seperti ini. Baru kemarin, oleh sebagian orang, Malaysia dihujat sebagai maling, Arab Saudi dibilang sadis, kedaulatan negara adalah yang utama. Kalau memang mau berdaulat, kenapa harus mengekor pada negara lain? Komentar lain menyalahkan pemerintah dan ormas Islam yang saling berbeda. Padahal yang berkomentar juga belum tentu mengerti apa yang membuat mereka berbeda.

Majelis Ulama Indonesia dan beberapa tokoh Islam mengingatkan kita agar tetap saling menghormati. Namun bukan itu saja hikmah dari kejadian ini. Kejadian ini mengingatkan kita untuk lebih mengenal dan mempelajari Islam. Kita mencela orang-orang yang terlibat dalam penentuan Iedul Fitri sebagai orang yang tidak pernah akur, namun, kita sendiri tidak (mau) tahu, atau sedikit pun mempelajarinya. Pertanyaan sesungguhnya, apakah kita tahu benar masalah ini hingga kita bisa menyalahkan mereka? Apakah kita pernah mencari tahu mendalam mengenai masalah ini? Padahal Allah telah mengingatkan,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al Isra : 36)

Sesungguhnya masalah salah-menyalahkan, cela- mencela dalam hal ini iedul fitri ini hanyalah salah satu contoh betapa sering sebagian dari kita (umat Islam) menyalahkan pihak lain tanpa pengetahuan. Ada kejadian ormas Islam mendemo festival film bertema LBGT (Lesbian Gay dan transeksual), sebagian berkomentar, “dasar kolot, ini negara demokrasi, biarin aja dong festival itu!” Padahal Allah telah mengecam perbuatan homoseksual sebagi perbuatan yang melampaui batas [1]. Ketika umat Islam mengecam kelompok Ahmadiyah, maka sebagian berkata, orang Islam tidak toleran. Padahal, Rasulullah sudah mengingatkan, tidak ada Nabi setelah beliau [2]. Maka ketika kita mentolerir kesesatan Ahmadiyah, kita sudah mengabaikan perkataan beliau. Ketika ada pendapat menuntut penegakan syariat Islam, kita malah mencemooh, “dasar nggak tahu diri, hukum jaman dulu mau dipakai dijaman sekarang.”? Mungkin yang mencemooh lupa dengan peringatan Allah tentang hal ini [3].

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita, sebelum berkomentar, sudah terlebih dahulu mencari pengetahuan tentangnya? Sudahkah kita sebagai muslim, setidaknya berusaha mencari tahu dahulu, apa yang sebenarnya Islam ajarkan. Mengutip istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer,”Adil sejak dalam pikiran” [4]. Sudahkah kita berbuat adil sejak dalam pikiran pada agama sendiri? Di tiap sholat berdoa,” Sesungguhnya hidupku matiku hanya untuk Allah”, tapi kenyatannya kita masih jarang untuk berusaha mencari tahu apa yang diingatkan oleh Allah, sebaliknya malah mencela. Kita seringkali tidak adil sejak dalam pikiran kepada agama kita sendiri.

Sudah saatnya kita berbuat adil dengan mempelajari (kembali) apa yang Islam ajarkan. Sayangnya kita masih malas untuk belajar. Sikap sebagian besar umat Islam ketika menyangkut pengetahuan tentang agamanya terbagi 2. Satu mengikuti apapun yang dikatakan Ustad, kiyai, tokoh, habib atau panutan lain. Yang kedua ketika ada persoalan yang berkaitan dengan Islam, kita hanya menggunakan akal atau logika semata. Sikap pertama, adalah sikap yang sangat umum dikalangan umat Islam. Apapun kata Ustad, kiyai, habib atau tokoh panutan lainnya kita telan bulat-bulat. Padahal yang wajib kita ikut dalam beragama Islam adalah Al Quran dan Sunnah (hadis). Sesuai dengan firman Allah,

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl : 89)

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa : 59)

Dan sebagaimana wasiat Rasulullah kepada kita,

“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw.” (HR. Muslim)

Maka dalam Islam ada dua sumber utama Al Quran dan Sunnah Rasulullah (Hadis). Bukan kata ustad, kiyai, habib atau cendikiawan muslim lulusan University of Chicago, atau McGill yang kita ikuti begitu saja. Karena mereka juga manusia, tidak terlepas dari kesalahan dan hawa nafsunya. Ketika mereka berpendapat, kita lihat lagi, apakah sesuai dengan Quran dan Sunnah Rasulullah?

Sikap kedua adalah menilai sesuatu hanya dengan akal semata. Kebanyakan dari kita berusaha bersikap kritis, dan terkadang cenderung ‘mendewakan’ akal. Padahal akal juga memiliki keterbatasan. Ingin disebut modern, progressif, maka akal-lah penentu segalanya. Padahal akal dan pengetahuan manusia itu sendiri tidak terlepas dari beberapa hal. Tidak terlepas dari latar belakang budaya, sosial, ekonomi serta hawa nafsu. Ketika berbicara masalah seks bebas, akal orang Eropa menilai, itu adalah sah selama dilakukan suka-sama suka. Ketika di Indonesia, hal itu menjadi lain lagi. Akal dan pengetahuan menjadi relatif. Pengetahuan bergerak sesuai kemajuan zaman. Tidak akan selalu tetap dan final. Dulu orang menganggap bumi itu datar. Berikutnya diketahui ternyata bulat.

Lantas dimanakah peran akal dalam Islam? Apakah Islam mengekang akal? Sebaliknya, Islam justru mengakui keberadaan akal. Banyak ayat dalam Al Quran menyuruh manusia untuk berpikir, memperhatikan, memahami dan berakal. Akal dipakai untuk memikirkan tentang bukti-bukti kekuasaan Allah,

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.An Nahl : 10 – 11)

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya),” ((QS.An Nahl : 12)

Akal ciptaan Allah, tidak mungkin Allah menyuruh kita mengekang akal kita. Allah justru menyuruh kita untuk memakai akal kita,

Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (ilmu). (QS. Ar Rahman : 33) [5]

Jelaslah Allah menciptakan akal untuk dipakai, namun bukan dengan kewenangan tak terbatas, tetapi memakai pada tempatnya,terutama untuk memikirkan bukti-bukti kekuasaan Allah. Akal dengan pancaindra sebagai alatnya memiliki keterbatasan, itulah yang harus kita sadari. Tidak mungkin akal kita bisa mengetahui segalanya. Akal kita tidak mungkin bisa mengetahui zat Allah, karena pancaindra tidak bisa mencapainya. Akal manusia bisa mengetahui bahwa bumi ini tercipta bukan oleh kebetulan, ada kekuatan besar yang menciptakannya, namun akal hanya bisa sampai disitu. Tidak bisa mengetahui siapa penciptanya. Maka Allah menurunkan wahyu untuk manusia sebagai penuntun.

Lantas bagaimana dengan ayat-ayat Allah atau sunnah Rasulullah yang tidak kita mengerti dengan akal? Harus kita ingat bukan ayat Allah yang salah, namun akal kita yang memang terbatas. Mungkin suatu saat nanti akal kita akan mengetahui hikmah dari ayat tersebut, tapi bagi kita sekarang yang belum cukup pengetahuannya, cukup dengan meyakininya saja. Karena Allah tidak mungkin salah. Seperti yang dilakukan oleh para generasi terdahulu. Ketika mereka mendengar ayat

“Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,” (Qs An Naziat : 32)

Dengan ilmu pengetahuan zaman dahulu, mustahil bisa diketahui maksud ayat ini secara jelas, mereka cukup dengan meyakininya saja. Tetapi 1400 tahun kemudian, secara ilmu geologi modern dapat diketahui bahwa gunung memang memiliki akar yang menghujam kebawah mencapai 10-15 kali tinggi gunung tersebut. [6 ]. Sesuailah akal (pengetahuannya) dengan ayat Allah.

Maka dengan berpedoman pada Al Quran dan Hadislah kita belajar memahami agama ini. Dengan kedua hal tadi pula kita berpedoman dalam hidup ini. Allah jelas-jelas telah mengatakan bahwa Al Quran sebagai pedoman hidup, tapi kita cenderung mengabaikannya. Perumpamaan sederhana adalah, jika kita membeli barang elektronik, kita pasti mempercayai buku manual yang diciptakan pabriknya dan mengoperasikan sesuai buku manualnya. Maka saat Allah penciptanya, dan Al Quran dan Sunnah adalah buku manualnya, maka kenapa kita tidak mau menjalankan sesuai manual yang diturunkan Allah pada kita. Padahal Allah-lah yang mengetahui segala sesuatu, Ia tahu yang terbaik yang harus dijalankan hamba-Nya.

Mari kita mulai untuk belajar berbuat adil pada agama kita sendiri, sejak dalam pikiran, dengan mempelajarinya. Sehingga bisa menilai segala sesuatu sesuai dengan Islam. Jangan lagi kita menjadi manusia yang hanya bisa mengikuti tanpa pengetahuan. Ketika kita mendengar opini mengenai pluralisme agama, kita langsung mengikuti tanpa bersikap kritis. Harusnya kita bertanya, apa itu pluralisme agama? Bagaimana Islam memandangnya? Apakah sama pluralisme dengan toleransi? Apakah Islam sudah memberikan panduan tentang toleransi beragama? Ketika kita mendengar Islam merendahkan wanita, dan aturan Islam tentang wanita harus direvisi, kita langsung menyetujuinya saja. Bahkan tidak mau mencari tahu bagaimana Islam memandang wanita dan kedudukan wanita dalam Islam? Begitu juga soal lainnya seperti ibadah, ekonomi, politik, hukum, sampai rumah tangga.

Kita seringkali tidak mau berprasangka baik pada agama sendiri, dan tidak mau mempelajarinya terlebih dahulu. Kita seringkali lebih percaya pendapat orang-orang yang disebut cendikiawan, tanpa mau menilai apakah pendapat mereka sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Kita seringkali bersikap kritis jika menyangkut Islam, tapi kita jarang mau bersikap kritis pada pendapat-pendapat yang berasal dari luar Islam. Maka mulailah kita bersikap adil pada Islam sejak dalam pikiran. Dan belajar adalah salah satu sikap untuk memulainya. Wallahu alam.

  1. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (Qs Al A’raf : 81)
  2. Aku Penutup para nabi. Tidak ada lagi sesudahku. (HR Ahmad dan Al Hakim)
  3. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs Al Ahzab : 36)
  4. Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer
  5. Fiqhud Da’wah. Muhammad Natsir. 2006. Jakarta. Media Dakwah.
  6. Keajaiban Al Quran. Harun Yahya. 2008. Bandung. Arkan Publishing.

Wednesday, July 13, 2011

Amerikanisasi dalam Iklan Cetak Marlboro

Tulisan ini sebenernya tugas kuliah. tapi iseng aja ah, posting di blog. siapa tau ada manfaatnya :D
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dunia berubah begitu cepat. Kemajuan teknologi dalam 30 tahun terakhir mengubah semuanya. Saat ini sekat-sekat antar negara hampir tidak terlihat. Dunia ini seperti menjadi datar.Penduduk di bumi belahan selatan dapat mengetahui apa yang terjadi saat itu juga di bumi belahan utara. Jarak tidak lagi membatasi akses informasi bagi manusia saat ini. Televisi dan internet menjadi lokomotif perubahan gelombang informasi bagi manusia. Semua menyerap informasi yang sama hampir tanpa batasan. Proses inilah yang seringkali disebut sebagai globalisasi.1
Beragam informasi muncul dalam kehidupan kita, dari berbagai belahan bumi yang berbeda. Termasuk informasi yang membawa pesan ekonomi dalam bentuk iklan. Anda tak akan lagi sulit menemukan iklan produk dari belahan bumi yang berbeda. Energizer dengan ikon kelincinya, walaupun anda tak tahu bagaimana kelinci tersebut mengikat dirinya dengan Energizer. Mac dengan logo apelnya, meskipun kita tak paham apa hubungan produk teknologi dengan sebuah apel. Juga iklan rokok Marlboro dengan para koboinya. 
Saya jadi ingin tahu, kenapa iklan yang mengusung budaya yang jauh berbeda bisa tampil di tengah masyarkat. Contohnya iklan Marlboro. Karena Marlboro, dimanapun iklannya, selalu menggunakan Koboi sebagai ikonnya, walaupun dalam negara yang dituju, koboi bukanlah sesuatu yang familiar, seperti di Indonesia. Sepertinya, globalisasi terutama ekonomi dan budaya sebagai sebab pendorong Marlboro selalu menggunakan ikon koboi ini. Globalisasi ini yang menyebabkan Amerikanisasi pada sebuah budaya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa melihat lebih dalam tentang hal tersebut.

Globalisasi
Globalisasi begitu sering didengung-dengungkan. Namun kita harus memahami makna pasti dari globalisasi tersebut. Maka ada baiknya kita mengetahui makna dari globalisasi itu sebelum membahas lebih jauh. Menurut Cambridge Dictionaries Online2, globalisasi adalah,
The increase of trade around the world, especially by large companies producing and trading goods in many different countries (peningkatan perdagangan di seluruh dunia, terutama oleh perusahaan yang memproduksi dan memperdagangkan barang-barang di banyak Negara).
When available goods and services, or social and cultural influences, gradually become similar in all parts of the world (ketika barang dan jasa yang ada, atau pengaruh sosial dan budaya, secara bertahap menjadi sama di semua wilayah di dunia).
Jadi ketika membahas globalisasi maka kita akan menemukan yang berkaitan dengan ekonomi (perdagangan baik produk maupun jasa), sosial dan budaya. Namun menurut Manfred Steger3 , globalisasi ekonomi tidak terlepas dari globalisasi politik. Karena ada motif politik dibalik tindakan globalisasi ekonomi. Proses globalisasi politik dan ekonomi ini menjadi kritik pengamat, seperti Kenichi Ohmae4, yang menganggap, ketika munculnya dunia tanpa batas yang dilahirkan oleh kapitalisme, negara tidak lagi menjadi relevan. Karena menghilangkan peran negara dalam perdagangan.5 Dalam bukunya, Making Globalization works, peraih nobel ekonomi, Joseph Stiglitz, juga mengkritik hal yang serupa6.

Globalisasi budaya  juga patut dipertimbangkan. Karena pembahasan judul buku ini juga menyangkut sisi budaya. Pertanyaan yang timbul mengenai dampak globalisasi budaya adalah, apakah globalisasi budaya akan menyebabkan keragaman atau malah homogenitas budaya? Roland Robertson mengatakan bahwa, yang akan dihasilkan justru keragaman budaya.7 Karena ketika arus budaya global mendera sebuah wilayah, maka yang akan dihasilkan justru “glokalisasi”. Artinya semacam interaksi unik antara budaya lokal dan global, yang menjadi sebuah peminjaman budaya global oleh budaya lokal. Hal ini juga diamini oleh Thomas L. Friedman. 8 Menurutnya, budaya lokal tidak akan tergerus, justru yang dihasilkan adalah budaya lokal yang menglobal. Karena menurutnya, proses uploading akan mendorong semua budaya untuk muncul. Tentu saja ada juga kritik tentang globalisasi budaya, seperti yang ungkapkan sosiolog Amerika, George Ritzer, yang mengkritik amerikanisasi budaya.9 Sebagai tambahan, Appadurai, seperti dikutip Steger10, menuturkan bahwa ada lima dimensi konseptual yang dibentuk arus globalisasi budaya. Pertama, Etnoscapes (perpindahan populasi yang melahirkan turis, imigran, pengungsi dan pelarian). Kedua, Tecnhoscapes (perkembangan teknologi). Ketiga, Financescapes (aliran capital global). Keempat, Mediascapes (Kemampuan elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi). Kelima, Ideoscapes (ideologi Negara-negara dan gerakan sosial).  


Sejarah Singkat Marlboro 

Sejatinya Marlboro pertama kali muncul di Inggris tahun 1847. Awalnya rokok Marlboro disasar untuk pasar wanita. Namun tidak sukses. Tahun 1920, Marlboro menyasar pasar wanita di Amerika Serikat. Dan hasilnya ternyata baik. Tahun 1950, mereka kembali mengeluarkan produk inovasinya. Kampanyenya tentang buruknya dampak merokok non filter. Pada saat itu, mayoritas rokok adalah non filter, dan Marlboro sebagai produsen rokok filter ingin mengambil hati melalui kampanye kesehatan mereka. Tahun 50’an, Marlboro mulai mengalihkan pasar mereka dari rokok wanita menjadi rokok para pria. Maka berikutnya dimulailah kampanye mereka. Kemunculan pertama, iklan pria ber-tatto. Berikutnya muncul iklan-iklan mereka dengan citra pria yang sehat dan beragam aktivitas luar ruangan. Saat awal kampanye, tokoh pria pelaut dan koboi menjadi citra mereka. Berikutnya semakin kuat dengan dicitrakan sebagai pria macho. Pada tahun 1954, ikon koboi  “Marlboro Man”, yang kita kenal sampai sekarang, muncul. Tahun 1963, Marlboro Man ditetapkan sebagai satu-satunya ikon mereka. Marlboro adalah koboi dan koboi adalah Marlboro. Citra itu begitu melekat hingga saat ini.11


Iklan Cetak Marlboro 

Iklan Marlboro biasanya di dominasi oleh sebuah foto besar, entah itu seorang Koboi yang sedang merokok, atau sedang melempar tali lasso, atau sedang menunggang kuda. Namun, ide utamanya tetap kehidupan koboi. Sebuah tagline melengkapi kalimat tersebut. Yang menarik adalah visualisasi iklan Marlboro tersebut. Jika dahulu diperlihatkan Koboi yang sedang merokok, maka seiring ketatnya aturan adegan merokok dihilangkan. Begitu juga gambar kemasan rokok. Kalimat “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin, ” terletak di bagian bawah iklan.

Ketika melihat iklan-iklan ini maka kesan yang penulis tangkap adalah iklan ini ingin mengesankan  jantan, dan gagah. Kesan sehat juga ditangkap, karena melakukan aktivitas olahraga luar ruangan. Iklan ini tampak sederhana namun memeberikan kesan yang kuat. Kesan dari citra Marlboro. Citra yang kuat tentang jantan dan gagah. 


Globalisasi dan Iklan Marlboro

Tak banyak dari masyarakat kita yang begitu familiar dengan dunia koboi. Penulis pun masih menyangsikan, apakah koboi berkesan gagah dan jantan bagi masyarkat Indonesia? Lalu kenapa Marlboro tetap menampilkan citra koboi pada produknya? Bukankah budaya tersebut tidak familiar dengan masyarkat Indonesia? Globalisasi budaya bisa menjawabnya. 

Menurut Tomlinson, seperti dikutip Steger11, ketika citra dan gagasan dialihkan dari satu tempat, ke tempat lainnya, maka akan berdampak besar pada cara orang menjalani kehidupan sehari-harinya. Kultur tidak lagi berkaitan dengan lokalitas yang tetap seperti kota atau negara. Tetapi mendapat makna baru yang mencerminkan tema yang dominan dalam konteks global. Menurut pendapat sejumlah pemikir, hal ini mendorong munculnya kultur global yang homogen. Kultur yang ditopang oleh nilai-nilai Anglo-Amerika, atau bisa dikatakan “amerikanisasi.” Seperti yang diilustrasikan oleh George Ritzer12, cara kerjanya mirip restoran McDonalds. Mendominasi di segala lapisan masyarkat Amerika dan seluruh dunia. Ia menyebutnya Mcdonaldisasi. Dominasi kata yang tepat menggambarkan hegemoni kebudayaan. Edward Said, mengutip Gramsci, menuturkan bahwa, bentuk-bentuk kebudayaan tertentu lebih dominan daripada kebudayaan lainnya, sebagaimana gagasan tertentu berpengaruh daripada gagasan lainnya13. Begitu hegemoniknya, sehingga gagasan itu membuat membuat orang tak bisa mengelak dari hal yang disampaikan gagasan yang kukuh itu. Bukankah ketika pihak yang berkuasa (dalam ekonomi dan politik) berarti turut juga mendominasi budaya pihak yang didominasi? Artinya, ketika Marlboro, ingin menyampaikan citra yang sebenarnya tak sama dengan kultur kita, ia dapat dengan mudah menyampaikannya. Karena hegemoni dan globalisasi budaya tersebut. Tak masalah jika citra itu menampilkan koboi sekalipun.  DImensi konseptual seperti yang dicetuskan Appedurai, yaitu dimensi mediascapes turut membantu tersebarnya citra yang didukung budaya hegemonik ini. Budaya hegemonik yang akhirnya menciptakan Amerikanisasi melalui iklan Marlboro.


Maka ketika kita berbicara dalam konteks iklan Marlboro, tidak mengherankan mereka menampilkan citra yang berbeda dengan budaya kita (baca : koboi adalah gagah dan jantan). Globalisasi terutama budaya turut mendorong hal tersebut. Apalagi ketika arus informasi mendera seluruh muka bumi ini. Bumi menjadi datar. Semua mendapatkan informasi dalam waktu yang sama. Perkembangan teknologi yang mendorong ekspansi budaya memang tak bisa dielakkan. Arus ini bisa membentuk sikap resistensi. Sikap yang memprovokasi resistentsi politik juga kultural, seperti yang dituturkan oleh Benjamin R. Breber14. Di satu sisi, serbuan arus budaya ini juga dapat melahirkan glokalisasi, seperti yang sudah dituturkan di atas. Namun bukanlah sikap yang bijak jika kita membiarkan diri terbawa arus globalisasi budaya. Sikap kritis dan bijaksana menjadi penyaring yang baik bagi masyarakat untuk menyikapi arus ini. 

Memang ironis, ketika merokok di negara seperti Amerika diatur secara ketat, Marlboro justru berekspansi ke Indonesia15. Ekspansi ini tidak hanya membawa motif ekonomi. Tapi secara tidak langsung juga membawa kultur yang berbeda. Kultur yang dikemas sedemikan rupa untuk motif ekonomi.  Menurut penulis, tidaklah tepat, ketika sebuah budaya yang asing (baca : Koboi) dibawa dan dikampanyekan dengan cara yang sama (menggambarkan sebuah citra jantan dan gagah) untuk sebuah produk rokok bernama Marlboro ini. Namun banyak faktor seperti ekonomi, politik dan teknologi yang akhirnya membuat ini terjadi. Dan yang terjadi justru Amerikanisasi pada sebuah budaya. 


Daftar Pustaka
1. Friedman, Thomas L. 2006. The World Is Flat, Sejarah ringkas abad ke 21. Jakarta : Dian Rakyat
2. www. dictionary.cambridge.org
3. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
4. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
5. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
6. Stiglitz, Joseph E. 2007. Making Globalization Works. Jakarta : Mizan
7. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
8. Friedman, Thomas L. 2006. The World Is Flat, Sejarah ringkas abad ke 21. Jakarta : Dian Rakyat
9. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
10. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
11. HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Marlboro_(cigarette)"http://en.wikipedia.org/wiki/Marlboro_(cigarette)
12. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
13. Said, Edward W. 2010. Orientalisme, Menggugat hegemoni Barat dan mendudukkan timur sebagai subjek. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
14. Steger, Manfred B. 2002. Globalisme, Bangkitnya ideologi pasar. Jogjakarta : Lafadl
15. www. en.wikipedia.org/wiki/List_of_smoking_bans_in_the_United_States

Thursday, June 23, 2011

Islam tapi Rasis?


“Dasar lu cina! Pulang kampung aja lo! Dasar arab, pelit!”
Bukan sekali dua kali, saya mendengar kalimat kebencian seperti tadi. Kebencian, prasangka atau stereotip terhadap suatu bangsa, etnis atau ras, sepertinya sudah bukan barang baru di masyarakat Indonesia. Setidaknya yang saya alami hingga saat ini. Hal seperti ini sepertinya sudah biasa terdengar oleh saya (dan mungkin sebagian dari kita) sejak kecil. Dan sepertinya ini bukan hal yang aneh. Jarang saya dengar ketika saya ada kalimat kebencian, atau prasangka seperti tadi, ada yang menyanggah, atau membantahnya. Sepertinya ini sudah menjadi bagian dari cara pandang kita. Suku, etnis, bangsa atau ras tertentu lebih hina, atau rendah daripada kita. Dan ini terkadang saya dengar dari sebagian lingkungan saya yang mayoritas Islam. Bahkan saya pernah dengar, ada khotib Jumat yang berkata dengan nada kebencian serupa.

Entah mengapa hal ini saya anggap biasa, normal dan cenderung mengiyakan. Mungkin karena dari kecil, saya sudah terbiasa mendengarnya. Mereka yang dibenci, memang sudah dari lahirnya seperti itu. Lahir dengan sifat-sifat jahat, pelit, kikir, sombong dan lain-lain. Yang paling sering jadi sasaran di Indonesia (setahu saya) adalah etnis Tionghoa, atau Cina kata masyarakat umum. Sekarang malah disebut China (dilafalkan dengan pengucapan bahasa Inggris). Entah kenapa di ucapkan seperti itu. Padahal, bahasa Indonesia tidak mengenal kata ‘China’. Saya sendiri akan membiasakan menyebutnya tionghoa. Seperti yang biasa di sebut oleh sejarahwan, Ong Hok Ham.

Namun pola pandang ini berubah tatkala saya mengenal Malcolm X. Aktivis kulit hitam di Amerika Serikat.[1] Setelah membaca bukunya, saya jadi bertanya-tanya, bagaimana pandangan rasis ini? Apakah benar atau salah? Bagaimana kalau saya jadi orang ‘cina’, atau ‘negro’, atau lainnya? Apa saya tetap berhak diperlakukan tidak adil? Dipandang dengan prasangka negatif? Apakah benar sikap rasis ini?

Rasis sendiri mulai di pakai dalam kata ilmiah sejak tahun 1930an.[2] Tatkala menggambarkan politik Nazi di Jerman. Namun, telah dituliskan sebagai istilah resmi dalam kamus di Spanyol pada tahun 1611. Kamus tersebut mengartikan istilah ‘raza’, sebagia istilah yang menghormati suatu ‘kasta atau kualitas, kuda-kuda asli’. Dan diartikan pula sebuah istilah yang merendahkan,yang mengacu pada silsilah bangsa yahudi dan moor (bangsa muslim dari Afrika, yang tinggal di Spanyol).[3] Pandangan terhadap ras ini cenderung berdampak dan diwarnai pada berbagai aspek. Yang paling fatal adalah penyerangan, atas dasar ras. Mulai dari penindasan terhadap bangsa Indian di Amerika, reconquista di Spanyol, Yahudi di Jerman, era kolonial, terhadap kulit hitam di Amerika, sampai pada pemusnahan etnis di Bosnia, Kosovo dan Checnya, serta yang berlangsung sampai saat ini dan di dukung banyak negara, yaitu pemusnahan terhadap bangsa Palestina. Rasisme atau rasialisme, berarti, 1. prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yg berat sebelah thd (suku) bangsa yg berbeda-beda; 2 paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yg paling unggul.[4]

Semakin menyedihkan tatkala kita melihat sebagian Muslim di Indonesia masih memiliki cara pandang rasialis ini. Padahal sebagai Muslim, harusnya kita memiliki cara pandang (worldview) yang digariskan Islam. Lalu bagaimana Islam memandangnya? Nyatanya Islam sudah memerangi rasisme sejak hampir 1400 tahun yang lalu. Seorang muslim disuruh memahami, bahwa manusia itu memang beragam suku dan bangsa,

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujarat : 13)

Setelah manusia menginsyafi adanya keragaman dalam dunia ini dan saling mengenal, maka mereka disuruh berpikir,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.(QS. Ar Rum : 22)

Inilah tanda-tanda dari Tuhan. Bukan sekedar diketahui, tapi kembali mengingatkan manusia akan kebesaran Tuhannya. Jika sampai saat ini kita masih berpikir rasis, maka sadarkah kita dengan cara pandang itu, maka yang paling awal timbul adalah prasangka? Maka Allah melarang kita bersikap seperti itu,
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah : 8)

Jika memang itu yang sudah digariskan dalam Islam, maka sebagai Muslim, mengapa kita harus bersikap rasis? Untuk kita (di Indonesia) yang terbiasa dengan sikap rasis ini, maka sebaiknya kita tahu bahwa rasisme adalah bagian dari politik pemerintah Kolonial belanda, yang membagi masyarakat di Indonesia menjadi 3 golongan, yaitu golongan eropa, timur asing (yang termasuk didalamnya etnis tionghoa, baik peranakan dan bukan peranakan) serta golongan bumi putera (pribumi). Politik lainnya dari kolonial Belanda adalah politik Wijkenstelsel, yaitu politik yang mengharuskan setiap suku bangsa tinggal di kampung-kampung tersendiri, agar tidak ada hubungan, kecuali perdagangan antar etnis atau suku bangsa dalam suatu kota. [5] Bahkan hingga pendidikan pun penjajah itu memilah-milahnya, dengan memberikan sekolah yang berbeda-beda, yaitu HIS (hollandsch-Inlandsche School) untuk bumiputera/pribumi, HCS (hollandsch-Chineese School) untuk etnis tionghoa dan peranakannya, serta ELS (Europeesch Lagere School) untuk anak-anak Belanda.[6]
Maka dampaknya masih terasa hingga saat ini. Ketika sebagian orang memilih tinggal bersama etnisnya, dan sulit membaur. Tak bisa disalahkan begitu saja, mengingat ini sudah berjalan sejak era penjajahan. Dan tak mudah memerangi prasangka ras yang satu ini di Indonesia. Namun mungkin dengan mengaitkan Islam dengan etnis tionghoa, maka akan ditemui, bahwa, Islam telah memulai kontak resmi dengan pemerintah China (dinasti Tang) pada masa khalifah Usman Bin Affan.[7] Jikalah memang Islam mengajarkan kebencian pada etnis tionghoa, maka mengapa pula sahabat Rasulullah, khalifah Usman Bin Affan, memulai hubungan diplomatik dengan dinasti Tang?

Saat ini rasisme dapat kita anggap sebagai musuh bersama. Namun ironisnya, justru sebuah negara bernama Israel menjadi sebuah negara yang mendukung rasisme. Ini adalah sebuah masalah fundamental sejak awal berdirinya Israel. Israel tak ubahnya, bahkan lebih kejam dan jahat, jika dibandingkan dengan Afrika Selatan semasa poltik apherteid mereka. Denis Goldberg, seorang yahudi, yang mencoba melawan system apherteid di Afrika Selatan dipenjarakan pada tahun 1985. Ia dapat dibebaskan dengan campur tangan Israel, namun ia menolak dipindahkan ke Israel. Alasannya, “Saya melihat banyak kesamaan antara penindasan terhadap orang kulit hitam di Afrika Selatan dengan penindasan terhadap orang Palestina.”[8]

Simak pula komentar peraih nobel, Uskup Desmond Tutu, ketika berkunjung ke Yerussalem pada tahun 1989. Ia berkata, “Saya seorang berkult hitam Afrika Selatan, dan seandainya saya boleh menyamakan, gambaran peristiwa yang sedang terjadi di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dapat menggambarkan apa yang terjadi di Afrika Selatan.”[9] Majelis Umum PBB secara resmi pada 10 November 1975 mengeluarkan resolusi yang mendefinisikan zionisme sebagai bentuk rasisme dan diskriminasi rasial. [10] Maka kita sebagai muslim menolak rasisme dan menolak eksistensi negara rasis dan kolonialis bernama Israel.

Sudah jelas apa yang di perintahkan oleh Allah kepada hambanya mengenai rasisme. Maka, jika telah mengetahuinya, wajiblah kita menghilangkan perilaku dan cara pandang rasis. Memulai dari diri sendiri, walau tak mudah, adalah tindakan yang paling mungkin untuk dilakukan. Sebelum mengakhiri tulisan ini, mari kita mengingat, khutbah ‘perpisahan’ Nabi Muhammad SAW, di bukit arafah pada 9 Dzulhijah (6 Maret 632 M)[11], di depan ribuan jamaahnya, umatnya,
Wahai manusia, dengarlah baik-baik. Aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih dapat bersama kalian. Simaklah apa yang akan kukatakan dan sampaikanlah kepada mereka yang tidak dapat hadir saat ini…Setiap manusia adalah anak Adam dan Hawa. Orang Arab tidak lebih istimewa dari orang Arab. Demikian pula orang kulit putih tidak lebih istimewa dibanding orang kulit hitam. Dan orang kulit hitam tidak lebih istimewa dibanding orang kulit merah; kecuali karena takwa dan amal salihnya. Ketahuilah bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan izin dan ridhanya. Jangan kalian saling menzalimi. Ingatlah satu hari nanti kalian akan bertemu Allah dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kalian. [ 12]

Khutbah ini disampaikan oleh Rasulullah, sebuah pengakuan akan hak azasi manusia, pengakuan menolak rasisme. Yang disampaikan hampir 1400 tahun sebelum Deklarasi HAM PBB tahun 1948.[13] Maka Islam sudah menggariskan bagaimana memandang hidup ini dengan beragam persoalannya, termasuk masalah rasisme. Mengapa masih mencari yang lain sebagai pegangan dan pandangan hidup? Sampaikanlah pesan Rasulullah ini. Sudahkah kita mengamalkan dan menyampaikannya? Wallhualam.

[1]. Malcolm X. Sebuah otobiografi. 2002. Yogyakarta. Ikon Teralitera.
[2] Fredrickson, George M. Rasisme : Sejarah Singkat. 2005. Yogyakarta. Bentang.
[3] ] Fredrickson, George M. Rasisme : Sejarah Singkat. 2005. Yogyakarta. Bentang.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan. pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
[5] Ong Hok Ham. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa. 2005. Jakarta. Komunitas Bambu.
[6] Ong Hok Ham. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa. 2005. Jakarta. Komunitas Bambu.
[8] Burge, Gary M. Palestina Milik Siapa? 2010. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
[9] Burge, Gary M. Palestina Milik Siapa? 2010. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
[10] Garaudy, Roger. Mitos dan Politik Israel. 2000. Jakarta. Gema Insani.
[11] Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Islam dan Rasisme. 2008. Jakarta Gema Insani.
[12] Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Islam dan Rasisme. 2008. Jakarta Gema Insani.

Thursday, June 16, 2011

Cinta Bangsa dan Tanah Air?

Baru saja beberapa pekan belakangan tersiar berita tentang beberapa sekolah Islam yang menolak upacara bendera [1] dan radio Islam yang menolak menyiarkan lagu kebangsaan[2]. Komentar-komentar bermunculan. Dari perbuatan makar, hingga pengkhianat. Kejadian seperti ini mudah membakar emosi orang-orang yang tak sependapat dengan sekolah atau radio tersebut. Apalagi belakangan memang santer masalah NII, penolakan terhadap pancasila dan sebagainya. Maka tak heran menolak upacara bendera dan menolak menyiarkan lagu kebangsaan dianggap sebagai penolakan terhadap NKRI, tidak nasionalis, yang berujung pada tudingan pengkhianat. Tapi apakah pantas, orang yang menolak upacara bendera disebut pengkhianat? Apakah pantas menolak menyiarkan lagu kebangsaan dituding tidak mencintai Indonesia? Lalu apa tolak ukur rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air? Lebih khusus lagi, apa tolak ukur bagi seorang Muslim mencintai tanah airnya? Apakah harus dengan upacra bendera? Dengan menyanyikan lagu kebangsaan?

Ada baiknya kita lihat pendapat seorang Haji Agus Salim. Salah seorang tokoh besar bangsa ini. Sekaligus seorang tokoh Islam di Indonesia. Kecintaannya pada bangsa ini tentu tidak diragukan lagi. Ialah generasi awal tokoh gerakan modern kemerdekaan Indonesia. Sesungguhnya ia pernah membahas persoalan cinta bangsa dan tanah air puluhan tahun yang lampau. Tepatnya Juli 1928. Ketika ia memulai polemik dengan Soekarno lewat media massa. Polemik tentang cinta tanah air dan bangsa, bahkan ketika sumpah pemuda pun belum di ikrarkan oleh pemuda kita.

Berawal dari perkataan Soekarno pada massa PNI. Soekarno menggambarkan betapa Indonesia, yang ia anggap sebagai ibu, begitu indah, teramat kaya dan ia cintai. Maka, kata Soekarno, tak lebih dari wajibmu apabila kamu menghambakan, membudakkan dirimu kepada Ibumu Indonesia, menjadi putra yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.

Haji Agus Salim lalu menulis dalam Fajar Asia, dan menurutnya adalah wajar mencintai tanah air dan bangsanya yang elok dan teramat kaya. Tapi,sebagai muslim, harus dengan asas yang benar, dan tujuan utama yang akan dinilai oleh Allah. Ia mencontohkan betapa banyak, bangsa yang dicintai dan diagungkan kemudian, menjajah bangsa lain. Ia kemudian melanjutkan, “inilah bahayanya, apabila kita ‘menghamba’ dan ‘membudak’ kepada ‘Ibu-dewi yang menjadi tanah air kita karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya, karena ‘airnya yang kita minum’ atau nasinya yang kita makan.”

Karena menurut Haji Agus Salim, janganlah kita mencintai karena sifat duniawi. Ia mengingatkan, “ atas dasar pehubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka, tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.” Ia kemudian melanjutkan, “ maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga cinta tanah air, mesti kita menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak (kebenaran), keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahuwa Ta’ala. ” Artinya kita sebagai muslim, mencintai tanah air ini, tidak melebihi cinta dan cita kita pada Allah. Dan Allah telah menentukan kadarnya. Bagaimana kadarnya?

Haji Agus Salim mencontohkan kadar cinta Nabi Ibrahim pada tanah airnya. Sebagai mana ia kutip surat Ibrahim ayat ke 37.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Ia menerangkan bahwa, bahwa men-tanah air-kan semata karena untuk menyembah Allah. “Hanyalah akan tempat untuk menyembah Allah semata-mata”, tulisnya.

Saya yakin, sebagaimana Haji Agus Salim juga yakin pada Soekarno, bahwa kita sama-sama mencintai tanah air dan bangsa ini. Tapi ada perbedaan yang mendasar.

“Sama Haluan : Cinta bangsa dan tanah air. Sama tujuan : Kemuliaan Bangsa dan Tanah air. Tapi berlainan asas dan niat, “ tandas Haji Agus salim. “Asas Kita agama, yaitu Islam. Niat kita Lillahi Ta’aala, ” Lanjutnya.

Maka sebagai seorang muslim, kita mencintai tanah air ini karena Allah. Semata agar menyembah Allah.Tidak menyembah bangsa dan tanah air ini. Apa yang Allah telah gariskan dan tentukan, itulah yang kita jalankan di tanah air kita ini. Toh semata-mata agar tanah air ini mendapat kemuliaan. Kemuliaan dengan ridho Allah.

Itulah kadar cinta bangsa dan tanah air ini untuk seorang muslim. Maka apabila ada teman-teman kita, yang menolak untuk melakukan upacara bendera, menyiarkan lagu kebangsaan, janganlah dituding sebagai pengkhianat atau berbuat makar. Bagi seorang muslim, ia mencintai tanah air dan bangsanya bukan diukur dari upacara bendera, atau menyiarkan lagu kebangsaan. Bukan dari kebendaan atau simbolik semata. Tapi bagaimana di tanah air tersebut, ia menyembah Allah semata. Bagaimana usahanya ditanah air tersebut menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai yang di tuntunkan oleh Allah.

Tidakkah lebih baik kita tudingkan kata pengkhianat bagi para wakil rakyat yang mengkhianati rakyatnya sendiri? Bagi para pejabat yang menjual aset dan harta bangsanya sendiri pada pihak asing? Bagi para pimpinan yang menipu bangsanya sendiri? Mereka bisa berupacara dan menyanyi dengan baik, tapi tidak menegakkan kebenaran dan keadilan? Wallahualam.

[1] http://news.okezone.com/read/2011/06/13/340/467589/sd-di-solo-juga-tolak-hormat-bendera

[2] http://www.detiknews.com/read/2011/06/09/105609/1656496/10/sebuah-radio-tolak-putar-indonesia-raya-karena-tak-sesuai-syariat

[3] Kumpulan tulisan Haji Agus Salim, tema cinta bangsa dan tanah air dalam 100 Tahun Haji Agus Salim. 1996. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Friday, April 22, 2011

Perhatian Kartini Pada Seorang Pemuda

21 April kemarin, bangsa ini kembali memperingati Hari Kartini. Hari yang ditujukan sebagai penghormatan terhadap tokoh bernama Kartini. Semua orang rasanya tahu, Kartini dikenang sebagai sosok wanita yang memberi perhatian terhadap wanita di Indonesia. Namun sedikit dari kita tahu bahwa Kartini, lebih seratus tahun yang lalu pernah memberikan perhatian pada seorang pemuda. Pemuda itu bernama Masyudul Haq. Lahir 18 Oktober 1884 di Sumatera Barat, ia lebih muda lima tahun dari Raden Ajeng Kartini. Masyudul adalah anak di seorang hoofdjaksa Riau.

Saat sekolah di European Lagere School (ELS), sekolah yang biasanya hanya untuk anak eropa, Masyudul dikenal anak yang brilian, terlebih dalam pelajaran bahasa Belanda. Oleh karena itu, seorang gurunya berkebangsaan Belanda bernama Brouwer, meminta Masyudul tinggal di rumahnya, agar bisa memberinya bimbingan lebih. Namun ayahnya hanya mengizinkan Masyudul sesekali tinggal dirumah gurunya tersebut. Kelak inilah yang menggemblengnya hingga ia tidak minder terhadap orang bangsa lain dan punya kepercayaan diri yang tinggi. Lulus dari ELS, ia melanjutkan ke sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) di Jakarta. Lagi-lagi ia tinggal bersama seorang Belanda, bernama Koks. Di Sekolah ini, ia menjadi sedikit dari anak pribumi yang bersekolah di sana. Saat lulus, ia menjadi juara pertama dari HBS, tidak hanya HBS sekolahnya saja, tetapi tiga HBS, yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya. Mungkin jika diibaratkan, ia adalah juara nasional seluruh sekolah di Hindia Belanda saat itu. Prestasi pemuda ini menjadi tersebar ke seluruh nusantara saat itu. Kabar juara itu sampai juga ke Kartini. Apalagi setelah ia tahu bahwa pemuda tersebut ingin melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda, namun tak mampu melanjutkannya. Karena tidak ada biaya.

Ada baiknya kita ketahui, bahwa Kartini sejak lama ingin mendapat pendidikan tambahan di Belanda. Berkat bantuan teman-temannya berkebangsaan Belanda, pemerintah Hindia Belanda saat itu menyetujui permohonannya. Maka pada tanggal 7 Juni 1903, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan yang mengabulkan permohonannya dan menanggung seluruh biaya sebesar 4800 gulden. Impian Kartini akhirnya terkabul. Namun takdir berkata lain. Kartini tidak diizinkan orang tuanya untuk bersekolah jauh. Dan Dalam waktu dekat ia akan memasuki jenjang pernikahan. Maka ia tahu bagaimana rasanya bagi seorang Masyudul Haq, agar bisa melanjutkan sekolahnya di Belanda. Akhirnya Kartini berinisiatif menghubungi kenalannya, Ny. Abendanon, seorang istri pejabat tinggi pendidikan di Belanda. Ia menulis surat kepada Ny. Abendanon di tahun yang sama, 1903.

Kartini menulis, "Saya punya permohonan yang penting sekali untuk Nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditujukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya?" Besar keinginan Kartini agar Masyudul berbahagia. Hal itu dibuktikan dalam kalimat di surat tersebut, " Kami tertarik sekali pada seorang anak muda, kami inign melihat ia dikaruniai bahagia. Anak muda itu ingin sekali pergi ke negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali keadaan keuangannya tidak memungkinkan."

Kartini mengajukan sebuah upaya, yang serupa dengannya, yaitu agar pemuda itu memperoleh bantuan yang sama, seperti yang pernah pemerintah Hindia Belanda kabulkan padanya. Kartini menulis, "Ketika kami mendengar tentang dia dan cita-citanya, muncul keinginan tak terbendung untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan bebannya. Teringat kami pada SK Gubermen tetanggal 7 Juni 1903.....".

Oleh karena Kartini tidak dapat menerima bantuan tersebut, ia ingin agar Masyudul, -walaupun tak mengenal Kartini- yang menerimanya. Kartini bertanya dalam suratnya pada Ny. Abendanon, "Apakah tak mungkin orang lain menerima manfaatnya?" Begitu besar keinginan Kartini membantu Masyudul, hingga ia terus membujuk dalam suratnya, " Berikan kami rasa bahagia, dengan membahagiakan orang lain yang menerima manfaatnya." Berpuitis pula Kartini dalam surat itu, " Wahai, jangan biarkan jiwa hidup yang muda serta indah itu mati di kuncup!"

Surat itu dikirmkan 24 Juli 1903, atau tepat sebulan setelah permohonan Kartini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda, saat pemuda tersebut berusia 19 tahun. Namun beasiswa tersebut tidak pernah sampai ke Masyudul. Takdir Allah berkata lain. Pemuda brilian yang saat lulus HBS menguasai bahasa Inggris, Belanda dan Perancis itu, menempuh jalan yang akan mengubah hidupnya. Ia, yang selama ini jauh dari Islam berubah menjadi mendekat, ketika ia bekerja untuk Konsul Belanda di Jedah. Sambil bekerja, ia juga belajar Islam pada seorang ulama besar minangkabau yang menetap di Jedah. Syekh Ahmad Khatib. Setelah sedari kecil mendapatkan pendidikan dari Belanda hingga dewasa, ia akhirnya mencoba untuk mengenal Islam. Syekh ahmad Khatib, seorang ulama yang juga guru dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis Masyudul dengan memuaskan. 17 tahun kemudian Masyudul mengenang kembali masa-masa pencarian Islam, yang ia tulis dalam surat kabar Bendera Islam tanggal 2 Mei 1927,

"Semasa itu keislamanku seolah-olah bawaan kebangsaan saja. Dan bukanlah menjadi agama keyakinan yang bersungguh-sungguh. " Dan setelah lima tahun di Saudi Arabia ia mengakui,"...dan bertambah sikap saya terhadap agama, daripada tidak percaya menjadi syak, dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah."

Pulang dari Jedah, di tanah air, Masyudul sempat mengajar dan mengelola sekolah selama 3 tahun dikampung halamannya, Sumatera Barat. Setelah itu ia mendapat tugas dari temannya, untuk memata-matai pergerakan yang sedang bangkit di Jawa. Pergerakan itu bernama Syarikat Islam. Namun sungguh lucu, ia malah berhenti menjadi mata-mata dan bergabung bersama Sarekat Islam (SI). Seperti yang pernah diakuinya, ini memang jalannya, " Itulah perkenalan saya dengan Sarekat Islam. Lagi-lagi jalan hidup saya memang menuju ke Agama Islam..."

Sarekat Islam adalah pergerakan islam dan nasional terbesar saat itu. Di pimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Seorang yang dianggap sebagai ratu adil, karena karismanya begitu besar. Ia sampai disebut, Raja Hindia Tanpa Mahkota. Bergabungnya Masyudul Haq ke Sarekat Islam menandai mereka menjadi generasi awal pergerakan Islam modern di Nusantara. Selanjutnya mereka menjadi motor kebangkitan Islam di Nusantara. Karena pada saat itu umat Islam dilanda rasa rendah diri. Beridentitas Muslim tapi malu mengakuinya. Hal ini terlebih karena Islam dianggap tidak modern. Namun keberadaannya bersama Tjokroaminoto di sana menjadi simbol kebangkitan Islam saat itu. Ia juga menjadi pengayom organisasi pemuda Islam, Jong Islamieten Bond (JIB). Organisasi yang menghasilkan generasi kedua pergerakan Islam moderen di Indonesia, seperti Muhammad Natsir, Moh. Roem, Kasman Singodimedjo dan lain-lain. Seperti diakui M. Natsir, Masyudul seperti pembimbing bagi mereka. Setiap kesulitan diadukan kepadanya.

Masyudul aktif dalam berbagai kegiatan politik. Ia duduk di Volksraad (semacam dewan rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda) mewakili SI. Ialah yang pertama kali berpidato menggunakan bahasa melayu di Volksraad, sebagai kritikan terhadap pemerintah kolonial yang tak pernah memperhatikan bangsa Indonesia. Itu pulalah pertama kali tercatat dalam sejarah, bahasa melayu dipakai dalam forum resmi dengan pemerintah kolonial.

Selama itu pula ia menjadi pemimpin dari beberapa media massa. Ia menjadi corong pergerakan Islam dan Indonesia melalui media. Ia membela pergerakan Islam melaui medianya. Ia pernah berpolemik dengan Dr. Soetomo yang memojokkan dirinya dan Sarekat Islam. Bahkan ia pernah berpolemik lewat tulisan dengan Soekarno, yang saat itu menjadi simbol kebangkitan nasionalisme. Dalam tulisannya tentang cinta bangsa dan tanah air di surat kabar Fadjar Asia, ia mengingatkan Soekarno, agar jangan sampai menghamba pada tanah air itu sendiri. Semua harus diniatkan karena Allah, bukan karena tanah airnya.

Meskipun begitu, ia dan Soekarno akhirnya bahu membahu dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi anggota panitia 9 yang menyiapkan pembukaan UUD Republik Indonesia. Setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. Ialah yang berkeliling ke Asia dan Afrika (terutama negara-negara Islam) untuk mencari dukungan atas kemerdekaan Indonesia. Berkat kemampuan bahasanya yang sangat bagus (ia menguasai paling tidak 7 bahasa) ia menjadi diplomat ulung Indonesia. Di akhir hayatnya ia menjadi Guest Lecture di Cornell University.

4 November 1954, ia wafat di usianya yang ke 70 tahun. Masyudul Haq, seorang pemuda yang pernah mendapat perhatian dan kepedulian dari R.A kartini, memang tak berhasil mengecap sekolah kedokteran di Belanda. Namun ia menulis catatan dalam lembar sejarah Indonesia. Ia akhirnya dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional RI. Namun bangsa ini tak mengenalnya dengan Masyudul Haq. Bangsa ini mengenalnya dengan nama panggilan oleh pembantunya, seorang Jawa, saat ia kecil. Ia dipanggil Gus. Kemudian lafal belanda memanggilnya dengan Agus (August). Ayahnya bernama Sutan Mohammad Salim. Sehingga ia akhinya dikenal kemudian dengan nama Haji Agus Salim.