Wednesday, March 28, 2007

Korporatokrasi

Hari Selasa gw baca kompas. dan baca rubrik Politika (tulisannya wartawan Kompas, Budiarto Shambazy). Buat gw tulisannya Budiarto ini salah satu yg paling bagus di Kompas. Btw kali ini dia nulis ttg Korporatokrasi. Buat yg pernah baca bukunya John Perkins (Confessions of an Economic Hitman) hal ini udah jelas banget. Gw saranin deh buat baca buku ini. Bakal membuka pikiran kita yg tertutup selama ini. Sisi lain dari bisnis konglomerasi dunia. Nuff said. Just read this article below!!
--------------------------------------------------------------------------

Korporatokrasi
Budiarto Shambazy


Anda ingat John Perkins, penulis buku Confessions of
An Economic Hit Man (2004)? Buku baru berjudul A Game
As Old As Empire: The Secret World of Economic Hit Men
and the Web of Global Corruption (2007) yang disunting
Steven Hiatt mengungkap lebih jelas petualangan
"ekonom pembunuh bayaran".

EHM bekerja untuk korporatokrasi (corporatocracy),
jaringan kerja sama antara MNC (multinational
corporations) dengan lembaga internasional (World
Bank/IMF), elite negara maju, dan penguasa negara
Dunia Ketiga.

Ikon korporatokrasi yang nyata Wapres Amerika Serikat
Dick Cheney. Ia mantan CEO Halliburton—kontraktor
terbesar di dunia—dan sampai kini menjadi penasihat
bisnis MNC itu.

Cheney penganjur serbuan ke Irak yang dipalsukan lewat
senjata pemusnah massal. Kini Halliburton bersama MNC
lainnya menikmati keuntungan dari ladang minyak Irak.

Menurut Empire, penyingkiran pemimpin dibenarkan
korporatokrasi, termasuk pembunuhan Perdana Menteri
Iran Mohammad Mosaddeq (1951- 1953) yang
menasionalisasi industri pertambangan. Menurut
Perkins, EHM juga mengatur terjadinya kecelakaan yang
menewaskan Presiden Ekuador Jaime Roldos dan Presiden
Panama Omar Torrijos.

Korporatokrasi dimulai saat World Bank/IMF menyalurkan
pinjaman untuk pembangunan megaproyek di negara miskin
atas rekomendasi fiktif buatan EHM. Kredit cair jika
dengan syarat tender-tender pembangunan dihadiahkan
kepada MNC/mitra lokal atas restu korporatokrasi.

Maka, negara miskin itu terjebak utang luar negeri
ratusan miliar dollar AS yang takkan bisa dilunasi
sampai tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC/ mitra
lokal naik setiap tahun selama proyek dikerjakan.

Derita negara itu belum selesai. Ia bukan cuma gagal
menyejahterakan rakyat, tetapi juga tak mampu membayar
utang sehingga akhirnya ditekan korporatokrasi untuk
menjual kekayaan alamnya—misalnya ladang minyak.

Empire mencontohkan PLTU Paiton I dan II yang nilai
proyeknya 3,7 miliar dollar AS. Megaproyek ini tak
bermanfaat sebab harga listrik yang dihasilkan 60
persen lebih mahal dibandingkan di Filipina atau 20
kali lebih mahal dibandingkan di AS.

Dana pembangunan Paiton ngutang dari ECA (export
credit agencies) dari negara-negara maju. Korupsi
dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu
disetor kepada kroni dan keluarga penguasa Orde Baru.

Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan
secara paksa sampai monopoli suplai batu bara,
dihadiahkan tanpa tender kepada berbagai MNC/mitra
lokal. Setelah Pak Harto lengser ing keprabon, baru
ketahuan nilai proyek itu terinflasi 72 persen.

Pemerintah coba menegosiasi ulang Paiton dengan
argumen megaproyek itu hasil KKN. Alhasil, kita selama
30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dollar AS
per kWh—padahal kemampuan kita cuma dua sen.

Supaya manut, eksekutif ECA itu mengancam akan meminta
G-7 menyatakan Indonesia tukang ngemplang yang tak
layak mendapat kredit lagi dari World Bank/IMF.
Lagi-lagi kita manut.

Empire mengungkapkan bagaimana industri minyak kita
diperdayai korporatokrasi melalui perjanjian PSA
(profit-sharing agreement). Perjanjian ini bertujuan
menghindari nasionalisasi seperti yang dilakukan PM
Mosaddeq atau Presiden Bolivia Evo Morales belum lama
ini.

PSA seolah-olah menempatkan kita sebagai pemilih sah
ladang minyak, sementara MNC sebagai "kontraktor"
saja. Namun, pada praktiknya MNC mengontrol
pengembangan ladang yang mendatangkan profit berlipat
ganda—mirip seperti praktik kolonialisme.

Perjanjian ini ibarat pernikahan ideal antara kontrak
bagi hasil yang secara politis seolah penting bagi
kita sebagai majikan dengan sistem kontrak berbasis
konsesi/lisensi yang mendatangkan profit maksimal.
Pemerintah seakan memegang kendali, padahal MNC-lah
yang mempunyai kedaulatan nasional.

"Klausul stabilisasi" dalam perjanjian PSA mengatakan
UU kita tak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dalam
rangka memetik profit. UU tak bisa jadi rujukan jika
sengketa terjadi— yang berlaku hukum internasional
yang tak mengenal istilah kepentingan atau UU
nasional.

"Cerita sukses PSA" yang dijual EHM bernama Dan Witt
yang bekerja untuk ECA di AS, ITIC (International Tax
and Investment Center). Witt atas nama British
Petroleum, Chevron Texaco, Total, dan Eni SpA
"menggarap" Irak.

IMF menyalurkan kredit untuk Irak sambil menetapkan
syarat, termasuk mengurangi subsidi yang membuat harga
BBM meroket. Syarat lain, parlemen harus mengesahkan
UU Perminyakan akhir 2006 dan IMF wajib disertakan
dalam proses perumusannya.

Witt yang bermodalkan best practices (senjata gombal
World Bank dan IMF) menjadi negosiator antara para
pejabat Irak yang korup, IMF, dan MNC. Semua untung
kecuali rakyat Irak.

Tidaklah sulit mencerna kita menjadi korban
korporatokrasi. Pertanyaannya, apakah kita masih
peduli?

Lihatlah para pemimpin kita hanya mematut-matut diri.
Anggota DPR tak percaya diri dan tak mau kalah
dibandingkan Tukul Arwana, menuntut dibelikan laptop
yang mahal sekali. Para pengusaha kita menjual "Visi
2030" yang isinya membuat saya seperti sedang bermimpi
di siang hari.

Daripada sakit hati, mari kita ber-ha-ha-ha dan
ber-hi-hi-hi. Kepada mereka, kita acungkan telunjuk
sambil berseru, "Ah, kalian sungguh lucu sekali!"

Friday, March 23, 2007

Pertemuan dengan Tan Malaka

Pertemuan dengan Tan Malaka

Bergabunglah pada kekuatan-kekuatan pembebasan yang nyata, yang ada di tengah-tengah kalian, seperti yang dilakukan oleh Tan Malaka.
(De Tribune, 7-Maret-1922)

Siang itu seorang laki-laki yang berwajah tegas dengan sorot mata tajam, berjalan menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya dan dijabatnya tanganku dengan keras. 'Namaku Tan Malaka' begitu ucapnya sambil duduk di sebelahku. Aku tertegun dan belum sempat ngomong ketika ia kemudian bilang 'Katanya kamu ingin bertanya banyak padaku?

Aku mencoba mengingat-ingat wajah seorang yang duduk di sampingku ini. Bajunya putih bersih dengan garis wajah yang diselimuti kabut. Tan Malaka, pria yang telah berhasil membuat bangsa ini memiliki keharuman. Tan Malaka, pria yang telah menuliskan banyak karya raksasa. Tan Malaka, seorang aktivis pergerakan yang menggoreskan perlawanan dengan kata-kata lugas.

'Ya aku ingin banyak bertanya dengan anda yang sering disebut-sebut sebagai seorang pejuang' tanpa ragu aku mengajaknya untuk bicara

'jangan kau sebut aku pejuang kalau apa yang aku dan teman-teman lakukan kalian sia-siakan' dengan muka lugas ia ucapkan kata-kata itu

Aku terhenyak dan sembari agak menjauh kulihat paras mukanya dari samping. Tulang pipi yang kurus itu masih menampakkan kerutan yang teguh. Aku seperti menyaksikan seorang yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh badai

'kalian telah menjerumuskan rakyat ini dalam penderitaan. Kulihat kalian mewarisi sifat-sifat para penjajah. Malah kalian bukan hanya meniru dengan persis, tapi melebihi apa yang penjajah lakukan dulu'

Aku masih saja diam mendengar suaranya yang berat dan kering. Ikal rambutnya yang agak bergelombang dengan sorot mata yang keras itu membuatku yakin, kalau Tan Malaka adalah aktivis yang tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri

'kusaksikan kalian yang masih muda tidak punya keberanian untuk menentang kesewenang-wenangan. Yang kalian kerjakan tidak seimbang dengan penderitaan rakyat yang sudah melampaui batas. Kupikir tulisanku sudah cukup bisa mendorong kalian untuk melakukan tindakan, tapi ternyata aku keliru'

Tan Malaka kulihat menundukkan muka. Matanya melihat tanah hitam di bawahnya dan kemudian menengokku. Matanya memandang diriku seolah-olah aku makhluk unik.

'apa yang kaukerjakan selama ini anak muda? Begitu tanyanya

'aku seorang mahasiswa yang juga aktif dalam dunia gerakan, aku sama sepertimu' begitu jawabku agak yakin. Tan Malaka menatapku tampak agak ragu dan berkata

'ketika aku seusiamu kujelajahi dunia pengetahuan bukan dengan pesona tapi bertanya. Saat aku seusiamu kubikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Aku ajari anak-anak tiga pelajaran penting, ketrampilan agar mereka menjadi manusia merdeka, filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan dan berorganisasi agar mereka menjadi bagian dari pergerakan. Sayang orang-orang kolonial itu menangkapku jauh lebih cepat dari yang kuduga. Apa yang kaukerjakan sekarang anak muda?

Agak terkejut aku dengan pertanyaanya yang tajam dan cepat. Kujawab dengan ragu-ragu 'yang kukerjakan diskusi, sesekali aku ikut merancang demonstrasi dan pernah aku tertangkap polisi gara-gara membakar foto penguasa. Aku juga ikut mengorganisir rakyat miskin dengan mendampingi mereka dan memaksa agar parlemen bicara dengan mereka. Kini aku aktif di salah satu LSM'

Ia tersenyum dan kulihat kabut di wajahnya berangsur-angsur memudar. Kali ini ia mendekat dan menepuk pundakku 'dulu aku punya kawan yang wajahnya mirip denganmu. Namanya Semaun, ia seorang yang pintar dan berani. Kami percaya untuk mengangkat harga diri bangsa yang terjajah tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan dan perlawanan. Kami berdua bikin sekolah dan aku diajaknya masuk Sarekat Islam. Apa LSM itu seperti Sarekat Islam?

Aku tertegun dan bingung memberi jawaban. Sesungguhnya aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakan oleh LSM. Aku kadang disuruh nulis proposal lalu dibelakangnya ada anggaran dana yang jumlahnya besar sekali. Habis itu aku disuruh mengerjakan training, pelatihan bahkan pendidikan dengan honor dan biaya yang bisa untuk membeli HP. Tapi aku malu menjawab pertanyaan Tan Malaka. Malah aku kemudian ganti bertanya, 'apa yang dikerjakan Sarekat Islam?

Tiba-tiba Tan Malaka memandangku dengan heran. 'aku yakin kamu tak pernah diberitahu apa itu Sarekat Islam. Inilah kekuatan politik pertama yang berteriak lantang melawan para penguasa kolonial. Kami terdiri dari anak-anak muda sepertimu. Kami ajak rakyat untuk melawan setiap kesewenang-wenangan. Diberi nama Sarekat Islam, karena agama ini menolak untuk menjadikan orang menjadi budak. Hal yang kemudian dikerjakan pula oleh PKI. Kami dulu menjadi anggota Sarekat Islam sekaligus menjadi anggota PKI. Aku yakin cerita sejarah tentang itu tak pernah sampai ke telingamu. Zaman sudah banyak berubah dan kulihat nasib bangsa ini jauh lebih buram. Aku banyak mendengar, kalau kalian sudah jadi penguasa yang menjajah rakyatnya sendiri. Rakyat itu kalian jadikan budak. Sekali lagi kalau kupandang muka para penguasa sekarang ini, aku jadi ingat muka para aparat kolonial dulu'

Aku hanya bisa tertunduk. Kuingat beberapa temanku yang menjadi politisi curang. Mereka aktivis partai tapi tidak punya gagasan besar untuk memerdekakan rakyat. Kuingat temanku yang menjadi kaum profesional yang juga terlibat dalam persekongkolan dengan para kapitalis.

'Kalian memiliki penguasa diktator yang kejam pada rakyat kecil. Menggusur tempat tinggal mereka, membuat pendidikan dengan harga yang mahal dan membebani rakyat kecil dengan ongkos kesehatan yang tinggi. Beberapa kali kulihat kalian ikut mensukseskan program yang didanai oleh bantuan asing dengan sikap yang loyal. Jika kausebut dirimu seorang aktivis perubahan sosial apa yang akan kaukerjakan anak muda? Kaudiamkan seorang pejabat yang kekayaanya melebihi pendapatan jutaan penduduk miskin. Kaubiarkan seorang pejabat tinggi bergaji 110 juta per bulan jauh melambung melebihi UMR buruh. Apa yang selama ini kaulakukan anak muda?

Lagi-lagi aku terdiam lama sekali. Kuingat-ingat apa yang pernah kukerjakan selama ini. Ikut dalam solidaritas teman-teman memantau anggaran. Ikut melakukan pengorganisiran terhadap para pedagang kaki lima. Ikut serta dalam barisan oposisi menentang militerisme yang hendak berkuasa. Dan kadang-kadang ikut nimbrung dalam program demokrasi.

Tan Malaka memandangku dengan rasa iba. Seolah-olah ia tahu kecamuk pikiran yang kurasakan. Ia berdiri dan menatapku, lalu perlahan-lahan ia mengucapkan serangkaian kalimat:

'Anak muda apa yang kaukerjakan selama ini memang masih jauh dari kebutuhan rakyat. Kau dikepung oleh kekuatan kapitalis yang tumbuh dan berpengaruh luas. Kulihat kau sendiri susah untuk mempertemukan teman-temanmu yang punya komitmen serupa. Kulihat jumlah kalian yang sangat kecil dengan ikatan disiplin yang longgar. Anak muda organisasimu harus belajar banyak dari sejarah Sarekat Islam atau PKI. Dua kekuatan politik yang dulu mampu mengetahui kebutuhan rakyat. Rasa-rasanya kalian harus baca ulang apa yang kutulis dalam Aksi Massa, Madilog dan Gerpolek. Pahami pikiran kami bukan dengan pisau akademik semata melainkan juga dengan pisau gerakan. Pahami semangat dan spirit yang melandasi kami semua. Camkan bahwa struktur kapitalis hanya bisa dilawan dengan kekuatan pengetahuan dan kekuatan pergerakan. Pengetahuan yang mengabdi pada kepentingan rakyat bukan yang menjadi alat bagi penguatan sistem produksi kapitalis. Maka senjata gagasan harus kalian kerjakan lebih dulu. Disitu kulihat kalian malas. Tak pernah kubaca tulisan kalian yang menggugah dan memberi inspirasi rakyat untuk melawan. Tak pernahkah dalam benak kalian untuk mendirikan pendidikan yang baik dan murah untuk melayani rakyat miskin? Anak muda kau adalah tumpuan rakyat miskin, jika kau ingin mengenal, memahami serta membela mereka, maka yang kaukerjakan hanya satu: hidup dan hayati kehidupan bersama mereka.

Ia menepuk pundakku dan melangkah pergi. Dari punggungnya kulihat ia berjalan bergegas. Aku berdiri ingin mengejarnya. Tapi langkah itu terlalu cepat dan ia menghilang di balik gubuk-gubuk yang baru digusur. Akh, Tan Malaka semasa hidupnya ia bersama orang miskin dan kini kutemukan dirinya di tengah perkampungan miskin. Kampung orang miskin yang jumlahnya sangat padat dan penduduknya menjadi golongan yang dulu diperjuangkan kemerdekaanya oleh Tan Malaka. Tan Malaka, bagiku kau adalah inspirasi yang tak pernah lekang oleh waktu. Menjadi martir untuk sebuah perubahan yang kini memakan korban anak bangsa sendiri. Andai kau masih di depanku tentu aku hendak mengatakan

“ya, kami memang tidak mampu melakukan seperti yang kaukerjakan. Kami berada dalam lingkungan pendidikan yang busuk. Pendidikan yang tidak bisa membuat kami dekat dengan penderitaan rakyat. Kami hanya memiliki sedikit intelektual besar yang mampu menuliskan penderitaan rakyat. Intelektual kami hanya sibuk dengan urusan perutnya sendiri. Kami juga tidak memiliki pemimpin gerakan yang berpandangan terbuka, bergerak progresif dan bisa memahami kebutuhan rakyat. Yang kami punya hanya pemimpin karbitan, pemimpin yang muncul sekejab dan tidak memiliki pikiran-pikiran besar yang menjangkau ke arah masa depan. Indonesia yang dulu kauperjuangkan kini sudah banyak berubah. Negeri ini telah membiakkan kebusukan: korupsi, perdagangan anak, pembunuhan, kriminalitas, dan kemiskinan. Tapi kami anak muda, yang ingin berbuat seperti yang kaulakukan. Kami ingin melawan, melawan, dan terus melawan. Terhadap penguasa yang diktator, aktivis yang menjadi broker politik, intelektual yang melacurkan ilmunya, dan preman yang menggunakan kekerasan pada rakyatnya sendiri. Itu yang ingin dan sedang kami kerjakan, Tan Malaka.

Diambil dari resistbook.or.id