Tuesday, February 09, 2010

Pluralisme, sebuah uraian singkat

Belakangan ini terdengar semakin keras gaung dari kata pluralisme. Sepertinya pluralisme menjadi “pedoman” baru dalam berwarga negara yang baik. Tidak mendukung pluralisme, berarti tidak menghargai keragaman. Salah satu gaung pluralisme yang kuat adalah pluralisme agama. Sebagian pendapat menerima dan mendukung ide pluralisme agama dan sebagian lagi menolaknya. Sebenarnya makna pluralisme agamapun masih beragam. Banyak orang dibingungkan dengan makna pluralisme agama. Tidak jelas mana yang pasti. Menurut KBBI, pluralisme adalah, “keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya);. kebudayaan berbagai kebudayaan yg berbeda-beda dl suatu masyarakat.” Sedangkan menurut ensiklopedi atau kamus, “Religious pluralism (rel. comparative religion) is a loosely defined expression concerning acceptance of different religions, and is used in a number of related ways:

- As the name of the worldview according to which one's religion is not the sole and exclusive source of truth, and thus that at least some truths and true values exist in other religions.
- As acceptance of the concept that two or more religions with mutually exclusive truth claims are equally valid. This posture often emphasizes religion's common aspects.
- Sometimes as a synonym for ecumenism, i.e., the promotion of some level of unity, co-operation, and improved understanding between different religions or different denominations within a single religion.
- And as a synonym for religious tolerance, which is a condition of harmonious co-existence between adherents of different religions or religious denominations.

Jelas makna pluralisme agama adalah kata-kata yang beragam dan bersayap. Kita dapat simpulkan pluralisme dalam beragam artinya, ialah : A. Mengakui keragaman agama dan budaya dalam masyarakat. B. menganggap semua agama sama benarnya. C. Menolak klaim kebenaran setiap agama. Pada poin A, mungkin semua umat beragama bisa menerimanya. Tapi pada poin B, dan C jelas bermasalah. Bagaimana mungkin Menganggap semua agama sama benarnya? Kita memilih memeluk sebuah agama jelas karena menganggap agama yang kita pilih benar, konsekuensinya agama lain jelas salah (minimal secara teologis dan konsep ketuhanan). Poin C pun tak masuk akal. Jika kita tak bisa mengklaim agama kita paling benar, lalu agama kita (mungkin) bisa salah. Berarti agama kita agama yang tidak sempurna? Apakah Tuhan menurunkan bimbingan pada umatnya dengan tidak sempurna?

Baiknya kita tak hanya melihat makna pluralisme itu, tapi juga bagaimana teori pluralisme agama menurut para pengusungnya? Salah satunya adalah John Hick, yang mengusung God-centredness, yaitu sebuah konsep yang menyatakan bahwa setiap agama menyembah Tuhan yang sama. Dia melihat dari posisi netral agama. Dalam memandang agama – termasuk konsep Tuhan masing-masing agama – Hick berdiri pada posisi netral agama. Ia tidak berdiri pasa posisi Islam, Kristen, Hindu, Yahudi, Budha dan sebagainya. Ia berdiri pada posisi di luar semua agama. Inti teorinya tetaplah sama, agama boleh berbeda, tapi Tuhannya tetap satu. Ini jelas sebuah pembodohan. Bagaimana mungkin agama Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dll memiliki Tuhan yang sama. Setiap agama memiliki konsep ketuhanaan yang berbeda-beda, begitu pula definisi Tuhannya. Islam dalam konsep ketuhanannya adalah Tauhid. Kristen dengan Trinitasnya, lain pula Budha dan Hindu. Dalam Islam jelas, tiada Tuhan selain Allah. Jelas Hicks tidak menganggap ajaran agama lain. Telologi Dalam Kristen misalnya, keselamatan adalah kebenaran Tuhan di dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib diterima melalui iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Dalam Islam, keselamatan adalah sinergi antara Iman dan amal manusia (QS.AL Baqarah : 25).

Tokoh pluralisme lainnya adalah Diana L Eck untuk melebur batas agama-agama (ekslusivisme). Dalam bukunya An Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolute hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Sekali lagi, dalam beragama pun semuanya adalah relatif. Kata-kata ini seringkali digaungkan oleh pengusung pluralisme. Bagaimana mungkin Tuhan menurunkan wahyu-Nya yang bersifat relatif? Apakah Tuhan main-main dalam menurunkan wahyunya? Padahal Tuhan menurunkan wahyu untuk membimbing manusia. Pandangan relatif ini terjadi karena para pengusung ide pluralisme agama itu melihat wahyu Tuhan bukan sebagai wahyu yang suci, tapi produk atau bagian dari konstruksi sosial. Atau produk budaya.

MUI sudah mengeluarkan Fatwa haram paham Pluralisme agama ini. Lagipula Paham pluralisme agama bukan saja ditentang umat Islam tapi juga agama lain, seperti Katolik. Tahun 2000, Vatikan juga mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus yang menolak paham Pluralisme Agama. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa ‘kebenaran penuh’ (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.

Lalu jika paham pluralisme agama ini mempunyai banyak makna dan sebagian maknanya terdapat masalah bagi umat beragama, lalu kenapa dipakai dalam masyarakat kita. Bukankah ini akan menambah kerancuan? Niatnya mungkin baik, agar terjadi perdamaian (agama) dan pengertian dalam masyarakat. Tapi caranya jelas salah. Ini hanya menambah kerancuan bagi umat beragama. Umat beragama memiliki aturan dan konsep ketuhanan masing-masing. Dan masing-masing berhak mengklaim agamanya benar, hanya saja tidak boleh memaksakannya pada agama lain. Anehnya, kenapa kita tidak menggunakan kata toleransi umat beragama? Tidak menggunak Bhineka Tunggal Ika dalam bernegara? Sungguh aneh jika memaksakan istilah yang memilik banyak makna dan bermasalah.

Pluralisme dan Islam

Lalu bagaimana dengan Umat Islam? Apakah Islam harus menyesuaikan dengan Pluralisme? Apa kita harus menjadi Umat Islam pendukung Pluralisme? Islam adalah agama yang paripurna. Sudah sempurna. Seperti firman Allah SWT,dalam Al Maidah ayat 3, “ada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Tidak perlu lagi dibumbui dengan Pluralisme.

Dalam Islam dikenal konsep Tasamuh (toleransi). itu menjadi rambu-rambu bagi umat Islam dalam berhubungan dengan umat yang berbeda agama. Seperti dalam surat Al Baqarah ayat 256. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”; atau yang sangat jelas surah Al Kafirun, yang salah satu ayatnya berbunyi, “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

Atau surat Al Mumtahanah, ayat 8, yang berbunyi, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Lagipula Risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sudah tumbuh ditengah-tengah umat yang beragam ras dan agama (memeluk Kristen, Yahudi, dan Majusi). dan memang tidak memerlukan lagi doktrin Pluralisme agama.

Sebaiknya menjadi umat Islam kita tak hanya harus cerdas tapi juga kritis dalam menerima ide-ide yang bertaburan di masyarakat. Apa yang sering di dengung-dengungkan oleh media belum tentu baik dan benar.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah kenapa masih saja konsep pluralisme agama didengungkan dan cenderung seperti di paksakan pada umat beragama di Indonesia, terutama umat Islam? Seakan-akan, jika tidak menganut paham pluralisme berarti tidak toleran pada umat lain…

Lonceng Kematian perjanjian AFTA-Cina

Malam tahun baru 2010 mungkin malam yang sangat meriah bagi sebagian rakyat Indonesia. Malam penuh suka cita. Tapi bagi sebagian yang lain, khususnya bagi pelaku usaha yang berkaitan dengan produksi di Indonesia, hal ini menjadi mimpi buruk. Begitu trompet tahun baru dibunyikan, maka lonceng kematian bagi sebagian industri di Indonesia terutama industri kecil.

Mulai 1 Januari 2010 Indonesia secara resmi memasuki era perdagangan bebas dengan Negara Asean dan cina atau lazimnya disebut China-AFTA (China – ASEAN Free trade Area). Alasan yang selalu di dengungkan pemerintah adalah agar kualitas produk Indonesia semakin meningkat jika ikut dalam perdagangan bebas China – AFTA ini. Dengan liberalisasi perdagangan ini, produk-produk Indonesia bebas bersaing dengan produk cina dan Negara asean lainnya. Sehingga memungkinkan penambahan pasar ekspor bagi Indonesia. Sesungguhnya ini hanyalah kata-kata pemanis dari pemerintah saja.

Kenyataannya, ini mimpi buruk, bukan hanya pelaku usaha di Indonesia, tapi mungkin sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk yang paling rentan adalah kaum pekerja. Kenapa menjadi mimpi buruk bagi rakyat Indonesia? Bukankah produk kita tidak akan dikenakan lagi pajak jika kita menjual di negeri tetangga atau cina? Sehingga nilai jualnya lebih murah disana dan akhirnya akan meningkatkan ekspor kita? Ini adalah teori idealnya. Tapi fakta berbicara sebaliknya. Indonesialah yang akan diserbu produk asing terutama dari Cina. Sekitar 8000 kategori produk dari Cina akan menyerbu Indonesia tanpa penghalang apa pun.1 Sebelum di berlakukannya China – AFTA-pun produk Cina sudah menguasai pasar-pasar di Indonesia, terutama tekstil. Karena produk mereka yang massal, dengan kualitas sama tapi harga lebih murah. Apalagi dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas ini. Barang impor dari mereka tak akan di batasi dengan tariff (seperti pajak) lagi. Sehingga harganya lebih murah. Ibaratnya kemarin pagar masih ditutup sedikit, sekarang pagarnya sudah dibobol. Jelas produk-produk Indonesia tak laku lagi. Pengusaha-pengusaha lokal melalui asosiasinya sudah menjerit meminta pemerintah untuk melakukan sesuatu, termasuk melindungi usaha mereka2. Ambruknya usaha mereka akan diikuti dengan PHK besar-besaran. Ini sepertinya tinggal menunggu waktu.

Pemerintah kita sepertinya hidup dalam impiannya sendiri. Dengan mengikuti pasar bebas, kita siap menjadi negara yang lebih maju dengan eskpor yang lebih tinggi. Mereka lupa untuk terbangun dari mimpinya. Indonesia dengan mengikuti kesepakatan perdagangan bebas, sama saja dengan melemparkan rakyat dan industri dalam negerinya ke jurang. Keikutsertaaan Indonesia dalam perdangan bebas ibarat, kita mengikutsertakan Tim sekelas RT kita untuk ikut serta dalam kompetisi sepak bola liga inggris, tanpa persiapan yang matang. Alhasil kita hanya menjadi bulan-bulanan saja. Industri kita belum siap untuk bersaing dengan pasar Negara lain. Bukan soal kualitasnya, mungkin sebagian produk memiliki kualitas yang lebih dibanding negara lain. Tapi soal dukungan dari pemerintah itu sendiri. Infrastruktur pendukung yang masih bobrok seperti jalanan yang bagus, sistem birokrasi dan perizinan yang rumit, pungli yang masih merajalela. Hal – hal ini jelas akan menaikkan biaya produksi industri kita. Sehingga dari faktor harga, kita tak akan bisa bersaing. Contohnya adalah ongkos angkut kontainer dari Jakarta ke Batam hamper dua kali lipat dari ongkos angkut kontainer dengan ukuran yang sama, dari Singapura ke California. Atau jeruk impor bisa jauh lebih murah dibanding jeruk dari Brastagi karena membutuhkan biaya yang sangat mahal. 3 Harapan seiring berlakunya pasar bebas yang lain, adalah masuknya investasi asing yang akan diikuti, misalnya dengan pendirian pabrik-pabrik di Indonesia. Namun ini akan sulit karena merajalelanya pungli dan korupsi serta birokrasi yang berbelit belit. Mereka lebih baik mendirikan pabriknya dinegara dengan iklim invstasi yang nyaman seperti Vietnam lalu menjual barangnya ke Indonesia.

Lalu bagaimana dengan ekspor? Apakah kita mampu menembus pasar mereka? Jika di dalam negeri saja kita sudah tak mampu bersaing karena harga, apalagi diluar negeri. Belum lagi taktik negara lain yang menghalangi produk asing dengan kebijakan seperti penghalang nontarif (non tariff barrier). Contohnya dengan standar kualitas produk yang tinggi. Mereka menentukan sendiri standar yang mereka inginkan. Sulit untuk bisa menciptakan produk yang memenuhi standar negara lain, karena industri kita sulit untuk maju karena minimnya faktor pendukung dari pemerintah. Banyak hal–hal lain yang menunjukkan ketidaksiapan negara kita menuju pasar bebas. Dan pemerintah tampaknya menutup mata dan terus bersikukuh untuk terus memberlakukannya.

Diterapkannya konsep perdagangan bebas awalnya merupakan konsep penyelamatan ekonomi oleh IMF dan Bank Dunia yang menjadi bagian dari peminjaman bantuan kepada Negara-negara berkembang. IMF dan atau Bank Dunia memberikan pinjaman namun harus disertai aturan dan kontrol oleh IMF untuk mereformasi ekonomi Negara peminjam, yang disebut Structural Adjustment Program (SAP). Reformasi ekonomi antara lain mencakup, (1). pengetatan fiskal; (2) mengurangi alokasi dana pemerintah untuk sektor publik, seperti kesehatan, pendidikan; (3) liberalisasi nilai suku bunga; (4) deregulasi ; (5) privatisasi dan liberalisasi perdagangan, dan pembangungan infrastruktur, untuk dialihkan ke sektor yang lebih berorientasi profit. Oleh Ekonom John Williamson, reformasi ekonomi ini ia sebut Wahsington Consesnsus. Disebut Washington Consensus karena perumusannya melibatkan politisi Kongres, teknokrat dan birokrat, lembaga finansial dan agen ekonomi pemerintah AS yang semuanya berada di Washington. AKhirnya rumusan ini menjadi doktrin yang dipakai sebagai formulasi landasan kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan Organisasi perdagangan Dunia (WTO).4

Konsep perdangan dan pasar bebas sendiri sudah menjadi sasaran kritik habis-habisan oleh ekonom-eknonom dunia. Salah satunya adalah Joseph E. Stiglitz, pemenang nobel ekonomi, yang mengkritik dalam bukunya Making Globalization Works. Menurutnya, Negara berkembang menderita akibat perdagangan bebas dan tidak selalu mendapatkan manfaat peningkatan ekspor. Belum lagi soal pengangguran. Dampak perdagangan bebas yang menghasilkan pengangguran, pada negara maju, mungkin akan dapat diantisipasi dengan asuransi secara temporer atau jaminan sosial. Namun di negara berkembang hal itu sulit, para pekerja yang terkena PHK harus mencari sendiri jalan keluarnya karena asuransi dan jaminan sosial yang tak memadai, jika tak mau dibilang tidak ada. 5

Jika pemerintah kita mau belajar, Sesungguhnya implementasi perdagangan bebas antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko (North American Free Trade Area) dapat menjadi contoh buat kita. Awalnya, NAFTA diharapkan agar membantu Meksiko, yang memiliki banyak pengangguran dan pendapatan yang berbeda jauh dari AS dan Kanada, menuju kemakmuran. Namun setelah 10 tahun dilaksanakan, NAFTA tak dapat mewujudkannya. Kesenjangan pendapatan antara AS dan Meksiko justru bertambah 10%. Bahkan NAFTA memperparah kemiskinan di Meksiko, karena para petani Meksiko tak bisa mengekspor produknya ke AS, karena dihalangi oleh penghalang nontarif (non tarrif barrier). Sementara NAFTA mengurangi tarif, semua penghalang nontarif tetap diberlakukan. Sebelum NAFTA, Tarif menghasilkan penerimaan pajak sebesar 7% bagi meksiko. Namun setelah nafta berlaku, turun menjadi 4%. 6

Sebenarnya pemerintah kita sudah cukup pandai dan (seharusnya) tahu dengan keburukan perdagangan bebas yang sekarang diikuti Indonesia tanpa persiapan yang memadai. Mereka tahu bahwa industri dalam negerinya akan ambruk, sehingga kita hanya akan menjdi bangsa konsumen, bukan produsen. Kita akan selalu bergantung pada produk luar negeri dan tak punya kemandirian ekonomi. Mereka juga tahu ada jutaan pekerja kita yang terancam oleh perjanjian ini. Namun, mereka tetap bersikukuh, entah kebijakan apalagi yang akan mereka keluarkan, setelah perlahan tapi pasti mengurangi subsidi untuk kebuthan publik seperti pendidikan7, memprivatisasi dan menjual sebagian usaha milik negara, melakukan perdagan bebas yang akan menghancurkan usaha dalam negerinya sendiri, sehingga Indonesia tak lagi punya kemandirian ekonomi. Jika sudah begitu semakin mudahlah bangsan lain mendikte kita. Maka jangan heran jika negara tetangga seperti Malaysia pun kurang menghargai kita. Jangan salahkan pemerintah negara lain, tapi tunjuk pemerintah sendiri, karena pemerintahnya tak peduli pada rakyatnya sendiri. Jika memang mereka bekerja untuk rakyat (seperti slogan-slogannya) tentu bukan hal-hal ini yang terjadi. Kita tunggu saja.

1. Majalah Mingguan Tempo, 21 Desember 2009. Dampak Pasar bebas. Yang cemas, yang siap.
2. Majalah Mingguan Tempo, 21 Desember 2009. Dampak Pasar bebas. Yang cemas, yang siap.
3. The World is Flat. Thomas L. Friedman. Kata pengantar : Faisal H. Basri.
4. Post Washington Consensus dan Politk Privatisasi di Indonesia. Centre For International Relation Studies Universitas Indonesia.
5. Making Globalization Works. Joseph E. Stiglitz.
6. Making Globalization Works. Joseph E. Stiglitz.
7. Post Washington Consensus dan Politk Privatisasi di Indonesia. Centre For International Relation Studies Universitas Indonesia.