Thursday, March 10, 2011

Pendidikan Kita


Pagi ini saya kembali melewati sebuah SMP di bilangan Tebet, jakarta selatan. Sebuah SMP yang konon paling digemari seantero jakarta, favorit, bertaraf internasional. Sebuah sekolah yang menyisakan kenangan 15 tahun yang lalu. Sekarang ia menjadi salah satu sumber macet kalau pagi hari. Di depan sekolah, sekilas saya lihat, kalimat yang berhubungan dengan standar internasional mereka. Sekolah SMP standar internasional? Sekolah lain ada yang rintisan internasional, lalu yang tidak? apa berarti mutunya jelek? Hal ini sudah menganggu pikiran saya sejak lama? ada apa dengan dunia pendidikan kita saat ini? semua ingin serba internasional, seakan sekolah saat ini punya kastanya masing-masing. Tanpa sadar, negara ini mengkastakan pendidikannya. Ada yang internasional (pintar & mahal), nasioanl (agak pintar & agak mahal) tak ada standarnya (seadanya & terjangkau). Itukah yang ingin dicapai? Internasional = pintar = kaya. anda boleh bolak-balik urutan tadi sesukanya. Tapi hasilnya tetap sama. apakah lawannya : lokal = bodo = miskin? silakan cari sendiri.
Tapi bukan itu yang saya mau kemukakan. Tampaknya bangsa ini melalui pemerintahnya, telah salah kaprah mengurus pendidikannya. Mengkastakan sekolah adalah salah satu jalan menyingkirkan masyarakat tidak mampu (baca : miskin) semakin terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan. Jalan lain yang ditempuh pemerintah adalah dengan mem-privatisasi-kan sejumlah perguruan tinggi negeri. Coba keliling jawa, dan cari berapa bayaran uang kuliah + uang masuk masuk PTN seperti UI, ITB dan UGM. Bandingkan dengan gaji buruh pabrik di tempat yang sama. Sanggupkah mereka membiayai kuliah anaknya? Konstitusi kita memang mengamanahkan untuk menyisihkan 20% APBN untuk pendidikan. Tapi ini hanya teori semata. Prakteknya jauh. Sekolah dasar negeri di beberapa tempat di Jakarta memang ada yang menggratiskan SPP nya. Tapi mereka lupa untuk menggratiskan uang buku dan lainnya.

Sesungguhnya para founding fathers bangsa ini telah mengajarkan sesuatu yang amat bernilai. Haji Agus Salim, sepulang dari Jedah, setelah bekerja sbg konsul Belanda, sempat bekerja sebentar lalu membuka sekolah dan mengajar di Sumatera Barat. Tan Malaka, sebelum menjadi buronan pemerintah kolonial, mengajar di Sumatera Utara. Mohammad Natsir, mantan Perdana menteri Indonesia, pemimpin Masyumi, partai Islam terbesar di Indonesia, malah berakar dari dunia ajar. Dengan pendidikan Islam-nya ia mendirikan pusat pengajaran di Bandung, mengajarkan Islam dan mempelopori paduan ilmu Agama dan pengetahuan non agama. Atau sebut juga Soewardi Soeryaningrat alias Ki hajar Dewantara dengan Taman Siswanya. Bahkan Mohammad Hatta sewaktu menjadi buangan, ia mengajar kepada sesama orang-buangan. Waktu itu ia mengajar filsafat yunani dan ekonomi.
Ketika pemerintah kolonial memeberlakukan ordonansi sekolah liar, segenap elemen pendidikan melakukan perlawanan. Mereka menganggap semua berhak untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan. Tanpa harus dapat restu Belanda untuk mendirikan sekolah. Mereka semua mengajar bukan untuk uang, itu pasti. Namun yang lebih penting adalah, mereka mengajar karena menganggap semua berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Miskin atau kaya, sama saja. Semua dilahirkan untuk mendapatkan pendidikan, karena dengan pendidikanlah bangsa ini dapat maju. Sekarang, jika untuk sekolah sajabagi orang yang tak mampu makin sulit, , maka, bagaimana jadinya bangsa ini kedepannya? Apakah pengetahuan akan di miliki oleh yang mampu saja? Apa orang miskin dilarang pintar? Sedikit pertanyaan oleh saya, apakah Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono yang terhormat pernah mengajar? apakah para pemimpin partai negeri ini pernah mengajar? Bapak-bapak menteri? Jika belum, sudilah mereka mengajar di negeri ini, agar tahu pentingnya pendidikan untuk semua kalangan.


foto : Koleksi Antara