Friday, April 22, 2011

Perhatian Kartini Pada Seorang Pemuda

21 April kemarin, bangsa ini kembali memperingati Hari Kartini. Hari yang ditujukan sebagai penghormatan terhadap tokoh bernama Kartini. Semua orang rasanya tahu, Kartini dikenang sebagai sosok wanita yang memberi perhatian terhadap wanita di Indonesia. Namun sedikit dari kita tahu bahwa Kartini, lebih seratus tahun yang lalu pernah memberikan perhatian pada seorang pemuda. Pemuda itu bernama Masyudul Haq. Lahir 18 Oktober 1884 di Sumatera Barat, ia lebih muda lima tahun dari Raden Ajeng Kartini. Masyudul adalah anak di seorang hoofdjaksa Riau.

Saat sekolah di European Lagere School (ELS), sekolah yang biasanya hanya untuk anak eropa, Masyudul dikenal anak yang brilian, terlebih dalam pelajaran bahasa Belanda. Oleh karena itu, seorang gurunya berkebangsaan Belanda bernama Brouwer, meminta Masyudul tinggal di rumahnya, agar bisa memberinya bimbingan lebih. Namun ayahnya hanya mengizinkan Masyudul sesekali tinggal dirumah gurunya tersebut. Kelak inilah yang menggemblengnya hingga ia tidak minder terhadap orang bangsa lain dan punya kepercayaan diri yang tinggi. Lulus dari ELS, ia melanjutkan ke sekolah menengah Hogere Burgerschool (HBS) di Jakarta. Lagi-lagi ia tinggal bersama seorang Belanda, bernama Koks. Di Sekolah ini, ia menjadi sedikit dari anak pribumi yang bersekolah di sana. Saat lulus, ia menjadi juara pertama dari HBS, tidak hanya HBS sekolahnya saja, tetapi tiga HBS, yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya. Mungkin jika diibaratkan, ia adalah juara nasional seluruh sekolah di Hindia Belanda saat itu. Prestasi pemuda ini menjadi tersebar ke seluruh nusantara saat itu. Kabar juara itu sampai juga ke Kartini. Apalagi setelah ia tahu bahwa pemuda tersebut ingin melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda, namun tak mampu melanjutkannya. Karena tidak ada biaya.

Ada baiknya kita ketahui, bahwa Kartini sejak lama ingin mendapat pendidikan tambahan di Belanda. Berkat bantuan teman-temannya berkebangsaan Belanda, pemerintah Hindia Belanda saat itu menyetujui permohonannya. Maka pada tanggal 7 Juni 1903, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan yang mengabulkan permohonannya dan menanggung seluruh biaya sebesar 4800 gulden. Impian Kartini akhirnya terkabul. Namun takdir berkata lain. Kartini tidak diizinkan orang tuanya untuk bersekolah jauh. Dan Dalam waktu dekat ia akan memasuki jenjang pernikahan. Maka ia tahu bagaimana rasanya bagi seorang Masyudul Haq, agar bisa melanjutkan sekolahnya di Belanda. Akhirnya Kartini berinisiatif menghubungi kenalannya, Ny. Abendanon, seorang istri pejabat tinggi pendidikan di Belanda. Ia menulis surat kepada Ny. Abendanon di tahun yang sama, 1903.

Kartini menulis, "Saya punya permohonan yang penting sekali untuk Nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditujukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya?" Besar keinginan Kartini agar Masyudul berbahagia. Hal itu dibuktikan dalam kalimat di surat tersebut, " Kami tertarik sekali pada seorang anak muda, kami inign melihat ia dikaruniai bahagia. Anak muda itu ingin sekali pergi ke negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali keadaan keuangannya tidak memungkinkan."

Kartini mengajukan sebuah upaya, yang serupa dengannya, yaitu agar pemuda itu memperoleh bantuan yang sama, seperti yang pernah pemerintah Hindia Belanda kabulkan padanya. Kartini menulis, "Ketika kami mendengar tentang dia dan cita-citanya, muncul keinginan tak terbendung untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan bebannya. Teringat kami pada SK Gubermen tetanggal 7 Juni 1903.....".

Oleh karena Kartini tidak dapat menerima bantuan tersebut, ia ingin agar Masyudul, -walaupun tak mengenal Kartini- yang menerimanya. Kartini bertanya dalam suratnya pada Ny. Abendanon, "Apakah tak mungkin orang lain menerima manfaatnya?" Begitu besar keinginan Kartini membantu Masyudul, hingga ia terus membujuk dalam suratnya, " Berikan kami rasa bahagia, dengan membahagiakan orang lain yang menerima manfaatnya." Berpuitis pula Kartini dalam surat itu, " Wahai, jangan biarkan jiwa hidup yang muda serta indah itu mati di kuncup!"

Surat itu dikirmkan 24 Juli 1903, atau tepat sebulan setelah permohonan Kartini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda, saat pemuda tersebut berusia 19 tahun. Namun beasiswa tersebut tidak pernah sampai ke Masyudul. Takdir Allah berkata lain. Pemuda brilian yang saat lulus HBS menguasai bahasa Inggris, Belanda dan Perancis itu, menempuh jalan yang akan mengubah hidupnya. Ia, yang selama ini jauh dari Islam berubah menjadi mendekat, ketika ia bekerja untuk Konsul Belanda di Jedah. Sambil bekerja, ia juga belajar Islam pada seorang ulama besar minangkabau yang menetap di Jedah. Syekh Ahmad Khatib. Setelah sedari kecil mendapatkan pendidikan dari Belanda hingga dewasa, ia akhirnya mencoba untuk mengenal Islam. Syekh ahmad Khatib, seorang ulama yang juga guru dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis Masyudul dengan memuaskan. 17 tahun kemudian Masyudul mengenang kembali masa-masa pencarian Islam, yang ia tulis dalam surat kabar Bendera Islam tanggal 2 Mei 1927,

"Semasa itu keislamanku seolah-olah bawaan kebangsaan saja. Dan bukanlah menjadi agama keyakinan yang bersungguh-sungguh. " Dan setelah lima tahun di Saudi Arabia ia mengakui,"...dan bertambah sikap saya terhadap agama, daripada tidak percaya menjadi syak, dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah."

Pulang dari Jedah, di tanah air, Masyudul sempat mengajar dan mengelola sekolah selama 3 tahun dikampung halamannya, Sumatera Barat. Setelah itu ia mendapat tugas dari temannya, untuk memata-matai pergerakan yang sedang bangkit di Jawa. Pergerakan itu bernama Syarikat Islam. Namun sungguh lucu, ia malah berhenti menjadi mata-mata dan bergabung bersama Sarekat Islam (SI). Seperti yang pernah diakuinya, ini memang jalannya, " Itulah perkenalan saya dengan Sarekat Islam. Lagi-lagi jalan hidup saya memang menuju ke Agama Islam..."

Sarekat Islam adalah pergerakan islam dan nasional terbesar saat itu. Di pimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Seorang yang dianggap sebagai ratu adil, karena karismanya begitu besar. Ia sampai disebut, Raja Hindia Tanpa Mahkota. Bergabungnya Masyudul Haq ke Sarekat Islam menandai mereka menjadi generasi awal pergerakan Islam modern di Nusantara. Selanjutnya mereka menjadi motor kebangkitan Islam di Nusantara. Karena pada saat itu umat Islam dilanda rasa rendah diri. Beridentitas Muslim tapi malu mengakuinya. Hal ini terlebih karena Islam dianggap tidak modern. Namun keberadaannya bersama Tjokroaminoto di sana menjadi simbol kebangkitan Islam saat itu. Ia juga menjadi pengayom organisasi pemuda Islam, Jong Islamieten Bond (JIB). Organisasi yang menghasilkan generasi kedua pergerakan Islam moderen di Indonesia, seperti Muhammad Natsir, Moh. Roem, Kasman Singodimedjo dan lain-lain. Seperti diakui M. Natsir, Masyudul seperti pembimbing bagi mereka. Setiap kesulitan diadukan kepadanya.

Masyudul aktif dalam berbagai kegiatan politik. Ia duduk di Volksraad (semacam dewan rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda) mewakili SI. Ialah yang pertama kali berpidato menggunakan bahasa melayu di Volksraad, sebagai kritikan terhadap pemerintah kolonial yang tak pernah memperhatikan bangsa Indonesia. Itu pulalah pertama kali tercatat dalam sejarah, bahasa melayu dipakai dalam forum resmi dengan pemerintah kolonial.

Selama itu pula ia menjadi pemimpin dari beberapa media massa. Ia menjadi corong pergerakan Islam dan Indonesia melalui media. Ia membela pergerakan Islam melaui medianya. Ia pernah berpolemik dengan Dr. Soetomo yang memojokkan dirinya dan Sarekat Islam. Bahkan ia pernah berpolemik lewat tulisan dengan Soekarno, yang saat itu menjadi simbol kebangkitan nasionalisme. Dalam tulisannya tentang cinta bangsa dan tanah air di surat kabar Fadjar Asia, ia mengingatkan Soekarno, agar jangan sampai menghamba pada tanah air itu sendiri. Semua harus diniatkan karena Allah, bukan karena tanah airnya.

Meskipun begitu, ia dan Soekarno akhirnya bahu membahu dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi anggota panitia 9 yang menyiapkan pembukaan UUD Republik Indonesia. Setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diangkat menjadi Menteri Luar Negeri. Ialah yang berkeliling ke Asia dan Afrika (terutama negara-negara Islam) untuk mencari dukungan atas kemerdekaan Indonesia. Berkat kemampuan bahasanya yang sangat bagus (ia menguasai paling tidak 7 bahasa) ia menjadi diplomat ulung Indonesia. Di akhir hayatnya ia menjadi Guest Lecture di Cornell University.

4 November 1954, ia wafat di usianya yang ke 70 tahun. Masyudul Haq, seorang pemuda yang pernah mendapat perhatian dan kepedulian dari R.A kartini, memang tak berhasil mengecap sekolah kedokteran di Belanda. Namun ia menulis catatan dalam lembar sejarah Indonesia. Ia akhirnya dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional RI. Namun bangsa ini tak mengenalnya dengan Masyudul Haq. Bangsa ini mengenalnya dengan nama panggilan oleh pembantunya, seorang Jawa, saat ia kecil. Ia dipanggil Gus. Kemudian lafal belanda memanggilnya dengan Agus (August). Ayahnya bernama Sutan Mohammad Salim. Sehingga ia akhinya dikenal kemudian dengan nama Haji Agus Salim.

Tuesday, April 19, 2011

Kiri atau kanan?

Bukan hal yang aneh, banyak pemuda bangsa ini mengenakan kaos bergambar Che Guevara. Mereka menganggap diri mereka “orang kiri”. Tokoh revolusi Kuba tersebut dianggap mewakili akan gerakan perlawanan mereka terhadap ketidakadilan. Kiri, memang identik dengan gerakan perlawan terhadap ketidakadilan pihak penguasa, melawan gelombang kapitalisme. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun di sebut kiri sebagai gerakan baru dalam membela kepentingan rakyat. Hasan Hanafi bahkan menulis karya terkenalnya, Islam Kiri. Karya yang identik dengan semangat perlawanan dan sikap kritis. Wajar jika gerakan kiri ini menjadi gerakan yang tumbuh subur di kalangan pemuda. Termasuk pemuda Islam.

Sejatinya penyebutan kiri ini berawal dari pembedaan kelompok di Majelis Nasional Perancis 1789, pada masa awal revolusi Perancis. Wakil yang mendukung perubahan radikal menuju tatanan sosial yang lebih setara berada di sayap sebelah kiri ruangan. Sedangkan yang membela status quo tradisional berada di sayap sebelah kanan ruangan. Sedangkan deputi perancis yang mendukung perubahan moderat duduk di tengah ruangan. Pembagian atau pembedaan ini terus berlanjut menempel pada gerakan-gerakan yang radikal atau progresif, termasuk gerakan marxis.

Ternyata bukan pengertian dalam politik saja yang membagi antara kiri dan kanan. Islam memiliki juga pembedaan golongan kiri dan kanan. Dalam surat Al Balad ayat 10 – 20 dijelaskan pembagian golongan kiri dan kanan menurut Islam.

” Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (90:10-11)

Allah telah memberikan pilhan pada manusia untuk menempuh sebuah jalan dalam hidup ini. Yang mudah dan yang sulit.

“ Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, atau (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang tertanah. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (90 : 12-18)

Begitulah menurut Islam orang pada golongan kanan. Menghapuskan perbudakan, saling membantu sesama manusia, menasehati, dan menghilangkan kesenjangan dalam hidup ini. Adapun disebutkan termasuk orang golongan kiri adalah,

“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (90 : 19-20)

Jelaslah dalam Islam orang-orang kiri dan kanan tidak sama pengertiannya dengan pengertian politik yang berasal dari eropa. Jika kita memang mengaku muslim, pastilah kita akan memilih jalan yang kanan. Jalan yang memang tidak mudah, menolong orang lain, menghapuskan perbudakan, menghapuskan kesenjangan ekonomi dan saling menasehati untuk berkasih sayang dan bersabar. Jalan yang memberi makan orang miskin yang tertanah. Tertanah, maksud Buya Hamka adalah melarat. Hingga kadang rumah pun beralaskan tanah. Inilah yang wajib kita beri makan (bantu). Tidak seperti pemerintah yang menggunakan angka-angka sebagai indikator kemiskinan, Islam melihat realitanya. Betapa sekarang penilaian kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah memakai GDP, seperti tidak realistis. Pemerintah berkata, angka kemiskinan turun, padahal kita melihat semakin hari semakin sulit rakyat kita, semakin banyak yang kelaparan. Jalan yang sukar tapi mulia ini sebenarnya ada kesamaan dengan yang ingin diperjuangkan teman-teman muslim yang mengaku “kiri”. Sama-sama ingin menghapus kesenjangan sosial dan menghapus perbudakan. Menurut Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar-nya, dalam bahasa arab, perbudakan disebut Raqabatin. Asal katanya berarti leher. Seseorang yang telah jatuh dalam perbudakan, samalah artinya dengan yang telah terbelenggu lehernya. Jika kita merenungi lebih lanjut dapat dilihat pula sebenarnya saat ini bangsa kita pun telah terbelenggu. Terbelenggu oleh system ekonomi yang liberal, hingga bangsanya pun terbelenggu oleh hutang dengan jumlah luar biasa. Terbelenggu hasil alamnya oleh asing, sehingga rakyatnya hanya sedikit merasakan manfaatnya.

Jika memang jalan ini memperjuangkan hal yang sama bahkan lebih mulia,-karena diingatkan untuk saling menasehati, mengingatkan sesame manusia dan saling berkasih sayang- kenapa harus memilih jalan lain? Jalan yang memaknai manusia hanya sebagai faktor produksi semata, yang berlandaskan materialisme semata.

Jika memang muslim, mengapa harus menambahkan muslim (Islam) kiri? Mungkin ada yang akan menjawab, jalan kami mengkritisi pemerintah yang zalim. Ketahuilah, dalam Islam, itu adalah sebuah jihad. Bukankah, ketika Rasulullah saw ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau bersabda, "(yaitu) mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim." (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, dan An-Nasai.)? Mungkin ada yang menjawab, kiri adalah ideologi. Islam pun menjadi sebuah ideologi. Muhammad Natsir (mantan perdana menteri Indonensia era 50an) menulis dalam Capita Selecta-nya, "Islam adalah satu falsafah hidup, satu levensfilosofie, satu ideologi, satu sistem perikehidupan.” Lalu mengapa memilih jalan lain? Dalam Islamlah perjuangan tidak hanya untuk dunia, tapi juga untuk akhirat. Semoga kita bukan termasuk golongan kiri. Golongan yang menolak ayat-ayat Allah dan terkunci dalam neraka. Wallahu alam.